Demi menuruti permintaan terakhir dari sang Ayah, Citra rela menikah dengan seorang pria matang berumur 35 tahun yang bernama Steven Prasetyo.
Dipaksa? Tentu tidak. Citra dengan ikhlas dan senang hati menerima pernikahan itu meski selisih mereka 16 tahun. Bahkan, dia sudah jatuh cinta saat pertama kali bertemu dengannya.
Namun, sebuah fakta mengejutkan saat Citra mengetahui sebuah rahasia tentang alasan Steven menikahinya. Mungkin itu juga sebabnya mengapa sikap Steven selalu dingin dan menjaga jarak selama ini.
Sesungguhnya dia kecewa, tetapi entah mengapa semangat untuk mendapatkan cinta dari pria dewasa itu tak pernah pudar. Malah makin membara. Citra bertekad akan membuat pria yang membuatnya berdebar setiap hari itu jatuh cinta padanya. Bila perlu sampai tergila-gila.
Akankah Citra berhasil menaklukkan hati Steven? Atau justru dia menyerah dan lebih memilih meninggalkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rossy Dildara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Takut telat
Selang lima menit Steven keluar dengan memakai setelan jas berwarna merah maroon. Citra yang sejak tadi berdiri menunggu di depan pintu—lantas ditarik tangannya oleh Steven. Pria tampan itu membawanya cepat-cepat keluar apartemen kemudian masuk ke dalam mobil.
"Maafin aku ya, Cit. Aku kesiangan." Steven menoleh sebentar ke arah Citra sambil mengemudi. Meskipun Steven hanya mencuci muka dan gosok gigi, tetapi nyatanya dia sama sekali tak terlihat belum mandi. Steven masih terlihat tampan dan juga wangi.
Tadi Steven juga sempat menyemprotkan parfum. Dia memang tak pernah pede jika memakai pakaian tapi tidak dengan memakai parfum.
"Nggak apa-apa, Om. Tapi Om baik-baik saja, kan? Apa Om sakit?" Pertanyaan itu belum mendapatkan jawaban, Citra sampai mengangkat sedikit tubuhnya untuk menempelkan punggung tangannya ke arah dahi Steven. Mengecek suhu jika pria itu dalam keadaan sehat.
Pria tampan itu menggeleng cepat, lalu menyingkirkan tangan Citra. "Aku baik-baik saja, Cit." Steven menoleh lagi pada Citra, tampaknya gadis itu seperti mengkhawatirkan dirinya sebab tak biasanya Steven bangun siang. "Oh ya. Matamu kenapa sembab begitu? Apa kurang tidur?"
Citra langsung menyentuh kedua matanya, dia ingat berapa banyak air mata yang dikeluarkan semalam hingga dirinya ketiduran.
Sejujurnya rasa sakit atas apa yang dikatakan Steven itu masih membekas di dalam hati. Tetapi Citra mencoba melupakannya.
"Iya, aku nggak bisa tidur semalam, Om," jawabnya berbohong.
"Kok kamu nggak ngomong sama aku?"
"Memang kenapa aku harus ngomong?"
"Kan biasanya kamu memintaku untuk menemanimu sampai tidur, kenapa semalam nggak bilang?"
"Aku nggak enak, takut Om nggak mau," jawab Citra pelan sambil menatap dalam wajah Steven. Kini bola matanya sudah berkaca-kaca, tetapi dengan cepat gadis itu mengusapnya.
Steven tersenyum, lalu perlahan mengusap puncak rambut Citra dengan lembut. "Bilang saja besok-besok, aku mau kok. Nanti aku temani."
Citra terdiam dan masih memandangi wajah Steven dengan penuh cinta, setelah dipikir-pikir rasanya ada yang aneh pada sikap Steven. Terkadang pria itu bersikap hangat, kadang dingin.
Kadang suka memeluknya saat dimana dirinya sedih, tetapi kadang kala Steven seperti risih saat dirinya dipeluk oleh Citra.
Sikapnya berubah-ubah tergantung keadaan.
"Kamu pasti belum sarapan, kan? Kamu doyan roti, nggak?" Pertanyaan Steven langsung membuyarkan lamunan Citra seketika.
"Doyan, Om." Citra mengangguk dan menatap jam tangannya. Sontak kedua matanya membulat kala tersisa 15 menit lagi kelasnya akan dimulai. "Tapi aku sarapannya di kampus saja, Om. Soalnya takut telat."
