Oh, My Sugar Daddy!

Vanessa menunggu dengan perasaan yang tak menentu. Jantung berdetak kencang dan peluh membasahi wajahnya. Ingin rasanya dia melarikan diri, tapi tubuhnya seperti terpaku di tempat duduknya. Bagaikan seorang pesakitan yang menunggu datangnya hari penghakiman. Seperti seorang pendosa yang menanti jatuhnya hukuman.

Wanita itu akhirnya keluar dari ruang IGD dan melangkah anggun ke arahnya.

"Kamu kenapa? Apa kamu sakit?"

Tanya wanita itu saat melihat wajah Vanessa yang pucat.

Vanessa hanya menggeleng.

"Sudah makan malam?"

Vanessa reflek menggeleng lagi.

"Pantas saja, ayo kita cari makan sama-sama! Saya juga belum sempat makan tadi, mendengar kabar dari kamu langsung kesini. Kalau tidak salah minimarket disini buka 24 jam. Setidaknya kita bisa makan P*p mie atau roti, sekedar untuk mengganjal perut biar tidak pingsan!"

Wanita itu bicara panjang lebar.

"Boleh Tante..."

Dan Vanessa pun mengikuti wanita itu berjalan menuju minimarket yang dimaksud.

Pukul dua puluh tiga lebih tiga puluh menit. Minimarket itu tampak sepi. Hanya ada satu pengunjung saat mereka masuk kesana. Seorang pria tua sedang membayar satu kantong belanjaan lalu pergi dengan terburu-buru.

Wanita itu mengambil dua buah mie instan dalam kemasan cup dan dua bungkus kopi sachet, lalu membayar dan meminta pelayan minimarket untuk menyeduhnya.

"Ayo kita makan diluar..."

Di depan minimarket itu ada beberapa meja dan kursi kecil. Khusus di sediakan untuk pelanggan yang ingin singgah sambil menikmati makanan yang dibelinya.

"Ayo dimakan, mumpung masih hangat!"

Kali ini Vanessa memakannya dengan lahap, karena perutnya benar-benar lapar. Dan mungkin dia butuh tenaga untuk 'berperang' setelah ini. Meski belum apa-apa nyalinya sudah ciut duluan. Vanessa sadar posisinya kalah telak. Dirinya hanyalah wanita murahan yang dibayar sebagai pemuas nafsu semata. Sementara wanita di depannya terlihat begitu anggun dan berkelas. Setidaknya Vanessa merasa bersyukur, sebab sampai detik ini dirinya masih diperlakukan dengan baik selayaknya manusia. Tidak dijambak atau dimaki-maki di depan umum seperti layaknya nasib-nasib pelakor yang sering ditontonnya dalam adegan sinetron.

"Siapa namamu?"

Setelah menghabiskan makannya, barulah wanita itu mulai bicara.

"Vanessa tante..."

"Oh Vanessa, masih sekolah? kelas berapa?"

"Kelas dua SMU tante..."

"Masih muda sekali rupanya, apa yang kamu lakukan di hotel bersama suami saya?"

Sesi interogasi sudah benar-benar dimulai sekarang. Vanessa menunduk malu.

"Maafkan saya tante, saya dibayar untuk melayani Om Pras, tapi belum lama saya melakukannya..."

Vanessa memberanikan diri untuk mengaku.

"Kenapa kamu mau melakukan pekerjaan seperti ini?"

"Saya membutuhkan uang tante, untuk memperbaiki masa depan saya..."

"Apa kamu mencintai suami saya?"

"Tidak tante, dan Om bilang dia juga masih mencintai istrinya, saya hanya sebagai pemu*s n*fsunya saja..."

"Apa orangtuamu tahu kamu melakukan pekerjaan semacam ini?"

"Ayah saya sudah meninggal, saya melakukannya tanpa pengetahuan Ibu saya..."

"Berhentilah! Saya juga punya anak seusiamu. Ibumu pasti akan kecewa kalau sampai tahu..."

"Ya tante.."

"Berapa uang yang dijanjikan suami saya padamu?"

Vanessa menyebutkan sejumlah nominal.

"Saya yang akan membayarnya dan menghilanglah dari kehidupan suami saya..."

"Jangan Tante, saya tidak pantas mendapatkannya, tante sudah begitu baik, saya benar-benar minta maaf Tante..."

"Tidak apa..kamu berhak mendapatkannya. Hentikan pekerjaanmu itu dan jangan mencari lelaki lain...masa depanmu masih panjang. Belum terlambat untuk memperbaikinya..."

"Tapi Tante..."

"Sudahlah..."

Wanita itu menyerahkan amplop yang cukup tebal kepada Vanessa.

"Terimakasih banyak Tante, saya benar-benar minta maaf..."

"Belajarlah yang rajin dan bahagiakanlah Ibumu..."

"Ya tante, saya malu...terimakasih banyak..."

"Ya sama-sama, nama saya Ratna, kalau kamu ingin tahu..."

Dalam hati Vanessa mencatat nama itu. Berjanji akan menyematkan nama itu dalam doanya. Hanya itu yang bisa dilakukan untuk membalas kebaikannya.