Cerita Mengenai Para Siswa SMA Jepang yang terpanggil ke dunia lain sebagai pahlawan, namun Zetsuya dikeluarkan karena dia dianggap memiliki role yang tidak berguna. Cerita ini mengikuti dua POV, yaitu Zetsuya dan Anggota Party Pahlawan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A.K. Amrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu...
Di sebuah taman sekolah yang disinari cahaya sore yang hangat, daun-daun bergoyang perlahan tertiup angin, Kouji dan Haruto duduk berdampingan di bangku panjang. Suara riuh murid-murid di kejauhan terdengar samar, namun di sini, di bangku itu, rasanya dunia seakan menepi, memberi mereka ruang sendiri. Mereka telah bersahabat sejak SMP, kini berada di kelas 2 SMA, dan kebersamaan itu terasa nyaman, meski keduanya diam-diam menyimpan rahasia hati masing-masing.
“Hei, Kouji…” Haruto berbicara, suaranya sedikit ragu. Tangannya yang biasanya luwes, kini mengepal di pangkuannya. Ada ketegangan yang jelas, seperti dirinya sedang menimbang sebuah keputusan besar.
“Hmm? Ada apa?” Kouji menoleh, menatap sahabatnya dengan tatapan hangat, senyum tipis di bibirnya. Ia bisa merasakan kegugupan Haruto.
“Sebenarnya… aku suka Yui,” bisik Haruto, suaranya hampir tenggelam di antara hembusan angin. Ia menundukkan kepala, pipinya memerah samar, seperti takut kata-kata itu akan terlalu besar untuk dunia di sekitarnya.
Kouji menatapnya lama, diam sejenak. Senyumnya perlahan muncul, ramah dan tenang.
“Hoo~ Jadi kau jatuh cinta ya?”
Haruto menggaruk-garuk kepala, gugup. Ia mengangguk kecil. “Aku ingin mengungkapkan perasaanku suatu saat nanti… Tapi… aku takut dia menolakku.”
Kouji tertawa ringan, menepuk bahu Haruto dengan lembut. “Santai saja, bro. Kalau kau benar-benar menyukainya, ungkapkan saja. Jangan jadi pengecut.”
Haruto tersenyum tipis, sedikit lega, menatap langit sore yang berwarna jingga keemasan. “Haha… Terima kasih, Kouji. Aku… aku senang kau bilang begitu.”
Namun, matanya tak bisa menahan rasa penasaran, sebuah pertanyaan yang membara di dalam dada. Ia menatap Kouji dengan serius. “Kau kan cukup populer… jangan bilang kau juga tertarik pada Yui?”
Kouji menggeleng, tetap tersenyum. “Enggak. Aku nggak akan merebut Yui darimu. Kalau kau suka dia, kejar dia.”
Haruto menghela napas, dadanya sedikit lega. Namun, di balik itu, ada rasa sakit halus yang menusuk, karena bagaimanapun, hatinya tak bisa sepenuhnya bebas dari ketakutan kehilangan.
Saat jam istirahat tiba, Haruto berjalan menuju atap sekolah, tempat favoritnya untuk menenangkan diri. Ia membuka pintu, ingin menikmati angin sepoi-sepoi, membiarkan pikirannya meresapi perasaan yang baru saja ia ungkapkan.
Namun langkahnya terhenti seketika.
Di atas atap itu, Yui berdiri berhadapan dengan Kouji. Tangan Yui mengepal di depan dada, dadanya naik turun sedikit karena gugup, namun tatapannya begitu tulus. Haruto menelan ludah, jantungnya berdebar kencang.
“Kouji… Aku menyukaimu.”
Mata Haruto membelalak. Waktu seakan berhenti. Dunia sekelilingnya hilang, hanya tersisa Yui dan Kouji. Ia menyelinap perlahan, bersembunyi di balik pintu, mengintip dari celah sempit.
Kouji tampak terkejut, kemudian senyum tipis muncul di bibirnya.
“Yui… maaf. Aku nggak bisa menerimanya.”
“Eh…?” Yui terkejut, suaranya bergetar, penuh harap yang patah.
“Aku nggak bisa membalas perasaanmu,” Kouji mengulang, lebih lembut. “Kau gadis yang baik… tapi aku hanya melihatmu sebagai teman.”
Haruto merasakan lega dan sakit sekaligus. Lega karena Kouji menolak, membuka celah bagi dirinya sendiri. Tapi sakit karena itu artinya Yui benar-benar mencintai Kouji, bukan dirinya.
Yui menunduk sejenak, tampak kecewa, namun kemudian ia mengangkat wajahnya. Mata Yui menyala dengan tekad yang tak terbantahkan.
“Aku nggak peduli, Kouji!” suaranya lantang, hampir menantang. “Aku nggak akan menyerah sampai kau jadi milikku!”
Kouji menghela napas panjang, menatapnya penuh perhatian. “Yui… perasaan itu nggak bisa dipaksakan.”
“Siapa bilang aku mau memaksamu?” Yui tersenyum, penuh percaya diri. “Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku! Aku nggak peduli berapa lama yang dibutuhkan!”
Haruto menggertakkan giginya. Tangan yang menahan pintu atap mengepal hingga tulangnya memutih.
“Jadi… meskipun ditolak… dia tetap mengejar Kouji?” gumamnya dalam hati. Tubuhnya bergetar, hati teriris. Ia merasa paling tak diinginkan di antara ketiganya.
Sekarang, di matanya, dunia tidak adil. Setiap detik perasaan itu tertanam di dadanya: cemburu, sakit hati, dan hasrat untuk membuktikan dirinya lebih kuat, lebih berharga.
Ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam, merasakan setiap denyut yang bergetar di dadanya. Di situ, benih amarah dan ambisi mulai tumbuh.
Benih yang kelak akan mengubahnya… menjadi seseorang yang haus kekuatan, haus pengakuan, dan haus balas dendam.
Dan di bawah langit sore yang sama, Kouji tersenyum tenang, Yui tetap menatapnya dengan tekad, dan Haruto… mulai menyadari bahwa jalannya tidak akan pernah sama lagi.