Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24: JANJI DI LORONG GELAP
HARI KEDUA - ARENA KELUARGA CAKRAWALA
Udara pagi ini terasa lebih berat.
Jika kemarin arena dipenuhi sorak-sorai ejekan, hari ini atmosfernya berubah menjadi ketegangan yang menyesakkan. Ribuan penonton memadati tribun, namun bisikan mereka terdengar hati-hati, terutama saat menyebut satu nama.
Baskara Atmaja Dirgantara.
Di barisan peserta yang tersisa—kini tinggal 32 orang—Baskara berdiri tegak. Jubah hitamnya baru dan bersih, namun tatapan matanya tetap sedingin es.
Di balik wajah datarnya, pikiran Baskara bekerja cepat melakukan kalkulasi.
[Sistem,] panggilnya dalam hati.
[Ya, Tuan?]
[Pertandingan kemarin terlalu mencolok. Satu pukulan, musuh terbang sepuluh meter. Itu membuat mereka waspada. Aku tidak ingin mereka takut... belum saatnya.]
[Anda ingin mereka meremehkan Anda lagi?]
[Bukan meremehkan. Tapi meragukan. Aku ingin Wibawa dan Tetua Satriya berpikir bahwa kemarin hanyalah keberuntungan. Atau mungkin Surya yang terlalu lemah. Aku ingin mereka menurunkan perisai mental mereka.]
[Strategi cerdas. Jadi untuk babak ini?]
[Aku akan bermain drama. Menunjukkan kesulitan. Menang tipis dengan strategi, bukan kekuatan murni.]
Baskara menyunggingkan senyum tipis yang tak terlihat.
"BABAK KEDUA DIMULAI!"
Suara Patriark Dharma menggelegar, diperkuat Prana. "Tiga puluh dua petarung! Hanya enam belas yang akan bertahan!"
Daftar pertandingan diumumkan. Sorak-sorai membahana.
"PERTANDINGAN KELIMA! BASKARA MELAWAN DARMA (KLAN CABANG TIMUR)!"
Arena hening sejenak. Tidak ada tawa kali ini. Hanya antisipasi.
Darma, pemuda 23 tahun dengan tubuh atletis dan rambut diikat ke belakang, naik ke arena. Auranya stabil di Ranah Pengumpulan Prana Bintang 7—dua tingkat di atas Surya.
Ia menghunus pedang panjangnya. "Aku melihat pukulanmu kemarin," ucap Darma serius. "Kau kuat. Tapi aku tidak akan meremehkanmu seperti Surya."
Baskara mengangguk kecil. "Aku menghargai itu."
"MULAI!"
SRING!
Darma tidak menyerang membabi buta. Ia bergerak mengalir.
"TEKNIK PEDANG ALIRAN AIR: ARUS PERTAMA!"
Pedangnya menyabet—bukan satu serangan tunggal, melainkan rangkaian tebasan yang menyambung tanpa putus, mengincar titik vital Baskara seperti air yang mencari celah.
Baskara mundur. Ia tidak menggunakan kecepatan supernya. Ia menghindar dengan footwork canggung, seolah-olah kewalahan.
SWISH! SWISH!
"Dia... kesulitan?" bisik penonton.
"Baskara tidak bisa menyerang balik..."
"Benar kan! Kemarin itu cuma hoki!"
Baskara mendengar bisikan itu. ‘Sempurna.’
Selama tiga menit, ia hanya bertahan. Membiarkan Darma mendesaknya hingga ke pinggir arena.
"ARUS KELIMA: TSUNAMI!"
Darma melompat, pedangnya berayun vertikal dengan kekuatan penuh ke arah bahu Baskara.
Saat itulah Baskara bergerak.
Bukan dengan kekuatan Inti Emas. Tapi dengan teknik bela diri murni.
Ia melangkah masuk ke dalam jangkauan serangan, tepat sebelum momentum pedang mencapai puncaknya. Tangan kanannya menangkap pergelangan tangan Darma, tangan kirinya mendorong siku lawan.
