Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Lima tahun. Waktu telah berlalu, bukan sebagai arus deras yang menghanyutkan, melainkan sebagai aliran sungai yang tenang dan dalam, mengikis tepi-tepi tajam dari kenangan pahit dan memolesnya menjadi batu-batu sungai yang halus.
Pesta ulang tahun kelima Banyu adalah sebuah kekacauan yang indah. Halaman belakang rumah kami, yang dulu menjadi saksi bisu dari kesunyian dan harapan, kini dipenuhi oleh tawa anak-anak, balon-balon berwarna-warni yang menari-nari ditiup angin, dan aroma manis dari kue tart cokelat serta harumnya sate yang sedang dipanggang oleh Ayah dan Hermawan Wijoyo. Ya, dua kakek itu kini telah menjadi duo pemanggang sate yang andal di setiap acara keluarga, perdebatan sengit mereka bukan lagi tentang bisnis, melainkan tentang resep bumbu kacang mana yang lebih otentik.
Aku berdiri di dekat studio lukisku, memegang segelas limun dingin sambil mengawasi semuanya. Dari sini, aku bisa melihat seluruh panorama kehidupanku yang baru. Aku melihat Danu, suamiku, yang sedang berlutut di atas rumput, membiarkan Banyu dan teman-temannya menaiki punggungnya seolah ia adalah seekor kuda. Tidak ada lagi jejak kerapuhan atau beban masa lalu di wajahnya. Yang ada hanyalah tawa lepas seorang ayah yang menemukan kebahagiaan terbesarnya bukan di ruang rapat, melainkan di atas hamparan rumput di halaman rumahnya sendiri.
Perusahaan keluarga Wijoyo telah bertransformasi di bawah kepemimpinannya. Ia berhasil menggabungkan visi modernnya dengan nilai-nilai lama ayahnya, menciptakan sebuah entitas bisnis yang tidak hanya profitabel, tapi juga dihormati. Dia membuktikan pada semua orang, dan yang terpenting pada dirinya sendiri, bahwa kesuksesan dan hati nurani bisa berjalan beriringan.
Lalu pandanganku beralih pada Binar. Kakakku. Dia adalah pusat dari keriuhan anak-anak. Dia tidak lagi duduk manis di pinggir lapangan; dia adalah pemimpin permainan. Dengan celana jeans dan kaus sederhana, rambut pendeknya yang kini dibiarkan tumbuh sedikit lebih panjang tampak berkilau ditimpa matahari. Dia sedang mengajari Banyu dan teman-temannya cara mencampur cat air di atas sebuah kanvas besar yang ia bawa sebagai hadiah.
"Tidak, tidak, jangan takut mencampur warna!" serunya dengan semangat. "Lihat, kalau biru dicampur kuning jadi apa? Hijau! Keren, kan?"
Melihatnya begitu lepas, begitu tulus dalam kegembiraannya, hatiku terasa hangat. Butiknya telah berkembang menjadi sebuah merek fashion yang dikenal dengan desainnya yang etis dan berkelanjutan. Dia telah menemukan panggilannya, membangun kerajaannya sendiri dari nol, dengan bakat dan kerja kerasnya. Nilainya tidak lagi terikat pada statusnya sebagai istri atau ibu, melainkan pada identitasnya sebagai seorang seniman dan pengusaha.
"Dia terlihat bahagia."
Suara Ibu membuyarkan lamunanku. Ia berdiri di sampingku, membawa sepiring buah potong. "Siapa yang akan menyangka, ya, Rin. Dulu, melihatnya tersenyum saja rasanya sulit."
"Waktu menyembuhkan segalanya, Bu," jawabku.
"Bukan hanya waktu," ralat Ibu sambil tersenyum bijak. "Tapi juga keberanian untuk memaafkan. Keberanianmu, dan keberaniannya sendiri."
Kami menatap Binar yang kini pipinya dicoreng cat ungu oleh Banyu, dan dia hanya tertawa terbahak-bahak. Di sampingnya, berdiri seorang pria tinggi dan tenang yang memperhatikannya dengan tatapan penuh puja. Adrian, sang kurator seni yang telah menjadi pasangannya selama tiga tahun terakhir. Hubungan mereka adalah antitesis dari hubungannya dengan Danu dulu; dibangun di atas landasan kemitraan, saling dukung, dan ruang untuk bertumbuh masing-masing.
Pesta berlanjut. Banyu meniup lilin di atas kuenya dengan bantuan hembusan napas dari semua sepupu dan temannya. Saat tiba waktunya membuka kado, aku melihat esensi dari keluarga kami yang baru. Ayah dan Ibu memberinya satu set buku cerita petualangan. Kakek dan Nenek Wijoyo memberinya sebuah globe besar yang bisa menyala, "Agar cucuku bisa melihat dunia," kata Hermawan dengan suaranya yang kini sudah jauh lebih jelas.
Dan kado dari Aunty Binar adalah yang paling istimewa. Bukan mainan mahal, melainkan sebuah kotak kayu yang diukir dengan namanya. Di dalamnya, ada satu set cat air profesional ukuran dewasa, kuas-kuas dari bulu asli, dan sebuah buku sketsa tebal dengan sampul kulit.
"Ini bukan mainan, jagoan," kata Binar sambil berlutut di depan Banyu. "Ini alat. Sama seperti palu milik Kakek atau laptop milik Ayah. Ini alat untuk menciptakan keindahan. Jangan pernah takut untuk membuat duniamu sendiri lebih berwarna, oke?"
