Gendhis... Gadis manis yang tinggal di perkampungan puncak Sumbing itu terjerat cinta karena tradisi perjodohan dini. Perjodohan itu disepakati oleh keluarga mereka saat usianya delapan bulan dalam kandungan ibunya.
Gadis yang terlahir dari keluarga sederhana itu, dijodohkan dengan Lintang, anak dari keluarga kaya yang tersohor karena kedermawanannya
Saat usia mereka menginjak dewasa, muncullah benih cinta di antara keduanya. Namun sayang, ketika benih itu sudah mulai mekar ternyata Lintang yang sejak kecil bermimpi dan berhasil menjadi seorang TNI itu menghianati cintanya. Gendhis harus merelakan Lintang menikahi wanita lain yang ternyata sudah mengandung buah cintanya dengan Lintang
Seperti apakah perjuangan cinta Gendhis dalam menemukan cinta sejatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N. Mudhayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggil Aku Sayang
Pukul 12.20 WIB. Gendhis tiba di cafe yang sudah ditentukan oleh Lintang. Ia segera masuk karena merasa bersalah telah membuat Lintang lama menunggu. Sesampainya di dalam cafe, ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari di mana tempat duduk Lintang. Setelah beberapa saat, dia menemukan dua orang laki-laki berpakaian rapi, lengkap dengan model rambut khas taruna. Segera Gendhis menghampiri dua laki-laki itu, dan ternyata benar, Lintang dan Arnold tengah mengobrol sambil menunggunya.
"Mas Lintang... maaf, udah lama nunggu ya?" Kata Gendhis sambil duduk di kursi tempat Lintang dan Arnold duduk.
"Aku kira kamu nggak jadi dateng." Kara Lintang sedikit kesal menunggu.
"Ya dateng lah... cuma tadi ternyata acaranya molor, jadi selesainya juga tak sesuai rencana, maaf yaaa..." Kata Gendhis.
Arnold masih terus mengamati gadis cantik yang ada di hadapannya itu. Meski mereka belum saling kenal, tapi Arnold yakin, bahwa tunangan Lintang ini adalah gadis yang memiliki aura mendekati sempurna. " Seandainya... aku yang dijodohkan sama gadis seperti ini, adem rasanya hatiku. Ah... tapi sayang, aku tak seberuntung Lintang. Gabby adalah gadis pilihan orang tuaku yang sangat melelahkan." Arnold bicara sendiri dalam hatinya.
"Ya udah mau gimana lagi... oh iya... kenalin, ini temenku namanya Arnold... Arnold... ini Gendhis." Lintang memperkenalkan Gendhis.
"Assalamu'alaikum... Kak..." Sapa Gendhis ramah sambil mengangkat kedua tangannya sebagai pengganti bersalaman. Gendhis enggan untuk bersalaman dengan laki-laki yang baru pertama kali ia lihat itu.
Arnold yang tadinya hendak berjabat tangan itupun ahirnya menurunkan tangannya kembali.
"Waalaikumsalam... MasyaAllah... sholehahnyaaa..." Arnold terpukau. Ia hampir tak pernah melihat gadis jaman sekarang yang se santun Gendhis, apalagi gadis kota yang sering ia temui.
Gendhis dan Lintang hanya tersenyum melihat tingkah Arnold itu.
"Lintang sering cerita soal kamu lho Dek... dan ternyata setelah ketemu langsung sama orangnya, gue baru ngerti... kenapa Lintang selalu marah-marah tiap kali teleponnya nggak diangkat. Dia pasti takut ditinggalin kamu, Dek... Iya kan Lin?" Arnold meledek sahabatnya.
"Hey... Bro... siapa yang marah-marah?" Lintang merasa gengsi Arnold membuka kartunya di hadapan Gendhis.
"Ya siapa lagi? Masa gue?" Kata Arnold bercanda.
"Kak Arnold ini bisa aja..." Gendhis tersipu.
Setelah menghabiskan minumannya, Arnold pun berpamitan untuk pergi duluan. Dia tahu betul kalau sahabatnya ini lagi nggak mau diganggu.