Baskara bergerak efektif.
Dengan memanfaatkan gaya dorong Darma sendiri, Baskara membantingnya.
"Hah?!" Darma melayang di udara, matanya membelalak kaget.
BRUK!
Darma mendarat keras di luar garis batas arena.
Hening.
"Darma keluar arena! Pemenang: Baskara!" teriak wasit.
Tepuk tangan terdengar ragu-ragu.
"Dia... tidak memukul?"
"Cuma bantingan? Itu bukan teknik kultivasi..."
"Ah, dia cuma pintar memanfaatkan momentum. Fisiknya tidak sekuat itu."
Di tribun Tetua, Satriya mengerutkan kening. "Aneh... kemarin dia brutal. Sekarang dia main teknik halus?"
Patriark mengibaskan tangan. "Mungkin dia kehabisan tenaga atau Prana-nya terbatas. Baguslah, itu artinya dia punya batasan."
SUDUT GELAP TRIBUN
Dua sosok misterius mengamati dari balik bayangan pilar.
Seorang pria kekar berambut merah cepak, dan seorang wanita cantik berambut pirang panjang dengan gaun putih elegan.
Mereka menekan aura mereka hingga titik nol, namun kekuatan asli mereka jauh melampaui siapa pun di arena ini.
Bharata (Ranah Jiwa Baru Bintang 1) dan Kirana Anjani (Ranah Jiwa Baru Bintang 3).
"Membosankan," wanita itu menguap kecil, menutupi mulutnya dengan kipas. "Kenapa kita mampir ke kota udik ini, Bharata?"
"Ada yang menarik, Nona," jawab Bharata, matanya tajam menatap Baskara. "Bocah itu."
"Si menantu sampah?"
"Pukulannya kemarin setara Inti Emas. Bantingan barusan... itu penguasaan diri tingkat tinggi. Dia sedang bersandiwara."
Wanita itu menurunkan kipasnya, matanya yang biru sedingin es kini memancarkan minat. "Inti Emas di usia belasan? Di kota sekecil ini? Menarik..."
BABAK KETIGA - SORE HARI
"PERTANDINGAN KETUJUH! BASKARA MELAWAN ARYA (KELUARGA UTAMA)!"
Arya, pemuda 21 tahun yang arogan, naik ke panggung. Ranah Pengumpulan Prana Bintang 8. Ia mengenakan sarung tangan besi (gauntlet) yang bersinar merah.
"Permainanmu berakhir di sini, Sampah," cibir Arya.
"MULAI!"
BOOM!
Arya menerjang. Kecepatannya jauh di atas Darma.
"TINJU METEOR: LEDAKAN BINTANG!"
Baskara menahan pukulan itu dengan menyilangkan tangan.
DUAK!
Baskara terseret mundur dua meter, kakinya meninggalkan jejak di lantai batu.
"Lihat! Dia terdesak!" sorak penonton.
Arya menyeringai, melancarkan combo pukulan bertubi-tubi. Baskara bertahan, tapi terlihat kewalahan. Beberapa pukulan Arya mengenai rusuknya.
Baskara terpelanting dramatis, berguling di tanah, lalu bangkit dengan napas tersengal. Ia bahkan menggigit lidahnya sendiri sedikit agar ada darah yang mengalir dari bibir.
"HAHAHA! Kau lemah!" tawa Arya.
Di tribun, Larasati menutup mulutnya ngeri. 'Baskara...'
Arya bersiap untuk serangan terakhir. "Matilah! SUPERNOVA!"
Ia melompat tinggi, sarung tangannya bersinar menyilaukan, siap menghantam kepala Baskara.
Di saat itulah, mata Baskara berkilat dingin.
Cukup main-mainnya.
[SILENT FLASH]
ZRRRT!
Baskara menghilang dari pandangan.
Ia muncul tepat di belakang Arya yang masih melayang di udara.
