Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GARIS DUA
Tidak butuh terlalu lama tuk mengantri, Arum beranjak saat seorang perawat memanggil namanya. Di temani Langit, mereka masuk ke dalam sebuah ruang periksa.
Begitu Arum dan Langit melangkah masuk ke ruang periksa, seorang dokter wanita yang tengah sibuk mencatat laporan pasien sebelumnya segera beranjak dari kursi. Senyum ramah terukir jelas di wajahnya, menghadirkan kesan hangat yang seketika meredakan ketegangan di udara.
“Selamat pagi,” Sapanya lebih dulu dengan suara lembut namun profesional. “Silakan masuk,"
Arum mengangguk pelan, langkahnya sedikit ragu saat mendekat, sementara Langit berada di sisinya, kehadirannya memberi rasa aman tersendiri. Dokter itu kemudian menutup map di tangannya, mengalihkan seluruh perhatiannya pada mereka berdua.
“Saya dokter Rani,” Lanjutnya memperkenalkan diri. “Apa keluhannya, bu?"
Sekejap, Arum menoleh ke arah Langit. Tatapannya menyiratkan ragu, seolah mencari keberanian dari sorot mata pria itu. Langit membalasnya dengan anggukan kecil dan genggaman lembut di jemarinya—isyarat diam bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Arum menarik napas dalam, lalu kembali memandang sang dokter. "Sa-saya... merasa mual, dokter. Dan muntah tadi sore."
"Ibu sudah cek siklus haid?"
Arum menggeleng pelan. Wajahnya sedikit tertunduk, ada rasa canggung yang menyelinap di dadanya. Ia memang tak pernah benar-benar menghitung masa haidnya—hari-hari berlalu begitu saja tanpa pernah ia beri perhatian lebih. Dalam pikirannya dulu, semua akan tetap baik-baik saja. Ia yakin tubuhnya akan berjalan sebagaimana mestinya, setidaknya sampai hari di mana ia menikah kelak dan mulai memikirkan hal-hal seperti ini dengan sungguh-sungguh.
Namun kini, keyakinan sederhana itu runtuh perlahan. Ada kecemasan yang merayap, bercampur penyesalan kecil karena ketidaktahuannya sendiri. Sementara di sampingnya Langit tetap diam, kehadirannya menjadi satu-satunya penopang di tengah perasaan tak menentu yang mulai memenuhi ruang dadanya.
"Be-Belum, dok. Saya lupa." Jawabnya kemudian.
“Ya sudah, tidak apa-apa,” Ungkap sang dokter dengan senyum menenangkan. “Kalau begitu, langkah pertama… kita periksa dulu lewat test pack, ya, Bu. Setelah itu, kita pemeriksaan USG. Mari ikut saya.”
Arum mengangguk menurut, lalu melangkah pelan mengikuti sang dokter menuju ruangan kecil di dalam. Pintu kemudian tertutup di belakangnya, menyisakan Langit seorang diri di ruang tunggu.
Ia duduk gelisah, jemarinya saling bertaut lalu terlepas, pandangannya berkali-kali tertuju ke arah pintu yang sejak tadi tak juga terbuka.
Waktu terasa berjalan lambat, tiap detiknya dipenuhi kecemasan yang tak terucap.
Hingga dua puluh menit berlalu.
Pintu itu akhirnya terbuka. Sang dokter keluar lebih dulu, diikuti Arum yang wajahnya tampak pucat namun tenang—terlalu tenang hingga sulit ditebak.
Keduanya kemudian duduk berdampingan berhadapan dengan sang dokter. Arum duduk dengan bahu sedikit menegang, kedua tangannya saling bertaut di pangkuan, sementara Langit berada di sisinya, tubuhnya condong tipis seolah siap menyangga kapan saja.
"Usia kandungannya memasuki dua minggu." Jelas sang dokter, memecah keheningan, menatap keduanya bergantian.
"Ma-Maksud dokter..."
“Istri Anda hamil, Pak,” Sela sang dokter dengan nada tenang namun tegas.
Sejenak, kata-kata itu menggantung di udara. Arum terpaku, napasnya tercekat, sementara Langit membeku di tempatnya—mata pria itu membulat, seolah butuh waktu untuk mencerna kabar yang barusan ia dengar.
“Mual dan muntah adalah hal yang wajar dialami ibu hamil, terutama di usia trimester pertama seperti ini. Tubuh Ibu sedang beradaptasi dengan perubahan hormon.”
Ia lalu mengalihkan pandangan pada Langit. “Karena itu, peran seorang suami sangat dibutuhkan. Dukungan emosional, kesabaran, dan perhatian kecil akan sangat membantu kondisi Ibu selama masa awal kehamilan.”
Langit menelan ludah. Perlahan, tangannya mencari jemari Arum dan menggenggamnya erat. Arum menoleh, matanya berkaca-kaca—antara kaget, haru, dan rasa takut yang bercampur menjadi satu. Namun di balik semua itu, ada kehangatan yang mulai tumbuh, sebuah kehidupan kecil yang kini mengikat mereka lebih kuat dari sebelumnya.
****
Arum melamun, pandangannya kosong menembus kaca mobil tanpa benar-benar melihat apa pun. Kabar kehamilan itu terus berputar di kepalanya, terasa begitu nyata sekaligus menakutkan. Kehamilan di luar pernikahan—sebuah kenyataan yang tak pernah ia bayangkan akan menimpa dirinya. Dadanya terasa sesak, ada takut, cemas, dan getir yang bercampur menjadi satu. Jemarinya gemetar saat ia letakkan di atas perutnya, seolah mencoba memastikan bahwa semua ini benar-benar terjadi.
Di sampingnya, Langit memegang kemudi dengan rahang sedikit mengeras. Ia merasakan guncangan yang sama hebatnya—kaget, takut, dan dihantui berbagai kemungkinan. Namun semua itu ia telan dalam-dalam. Ia memilih menyembunyikan kegelisahannya di balik wajah tenang dan sikap seolah baik-baik saja. Sesekali ia melirik Arum dari sudut mata, memastikan wanita itu masih utuh meski hatinya jelas rapuh.
"Apa yang harus kita lakukan, Mas?" Ucap Arum akhirnya, memecah setengah lamunannya. Tatapannya masih kosong memandang lalu lalang yang terlewat di luar sana.
Langit pun demikian, ia memilih memusatkan seluruh perhatiannya pada kemudi. Pandangannya lurus ke depan, seolah jalanan adalah satu-satunya hal yang mampu menahan pikirannya agar tak berlarian ke mana-mana. Sesekali, jarinya mengetuk setir, sebuah ritme pelan namun gelisah yang menjadi satu-satunya tanda bahwa hatinya tak setenang wajahnya.
Ia tahu, bahkan sejak awal ia telah memiliki tujuan. Ia pernah mengucapkannya pada dirinya sendiri, pada semesta yang menjadi saksi diam-diam, jika suatu hari wanita yang ia cintai itu hamil, maka ia akan menikahi Arum. Tanpa ragu, tanpa tawar-menawar. Keputusan itu sudah ia pikirkan, tertanam jauh sebelum kenyataan ini benar-benar datang.
Namun kini, satu nama muncul dan menyesakkan dadanya.
Laura.
Bayangan sosok ibunya itu melintas di benaknya, lengkap dengan tatapan dingin dan penolakan yang tak pernah setengah-setengah. Langit mengepalkan rahangnya, jari-jarinya berhenti mengetuk setir. Ia tahu, keputusan ini tak akan mudah. Akan ada badai, akan ada amarah, mungkin juga luka yang harus ditelan.
"Mas?"
“Aku akan menikahi kamu segera,” Jawab Langit tanpa menunggu lama. Nadanya datar, nyaris tanpa emosi, seakan ketegasan di setiap katanya itu tak menyisakan ruang untuk ragu.
Kalimat itu jatuh begitu saja, sederhana, namun menghantam hati Arum dengan kuat. Seketika, dadanya terasa lebih lapang—seperti beban besar yang sejak tadi menekan napasnya perlahan terangkat. Ada rasa lega yang mengalir hangat, membuat matanya berkaca-kaca dan hatinya berkata bahwa ia tak lagi sendirian menghadapi semua ini.
Namun bersamaan dengan lega itu, muncul perasaan lain yang menyelinap pelan. Penyesalan.
Ya. Penyesalan sebagai seorang gadis yang bermimpi tentang pernikahan yang datang dengan tawa, restu, dan kesiapan yang utuh. Bukan dalam keadaan seperti ini—di tengah ketakutan, bisu, dan kenyataan yang terlanjur terjadi, sebuah aib yang sulit disembunyikan.
Arum menunduk, jemarinya saling meremas. Hatinya bergetar di antara syukur sekaligus rasa bersalah, antara cinta dan kehilangan atas mimpi yang tak sempat ia genggam.
Di sampingnya, Langit tetap memandang jalan, tangannya mantap di kemudi—tak banyak kata, tak lagi bicara. Seolah, kalimat itu memang menjadi keputusan bulatnya.
****