"Kamu masuk kelas jam berapa memangnya?"
"Jam delapan, ini tinggal lima belas menit aku masuk kelas, Om.
"Oh begitu, tapi kamu musti sarapan dulu sekarang." Steven membelokkan mobilnya menuju mini market, setelah mematikan mobilnya lantas dia membuka pintu.
"Om mau ke mana?" Citra mencekal tangan Steven.
"Beli roti dan susu untukmu." Steven menoleh sebelum akhirnya turun dari mobil.
"Aku belinya di kampus saja, nanti telat." Citra tampak gelisah, lagi-lagi dia menatap jam tangannya yang sudah mulai menambah waktu masuk kelasnya.
"Kalau di kampus malah nggak keburu, nanti yang ada kamu nggak sarapan. Aku beli dulu sebentar."
"Nanti kalau telat aku malah nggak bisa mengikuti kelasnya, Om." Citra kembali mencekal lengan Steven yang hendak pergi. "Dosenku galak, Om. Aku takut. Kemarin saja ada yang telat masuk kelasnya terus malah dihukum dan nggak boleh mengikuti pelajaran." Steven melihat lengan Citra merinding, dia langsung menangkap jika gadis itu benar-benar ketakutan.
"Kamu nggak akan mendapatkan semua itu. Ada aku." Steven menepuk dadanya. "Nanti aku yang bilang padanya. Sebentar aku beli dulu. Nggak akan lama kok."
Steven melepaskan tangan Citra kemudian berlari masuk ke dalam mini market. Tak berselang lama dia pun kembali sambil menenteng plastik putih, lalu memberikan pada Citra setelah dia masuk ke dalam mobil.
"Cepat makan dan minum susunya, biar nggak sakit perut," tegur Steven.
Citra membuka isi di dalam plastik itu. Ada tiga susu kotak dengan tiga farian rasa, yakni vanilla, coklat dan strawberry. Juga dengan roti rasa coklat, susu dan blueberry.
"Terima kasih ya, Om." Citra menusuk pipet susu kotak lalu mengesap minuman yang terasa dingin itu, kemudian membuka plastik roti. Tetapi dia justru mengarahkan roti itu ke bibir Steven.
"Sudah makan, Cit."
"Om juga belum sarapan, ayok sarapan sama-sama."
"Kamu duluan saja, aku mah gampang."
"Cepat gigit dulu, aku nggak mau makan kalau nggak bareng."
Steven segera mengigitnya dan pelan-pelan mengunyah. Sorotan mata Citra langsung tertuju pada bekas gigitan roti itu, dan tak lama dia pun menelan ludahnya dengan susah payah.
Rasanya, bekas gigitan pada roti itu terlihat begitu menggiurkan dalam penglihatan Citra. Dan membuatnya ingin mencobanya.
"Sudah, sekarang kamu buka lagi yang baru. Terus habiskan." Steven hendak mengambil roti di tangan Citra, bekas gigitannya tadi. Tetapi dengan cepat gadis itu melahap rotinya. Memakan bekas gigitan Steven. "Itu 'kan bekas gigitan aku, Cit."
"Terus kenapa?" tanya Citra seraya menelan roti, kemudian memakannya lagi hingga memenuhi mulutnya. 'Kok rotinya rasanya sangat manis, apa mungkin bekas gigitan Om Ganteng, ya?'
"Ya itu 'kan jorok. Masa kamu nggak jijik, sih?" Steven mengerutkan keningnya.
"Ngapain aku jijik? Kan cuma gigitan. Bukan bekas muntahan."
"Ya sama saja. Harusnya jangan, kamu nggak boleh makan bekas gigitan orang lain. Kalau orangnya penyakitan bagaimana? Nanti kamu ketularan."
"Aku cuma baru makan bekas gigitan Om sama Ayah doang kok. Dan penyakit Ayah juga nggak menular padaku, buktinya aku sehat sampai ...." Ucapan Citra menggantung kala melihat seorang pria tua yang tengah mendorong gerobak buah menyebrang jalan, sontak dia pun membelalakkan matanya dan langsung berteriak. "Om! Awas Om!"
...Om Stev nih nggak hati-hati nyetirnya 😌. Ya kali kalian tabrakan terus mati. kan belum malam pertama. eh 🙈...