"Tidurlah," bisik Baskara.
Satu ketukan jari. Tepat di titik syaraf leher belakang.
TUK.
Aliran Prana Arya terputus seketika. Tubuhnya lumpuh total di udara, lalu jatuh berdebam ke lantai seperti karung beras.
GEDEBUK!
Arya pingsan dengan mata melotot.
Wasit ternganga. "A-Arya tidak bisa lanjut! Pemenang: Baskara!"
Penonton bingung. "Apa yang terjadi?" "Kenapa Arya jatuh sendiri?"
Di tribun Tetua, Satriya berdiri mendadak. "Titik syaraf... dan kecepatan itu... dia sengaja mengalah dari tadi!"
Tapi sebelum ia bisa bicara, Patriark tertawa. "Hahaha! Arya bodoh! Dia terpeleset aliran Prana-nya sendiri!"
Satriya duduk kembali, matanya menyipit curiga. 'Bukan terpeleset. Bocah ini... berbahaya.'
Dan di pojok arena, wanita berambut pirang tersenyum—senyum tipis yang penuh pengertian.
"Ah... kau benar…" bisiknya, "dia menahan diri."
Bharata menatapnya. "Jika dia mau, dia pasti bisa melibas mereka kurang dari 5 detik. Gerakan dia barusan, luar biasa cepat."
Wanita itu tertawa, ia mengamati Baskara dengan mata yang berkilat minat. "Sayang sekali... pertunjukannya jadi tidak seru.""
Bharata mengerutkan kening. "Apa aku harus mengetesnya langsung setelah turnamen, Nona?"
Wanita itu menggeleng. "Tidak perlu.
"Apa dia menyadari keberadaan kita?" Bharata melirik ke arah Baskara. "Padahal kita menekan aura sampai para Tetua itu tidak sadar."
Wanita berambut pirang tersenyum—senyum misterius. "Mungkin saja."
LORONG MENUJU KAMAR BASKARA - SENJA
Senja tiba. Turnamen hari kedua selesai. Enam belas peserta lolos ke semi-final yang akan diadakan besok.
Baskara berjalan menyusuri lorong sepi menuju kamarnya—tubuh "lelah" setelah seharian bertarung.
Tapi tepat saat dia hendak membuka pintu kamar, seseorang muncul dari sudut lorong.
"Baskara..."
Suara lembut membuatnya berhenti.
Dia menoleh—dan melihat Larasati berdiri di ujung lorong, di depan pintu kamarnya sendiri yang berjarak tidak jauh dari kamar Baskara.
Wajah wanita itu terlihat cemas. Mata beningnya berkaca-kaca.
Tanpa kata, dia berlari—dan memeluk Baskara.
Baskara tersentak—tidak mengharapkan ini. Tapi refleks, tangannya melingkari tubuh Larasati, memeluknya dengan lembut.
"Ada apa?" bisik Baskara.
Larasati tidak menjawab. Dia hanya memeluk lebih erat, wajahnya terkubur di dada Baskara, napasnya tersendat.
"Aku... aku khawatir..." akhirnya dia berbisara, suaranya bergetar. "Ibu bilang... mereka akan bertindak. Wibawa, Patriark, Tetua-tetua... mereka akan menyakitimu. Aku takut... aku takut kehilanganmu lagi..."
Baskara merasakan sesuatu menekan dadanya—bukan tekanan fisik, tapi emosi yang jarang dia rasakan.
Dia mengangkat tangan, mengelus rambut hitam panjang Larasati dengan lembut. "Tenanglah," bisiknya dengan nada yang lebih hangat dari biasanya. "Tidak ada yang akan menyakitiku. Aku berjanji."
Larasati mengangkat wajahnya—mata berkaca-kaca menatap langsung ke mata Baskara. "Tapi mereka—"
"Mereka lemah." Baskara menghapus air mata di pipi Larasati dengan ibu jarinya. "Dan aku tidak lagi bocah lemah yang kau kenal dulu. Aku sudah berubah, Larasati. Aku sudah cukup kuat untuk melindungi diriku sendiri. Dan melindungimu."
