Seorang pemuda tampan yang katanya paling sempurna, berkharisma, unggul dalam segala bidang, dan yang tanpa celah, diam-diam menyimpan sebuah rahasia besar dibalik indahnya.
Sinan bingung. Entah sejak kapan ia mulai terbiasa akan mimpi aneh yang terus menerus hadir. Datang dan melekat pada dirinya. Tetapi lama-kelamaan pertanyaan yang mengudara juga semakin menumpuk. "Mengapa mimpi ini ada." "Mengapa mimpi ini selalu hadir." "Mengapa mimpi ini datang tanpa akhir."
Namun dari banyaknya pertanyaan, ada satu yang paling dominan. Dan yang terus tertanam di benak. "Gadis misterius itu.. siapa."
Suatu pertanyaan yang ia pikir hanya akan berakhir sama. Tetapi kenyataan berkata lain, karena rupanya gadis misterius itu benar-benar ada. Malahan seolah dengan sengaja melemparkan dirinya pada Sinan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yotwoattack., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A M BAB 29 - be my girl, please.
"Be my girl, please.." kata Sinan. Permohonan manis yang membuat sendok berisi mie ayam pihak lainnya berhenti di udara. "Kalau sendok mie ayam itu nyampe ke mulut kamu, berarti kita pacaran."
Tertarik untuk menggoda. Dinya lantas meletakan sendok pada mangkok, mengelus perut sebelum berkata. "Duh, kenyang.."
"Mmmhhh~ ah! Kebiasaan ahh." Merengek. Lantas menatap si gadis sungguh-sungguh. "Aku serius, sayang. Masa sampai sekarang kita belum punya status. Ngenes banget."
Menatap Dinya melas. Bertopang dagu.
Resah sekaligus heran. Padahal si gadis sendiri yang sebelumnya menyinggung soal status. Tetapi ketika benar-benar ingin diberi, gadis itu malah menolak. Mana dengan wajah datar dan gaya penolakan yang berterus terang. Tega sekali.
"Aku harus apa biar diterima.." melemah. Memberi tatapan semenyedihkan yang ia bisa. "Kasih tau aku harus ngapain, kamu mau aku- sumpah. Beneran nangis nih aku."
Tak sadar akan sepasang mata yang memperhatikan. Dua orang itu terus terjebak dalam situasi serupa sampai mereka berjalan keluar dari area kantin.
Tap..
Tap..
"Pokoknya kamu harus bales yang tadi dalam waktu dua hari, gamau tau aku." Terkekeh hangat. Merangkul si gadis. Sedikit mengangkat alis ketika sosok berponi datang dari arah yang berlawanan dan menabraknya begitu saja.
"Jaga dia dari Max."
Mendengar bisikan datar tersebut. Seketika membuat rahang si pemuda mengetat. Perubahan yang sebenarnya juga disadari oleh seseorang yang hanya diam sambil mengamati pertukaran singkat keduanya.
Sampai jam pulang berbunyi dan mereka berjalan beriringan, aura waspada masih samar-samar gadis itu rasakan.
"Sarangeo~ imuttt!! Besok beneran jadi ke rumah aku, yaa~" kata Lilie. Dengan rempong melakukan cipika-cipiki. Mendadah manis. Sebelum melemparkan tas keras pada Jack. "Let's home, babu."
Melambaikan tangan pada dua orang tersebut. Lantas kembali berjalan.
"Sayang." Merangkul si gadis. Mengedarkan pandangan ke sekitar. Lalu berkata lembut dan hangat. Membujuk. "Mulai sekarang kamu tinggal sama aku, ya. Kita pinda-"
"Gak." Langsung menolak. Tentu saja. Tidak ingin hubungan aneh mereka menjadi lebih kontras. "Gue sekolah buat belajar, bukan buat kumpul kebo sama cowo."
Sahutan yang begitu tidak disangka-sangka. Namun sial malah ada benarnya.
"Gak perlu khawatir sama kata Kim tadi." Santai Dinya. Ia jelas tahu bahwa pemuda itu masih kepikiran. "Gue gak mudah mati."
"Sayang mulutnya ya. Aku gasuka." Menegur. Sama sekali tidak menyukai akhirnya kalimat sang gadis barusan.
"Gue juga kurang suka sama kalimat lo barusan. Ngajak tinggal bareng udah kayak ngajak beli gorengan." Entah mengapa kekesalan asing malah menghampiri. Membuatnya yang selalu tenang dan suka berpasrah secara tiba-tiba jadi begini.