"Eh, Bro... gue ke asrama duluan ya?" Arnold berpamitan.
"Jadi... aku ditinggal nih?" Tanya Lintang.
"Alahhh... bilang aja, kamu juga seneng kan aku tinggal duluan?" Arnold tersenyum mengejek.
"Dasar... Arnold. Ya udah sana buruan!" Kata Lintang.
"Okey... gue duluan. Assalamu'alaikum... Dek Gendhis..." Arnold berpamitan dengan wajah ramahnya.
"Waalaikumsalam... Kak..." Jawab Gendhis. Ia masih tersenyum-senyum melihat tingkah sahabat dekat Lintang itu.
"Lucu yaaa... temennya Mas Lintang." Kata Gendhis.
"Ey... cuma lucu aja lho nggak lebih..." Goda Lintang.
"Ya iya lah... lucu aja... emang ada lebihnya?" Gendhis balik bertanya.
"Dia juga udah bertunangan. Sama dengan kita, bedanya kalau kita dijodohkan sejak kecil, kalau Arnold, baru sekitar sebulan yang lalu." Kata Lintang.
"Ohhh..." Jawab Gendhis.
"Udah yuk, kita jalan...!" Ajak Lintang sambil beranjak dari tempat duduknya. Sepertinya dia sudah tak sabar lagi menghabiskan waktu liburnya bersama Gendhis.
"Kemana, Mas?" Tanya Gendhis sambil mengambil tasnya lalu berjalan mengikuti Lintang.
"Udah... ikut aja..." Kata Lintang.
"Mana kunci motornya?" Tanya Lintang.
Gendhis pun memberikan kunci motornya pada Lintang. Mereka lantas menaiki sepeda motor Gendhis, karena jarak cafe dengan gedung Akmil tidaklah jauh, maka Lintang dan Arnold cukup berjalan kaki saja.
Waktu libur pesiar Lintang tidak banyak, mereka pun tak bisa pergi terlalu jauh. Apalagi jam tiga sore nanti, Lintang harus sudah kembali ke asrama. Ahirnya mereka memutuskan untuk pergi ke tempat wisata pemancingan di sekitar sungai Progo. Lintang tak punya keahlian dalam memancing, tapi tujuan mereka ke tempat itu adalah selain bisa bercerita panjang lebar tentang kesibukan mereka, juga untuk menikmati menu ikan bakar khas Magelang, sambil menikmati sejuknya pemandangan di tepian sungai Progo.
Mereka duduk di gazebo yang sudah disediakan, sambil menunggu makanan yang mereka pesan selesai dibuat.
"Kabar Bapak Ibu gimana, Dis?" Lintang menanyakan orang tuanya.
"Alhamdulillah... baik, sehat." Jawab Gendhis.
"Kalau calon mertua ku?" Lintang menanyakan kabar orang tua Gendhis.
"Alhamdulillah... baik juga. Oh iya, tadi Ibu nitip salam buat Mas Lintang. Ibu tadinya nggak tahu aku mau ketemu sama Mas Lintang, setelah aku minta izin, katanya... lain kali kalau mau ketemu Mas Lintang kasih kabar dulu, biar ibu bisa buatin kue pelok kesukaan Mas Lintang." Kata Gendhis.
"Waalaikumsalam... oh iya... duuuhh... jadi kangen kue pelok bikinan Bu Sari..." Kata Lintang.
"Dis... Kamu jadi ikut UMPTN di Untidar?" Lanjut Lintang bertanya.
"InsyaAllah... do'anya aja Mas, mudah-mudahan bisa lolos seleksi." Jawab Gendhis.
"Aku sih yakin... kamu pasti bisa lolos seleksi."
"Amiiin..." Kata Gendhis.
Mereka berdua masih menyaksikan hamparan sawah yang mulai menguning di seberang sungai.
"Tahu nggak Dis, semalem aku nggak bisa tidur." Kata Lintang.
"Oh ya? Emang kenapa?" Gendhis bertanya dengan wajah serius.
"Ya gara-gara kamu lah... emang apa lagi..." Jawab Lintang.
"Aku? Lho... lho... kenapa bisa? Emang aku ngapain Mas?" Gendhis masih tak mengerti.
"Hhhmmm... sok pura-pura lupa..."
"Eh... serius tau Mas... aku beneran nggak ngerti." Kata Gendhis.
"Beneran nggak ngerti?" Tanya Lintang
"Iya... bener..." Jawab Gendhis.
Lintang menarik nafas panjang lalu berkata,
"Kemarin sore... siapa yang tiba-tiba tutup telepon nggak bilang-bilang?"
Gendhis tersenyum.
"Yaaa... aku, Mas. Maaf..." ☺
"Lalu, sebelum telepon ditutup kamu bilang apa?" Lintang memancing Gendhis untuk mengatakan kembali ucapannya yang kemarin sore.
"Bilang apa ya?" Gendhis pura-pura lupa, padahal jelas banget ia ingat kata-kata itu, namun malu untuk mengatakan.
"Sudah aku duga... paling beraninya cuma lewat telepon." Lintang mengejek.
"Yeee... siapa yang beraninya cuma lewat telepon Mas? Aku? Nggak lah..." Kata Gendhis.
"Yakin berani? Kalau gitu, aku pengen denger sekarang... nggak lewat telepon. Cepetan..." Lintang memaksa.
"Nggak mau ah..." Jawab Gendhis dengan rona wajah memerah.
"Cepetan... Gendhis... keburu jam tiga nih..." Lintang masih terus membujuk Gendhis.
"Nggak ma...u..." Kata Gendhis.
Lintang segera menarik jemari Gendhis dan berkata,
"Tatap mata ku..."
Gendhis masih menundukkan wajahnya.
"Gendhis... tatap mataku!" Lintang mengulangi ucapannya.
Jantung Gendhis berdetak sangat kencang saat menatap mata Lintang.
"Aku cuma pengen denger... sekaliii... aja. Please... aku kan tunangan mu. Sekali saja... panggil aku... Sayang..." Pinta Lintang.
Gendhis tak tahu harus berkata apa, bahkan Lintang tak mau melepaskan tangannya sebelum Gendhis memanggilnya dengan panggilan itu. Ia seolah tak peduli ketika pengantar makanan datang membawakan pesanan mereka.
"Permisi... pesanan datang..." Kata sang pelayan sambil menatap penuh tanda tanya dengan apa yang sedang ia lihat.
"Makasih... mbak... taruh aja di atas meja." Jawab Gendhis merasa tak enak hati dengan pelayanan yang dia khawatirkan akan salah faham itu.
"Iya, Kak... permisi..." Pelayanan itu pergi ke dapur lagi dengan tatapan yang terheran-heran.
"Mas Lintang... lepasin tangan ku, nggak enak sama pelayanan tadi, dikiranya kita ngapain." Pinta Gendhis.
"Nggak akan aku lepasin. Biarin aja dia liatin kita, kita kan nggak ngapa-ngapain..." Lintang masih saja menatap mata Gendhis dalam-dalam, semakin membuat Gendhis salah tingkah.
Gendhis menghela nafas panjang lalu berkata,
"Okey... Mas Lintang Sayang... aku sayang kamu!" Gendhis langsung menarik kedua tangannya.
Lintang masih terpaku bahagia mendengar ucapan itu. Sungguh... membuat Gendhis bilang sayang rasanya lebih sulit daripada harus pushup lima puluh kali. Tapi ia bahagia, setidaknya ia telah berhasil mendengar kata itu langsung dari mulut Gendhis.
Mereka pun akhirnya menikmati menu makan siang yang sudah mereka pesan.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Lintang tak boleh terlambat sampai di asrama atau dia akan terkena hukuman. Karenanya, segera Lintang meminta Gendhis mengantarkannya kembali ke asrama, lalu Gendhis kembali pulang ke rumahnya.
*****
Gandis juga baru lulus SMA kok bisa langsung jadi guru?