Banyu menatap kotak itu dengan mata berbinar, lalu memeluk tantenya dengan erat. "Makasih, Aunty Binar! Nanti kita melukis dinosaurus bareng, ya!"
Malamnya, setelah tamu terakhir pulang dan rumah kembali sunyi, aku menidurkan Banyu di kamarnya. Dia tertidur pulas, memeluk buku sketsa barunya, pipinya masih menyisakan sedikit noda kue cokelat. Aku mengecup keningnya, aroma manis kekanak-kanakan menguar darinya. Dia adalah bukti nyata dari pelangi kami.
Saat aku kembali ke ruang tengah, aku menemukan Danu sedang duduk di sofa, menatap sebuah bingkai foto di tangannya. Itu adalah foto pernikahan kami yang kedua, di taman kecil itu.
"Lima tahun," bisiknya saat aku duduk di sampingnya. "Rasanya seperti seumur hidup, sekaligus baru kemarin."
"Aku tahu apa maksudmu," jawabku, menyandarkan kepala di bahunya.
"Aku sering berpikir," lanjutnya. "Bagaimana jika... bagaimana jika malam itu kamu tidak menantangku untuk datang ke kamarmu? Bagaimana jika aku tidak pernah memberanikan diri untuk jujur? Mungkin kita masih terjebak dalam neraka sunyi itu."
"Mungkin," kataku. "Tapi 'bagaimana jika' tidak ada gunanya, Dan. Yang penting adalah 'apa yang sekarang'. Dan sekarang, kita di sini."
Kami terdiam, menikmati kebersamaan yang damai. Aku teringat pada pameran solo pertamaku tahun lalu. Sebuah pameran yang tidak pernah kuduga akan terjadi. Aku memberinya judul "Bekas Luka". Lukisan-lukisanku bercerita tentang perjalananku—dari kanvas-kanvas monokromatik yang penuh bayangan dan garis-garis tajam, perlahan bertransisi ke warna-warna pastel yang ragu-ragu, dan akhirnya meledak dalam warna-warni cerah yang penuh kehidupan.
Pameran itu terjual habis di hari pertama. Tapi bukan itu yang terpenting. Momen terpenting adalah saat Binar datang di hari pembukaan, berdiri lama di depan sebuah lukisan abstrak besar yang ku beri judul "Senja Patah Hati". Lukisan itu terinspirasi dari gaun yang pernah menjadi sumber penderitaanku.
"Aku ingat warna ini," bisiknya padaku saat itu. "Maafkan aku telah merusaknya untukmu."
"Kamu tidak merusaknya, Kak," jawabku. "Kamu hanya memberinya cerita yang lebih dalam."
Sekarang, duduk di samping Danu, aku sadar betapa benarnya kata-kata itu. Masa laluku, dengan segala kepahitannya, tidak lagi kurasakan sebagai beban. Itu telah menjadi bagian dari diriku, bagian dari ceritaku yang lebih dalam. Aku memaafkan, tapi aku tidak melupakan, karena melupakan berarti menghapus pelajaran berharga yang telah membentukku.
"Tahu tidak apa yang paling kusukai dari hari ini?" tanyaku pada Danu.
"Kue tartnya?" candanya.
Aku tersenyum. "Bukan. Yang paling kusukai adalah melihat Banyu berlari bebas di antara semua orang. Dia bisa memeluk Kakek Surya, lalu berlari ke pelukan Kakek Hermawan. Dia bisa digendong olehmu, lalu beberapa menit kemudian tertawa di pangkuan Aunty Binar. Dia tidak merasakan ada sekat, tidak merasakan ada sejarah kelam. Baginya, semua hanyalah cinta. Kita... kita berhasil memutus rantainya, Dan."
Dia mengeratkan pelukannya. "Bukan kita. Tapi kamu, Arin. Kamu yang memulainya. Dengan keberanianmu untuk mengatakan 'tidak', dan kekuatanmu untuk pada akhirnya mengatakan 'ya'."
Aku memejamkan mata, merasakan kehangatan tubuhnya dan detak jantungnya yang teratur. Gema kebahagiaan dari pesta ulang tahun Banyu masih terasa di seluruh rumah. Bukan lagi kebahagiaan yang rapuh atau yang baru ditemukan, melainkan kebahagiaan yang telah mengakar kuat, yang telah teruji oleh waktu.
Hidupku tidak sempurna. Masih ada hari-hari di mana aku merasa lelah, masih ada perdebatan kecil dengan Danu, masih ada kerinduan akan privasi di tengah riuhnya keluarga besar kami. Tapi hidupku utuh. Aku tidak lagi mencari kesempurnaan. Aku telah menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan yang diperbaiki, dalam luka yang telah menjadi pengingat kekuatan, dan dalam cinta yang lahir dari abu keputusasaan.
Dan saat aku membuka mata, menatap wajah pria yang kucintai di bawah cahaya lampu yang temaram, aku tahu bahwa lembaran baru yang kami mulai bertahun-tahun lalu kini telah menjadi sebuah buku yang tebal. Sebuah buku yang akan terus kami tulis bersama, bab demi bab, dengan tinta yang terbuat dari tawa, air mata, dan rasa syukur yang tak terhingga.
kan jadi bingung baca nya..