"Maaf.. aku minta maaf." Menyadari kesalahan. Langsung meminta maaf. Berkata dengan nada menyesal. "Maafin.."
Tidak menjawab. Dinya yang sudah terlanjur kesal hanya melepaskan rangkulan pemuda itu, mendorongnya untuk segera ke parkiran dan mengambil mobil.
Setelah wujud Sinan sudah tak terlihat lagi, baru dirinya bisa bernafas lega. Bersandar pada gerbang dengan santai. Lantas mendongak untuk menatap langit.
"Sinan. Mana." Kata seseorang. Menepuk bahu gadis yang sedang melamun. Menyadarkannya. "Sinan. Dimana."
"Kenapa nanya gue. Gak usah nanya." Menyahut datar. Tanpa melirik. Nadanya jelas kesal. Dinya juga heran mengapa dirinya jadi tidak jelas begini.
Kim yang disahuti dengan tidak bersahabat hanya menatap gadis pendek itu tak kalah datar. Melirik ke belakang Dinya, mengangguk ketika sebuah mobil keluar dari parkiran dan melaju mendekat. Ingin berjalan pergi tapi cekalan sudah lebih dulu membuat langkahnya terhenti.
"Lo siapanya Sinan." Mendongak menatap si gadis tinggi pucat. Sorot meminta jawaban.
Waktu melompat ketika dua sejoli itu sampai pada depan kos sang gadis. Tanpa melirik, pihak yang sejak tadi diam membisu hanya menyambar keluar dari dalam mobil. Menghiraukan segala pertanyaan khawatir dari Sinan yang melayang. Mengunci pagar dan benar-benar masuk begitu saja.
Sampai beberapa jam kemudian, mobil mengkilap itu masih terparkir asal. Berniat berjaga semalaman. Gerak sana gerak sini sebelum bunyi panggilan masuk mengudara. Terkejut sekaligus senang.
"Mimpi apa di call." Kata Sinan. Dengan senyum yang mengembang menekan ikon hijau pada layar. Berujar penuh semangat. "Sayang, cinta, semesta. Kamu sengaja ya tiba-tiba call biar aku tambah kegatelan. Hm? Aku dari tadi lagi nahan diri buat gak ngelompatin pager terus ngedobra-"
"Tipe cewe lo kayak gimana." Sungguh tiba-tiba. Mengambil posisi bersandar sembari mengaktifkan mode speaker.
"Kayak kamu." Menyahut langsung. Menggulirkan padangan pada kos sang gadis. Tersenyum dan berkata geli. "Yang udah jelas gitu pake ditanyain, hahaha~ ada-ada aja kamu. Gigit juga nih."
Sinan gemas sendiri. Tidak biasanya gadis datar itu begini. Membuatnya senang bukan main sebelum teringat lagi akan sesuatu.
"Omong-omong, soal tadi.. aku minta maaf. Aku sadar aku udah keterlaluan." Berpikir alasan di balik keterdiaman si gadis adalah karena ajakannya. Ia jadi merasa brengsek. "Salah aku. Aku cuma merasa.. gatau. Jujur aku sama sekali gak merasa sungkan kalau sama kamu. Aneh, ya? Aku juga bingung."
Menaikkan kaki dan bersandar nyaman. Pemuda tampan itu lantas kembali berujar.
"Percaya atau gak percaya, aku sebenarnya bukan tipikal orang yang suka kontak fisik. Tapi kamu mikirnya aku- tunggu, sayang? "
Saat sedang enak-enaknya mengoceh. Sinan jadi harus mengantup mulutnya saat mendengar suara keributan dari seberang.
Deg.. deg.. deg..
Melonjak kaget dan terduduk tegang, hampir saja ia menyambar keluar jika tidak mendapati sesosok tubuh mungil sedang dengan grasak-grusuk membuka pagar. Berjalan cepat menuju mobilnya. Lantas membuka pintu dan masuk begitu saja.
"Apa liat-liat." Katanya dengan raut datar juga intonasi yang senada. Sebenarnya tidak ada alasan spesial. Ia tiba-tiba keluar dan memutuskan untuk menghampiri Sinan hanya karena dirinya merasa kesepian.
"Astaga.." lemah si pemuda. Menyandarkan tubuhnya. Melirik gadis itu lega sebelum mengulurkan tangan dan menggenggam milik si dia lembut. "Cintaku kenapa keluar."
Ikut bersandar. Lantas menatap ke arah luar mobil, di seberang sana terdapat sebuah pohon mangga. Tapi yang membuatnya salah fokus bukan itu, melainkan beberapa sosok bayangan misterius di baliknya.
"Gue udah pernah bilang ta, kalau kos gue itu horror." Berkilah. Membahas hal lain sambil menggulirkan padangan lagi pada si pemuda. Menatap tangannya yang di mainkan oleh pemuda itu. "Apalagi kemaren sempet ditinggal, auto merajalela mereka."
Yang mendengar langsung mengangkat sebelah alis. Mengamati apa raut yang terukir di wajah cantik itu. Pada akhirnya tidak bisa membedakan apakah si dia sedang bercanda atau malah bukan.
"Takut.." Berkomentar. Lantas dengan modus menarik pinggang si gadis untuk dipindahkan ke pangkuan. "Takut banget."
"Kamu kok berani, tuh.. harusnya kamu tinggal bareng aku aja. Masa lebih milih tinggal bareng hantu-hantu." Katanya lagi yang hanya dibalas lirikan muak. Terkekeh.
"Penghuni kos sebelah kamar gue rumornya bundir, terus setannya gentayangan. Itu yang ngebuat kos ini jadi sepi." Bercerita sedikit. Membiarkan pemuda itu mengukir gambar-gambar abstrak pada punggungnya. Melanjutkan. "Setannya kece, bisa ngebuat bu kos yang luar biasa pelit jadi banting harga. Gue jadi untung terus bisa nyewa."
Siapa sangka back story Dinya ngekos disini adalah karena itu. Mengangguk miris pada diri, merasa gagal karena tidak tahu tentang si gadis lebih banyak. Lalu terkekeh lagi.
"Mau dicariin apartemen gak." Mengusulkan solusi. Menghirup aroma yang keluar dari tubuh mungil tersebut. Menatapnya santai. Tersenyum manis juga puas. "Yang deket sama sekolah, deket sama rumah aku juga."
"Gak ah." Menolak. Mengambil posisi untuk berbalik. Membiarkan Sinan memangku sambil memeluknya dari belakang. "Lanjutin yapinggan lo tadi."
"Heum.. udah sampe mana ya." Mengangguk. Mengelus lengan telanjang sang gadis. "Yang kayak gini. Mangku cewe meluk cewe, kalau dilakuin sama orang, aku sama sekali gak suka. Bahkan gak pernah ngebayangin bahwa aku bakal terjebak dalam posisi sedekat ini sebelumnya."
Bersandar lebih nyaman pada pucuk kepala tersebut. Menunduk untuk menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Dinya. Menghirup bagian manis itu dengan senyum yang mengembang puas.
"Kayak yang kamu tau, aku ini juga noob. Gak punya pengalaman pacaran atau, yah.. deket-deket bangetlah sama cewe." Tahu bahwa si gadis belum sepenuhnya percaya. Lantas berkata lagi. "Perlakuan aku ke kamu juga karena naluri. Bukannya karena aku berpengalaman atau keseringan nyentuh cewe yang kayak kamu bilang, huh.. dasar."
"Intinya aku gak suka sentuhan fisik, sayang. Tapi kalau sama kamu itu baru aku suka."
Yang mendengar sama sekali tak menyahut. Dinya malah lebih menyandarkan tubuhnya pada dada bidang yang masih terbungkus seragam itu. Membiarkan si dia terus memuntahkan ocehan seraya dirinya mengamati sosok-sosok yang masuk ke dalam mobil lalu pergi begitu saja.
Semakin rumit saja hidupnya. Padahal alasannya pindah adalah karena ia ingin melanjutkan sisa kehidupan bersekolah yang tenang. Tapi siapa sangka ia malah menjalin kedekatan dengan seorang siswa terpopuler dan tercerewet itu.
"Jangan diem, aku serius. Kamu mesti belajar buat percaya aku cinta." Katanya. Mencubit pipi si gadis lalu mengigitnya. Mengulum sesuatu yang kenyal itu santai.
Menggeliat. Ingin menepis si pemuda yang barusaja melakukan serangan sepihak, namun pergerakannya buru-buru dihentikan. Membuatnya mengeram kesal.
Perbedaan tubuh keduanya yang signifikan membuat Dinya dengan begitu mudah dikendalikan, di kurung oleh si gila itu. Bahkan tanpa menoleh dirinya sudah tahu bahwa Sinan pasti sedang menyeringai.
"Aneh, ya. Badan kamu kecil tapi pipi kamu bisa segede bakpao. Itu gimana ceritanya." Santai dan nakal. Melepaskan gigitannya. Langsung tertawa renyah ketika melihat sebagaimana kesal raut yang ditunjukkan si gadis. "Ututu.. ampe merah gitu mukanya."