Larasati menatapnya dalam keheningan—lalu tersenyum tipis, meski air matanya masih mengalir. "Aku tahu. Aku melihat pertandinganmu. Kau... kau luar biasa."
Baskara tersenyum—senyum tulus yang jarang dia tunjukkan. "Tunggu saja. Setelah aku menang turnamen ini..." dia mengelus pipi Larasati dengan lembut, "...aku akan membawamu pergi dari sini. Dengan terhormat. Tidak kabur lagi seperti pengecut. Kali ini, kita akan pergi dengan kepala tegak."
Mata Larasati melebar. "Janji?"
"Aku janji."
Mereka menatap satu sama lain—jarak antara wajah mereka semakin dekat, napas saling menyentuh, dan untuk sesaat, dunia di sekitar mereka terasa menghilang.
Bibir mereka hampir menyentuh—
Tapi Baskara tiba-tiba berhenti.
Matanya menyipit, kepalanya sedikit miring, indera tajamnya menangkap sesuatu.
‘Ada yang datang.’
"Siapa di sana?"
Ki Gareng muncul dari bayangan, membawa nampan makanan dengan wajah serba salah. "Ma-maaf, Tuan Muda... Nona..."
Baskara menghela napas lega, lalu tersenyum tipis. "Taruh saja di kamar, Ki."
Ki Gareng buru-buru masuk dan keluar, meninggalkan pasangan itu. Larasati tertawa kecil di sela air matanya. "Dia pasti melihat..."
"Biarkan saja," Baskara tersenyum tulus. "Istirahatlah. Besok semi-final."
"Menanglah," bisik Larasati, menyentuh tangan suaminya. "Dan kembalilah padaku."
PAGI BERIKUTNYA - SEMI-FINAL
Arena penuh sesak. Atmosfernya mendidih.
Patriark membuka gulungan undian.
"PERTANDINGAN PERTAMA SEMI-FINAL!"
Jeda panjang.
"BASKARA ATMAJA DIRGANTARA... MELAWAN... INDRA!"
Sorak-sorai meledak, tapi kali ini bernada ngeri.
Indra.
Pelindung pribadi Wibawa. Pembunuh bayaran profesional yang dipekerjakan sebagai pengawal. Ranah Inti Emas Bintang 2. Dikenal sadis dan suka mematahkan kaki lawan.
Di tribun atas, Wibawa akhirnya tersenyum lebar. Senyum kemenangan.
"Indra," bisiknya pada pria kekar di sampingnya. "Hancurkan dia. Buat dia menderita!"
Indra mengangguk kaku. Ia mencabut pedang besar di punggungnya—bilah selebar pintu yang memancarkan aura merah darah.
Ia melompat turun ke arena. BOOM! Tanah retak di bawah kakinya.
Baskara naik ke panggung. Wajahnya kembali datar.
Namun di dalam kepalanya, Sistem memberi peringatan.
[Tuan, lawan ini berbeda. Dia profesional. Auranya stabil. Dia pembunuh sejati.]
Baskara tersenyum tipis. Sangat tipis.
'Bagus. Aku sudah bosan pura-pura lemah.'
Keduanya berdiri berhadapan. Jarak sepuluh meter terasa seperti jurang kematian. Aura dua kultivator Inti Emas bergesekan di udara, menciptakan percikan listrik statis yang bisa dirasakan penonton.
"Aku sudah membunuh dua belas orang di arena," suara Indra berat seperti batu. "Kau yang ketiga belas."
Baskara tidak menjawab.
Hanya menatap balik dengan mata yang perlahan... menyala merah.
Wasit mengangkat tangan, keringat dingin mengucur di pelipisnya.
"MULAI!"
[BERSAMBUNG KE BAB 25]
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe