Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Setelah selesai mengajar, Umar mengajak Nay masuk ke ruang dosen. Di sana, satu per satu ia memperkenalkan Nay pada para kolega, dosen senior dengan rambut mulai memutih, juga yang masih muda seperti dirinya. Nay berdiri agak canggung, mata sesekali menatap lantai, merasa kecil di antara mereka. Saat Bu Airin lewat, Nay membungkuk sopan, jantungnya berdetak kencang. Umar tersenyum lebar, tanpa ragu memperkenalkan Nay dengan nada santai,
"Ini calon istriku."
Di atas meja, sebuah kotak snack sudah menunggu. Umar ambil sepotong risol, lalu menyodorkannya ke arah Nay,
"Nay, makan ini!"
Sambil menyerahkan gelas berisi teh manis, ia menatap tajam menunggu reaksi Nay. Perlahan, Nay mengambil risol dan menyeruput teh, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
"Tapi, Mas... sore ini aku balik Semarang, ya," kata Nay pelan.
Umar menatapnya tajam, keningnya berkerut, bibirnya merengut menahan rasa enggan melepas. Meski berkata setuju, matanya tetap penuh perlawanan..
"Liburku cuma tiga hari, Mas. Senin harus balik ngajar," suara Nay agak lirih, matanya tak lepas menatap jam di dinding.
"Tapi ini kan baru Jumat, Nay. Kamu baru kemarin sampai sini," Umar membalas sambil menahan senyum. Ia mengangkat tangan, coba meraih lengan Nay yang sedikit mundur.
"Aku masih kangen sama kamu. Malam ini aku pengen ajak kamu jalan-jalan. Sabtu Minggu aku libur. Kita ke Puncak, yuk."
Nay mematung, menatap tajam ke wajah Umar yang penuh kerinduan itu. Ada harapan dan rindu yang tergurat jelas di sorot matanya.
"Atau aku antar kamu ke Semarang aja, sekalian ketemu orang tua aku," tambah Umar, seolah belum rela melepas Nay pulang. Napasnya terasa berat, berusaha menahan agar hari Minggu Nay tak segera pergi.
"Tidak usah, Mas," Nay menarik napas pendek.
"Aku bisa pulang sendiri naik kereta atau bus. Aku paham, Mas Umar belum ada libur panjang, jadwal Mas pasti padat."
Umar menelan ludah, menahan keinginan agar waktu bisa diputar kembali, supaya Nay tak buru-buru pamit. Ia tahu, kebersamaan ini terlalu singkat untuk dilewatkan begitu saja.
"“Hari Minggu pagi, kita ke Semarang bareng, ya. Aku bakal ijin dua hari. Sekalian aku pengen kenalin kamu sama ibu bapakku di sana,” Umar mendesak dengan nada serius.
Nay cuma nyipit-nyipitkan mata, dia tahu susah banget buat debat soal sepele sama Umar.
“Kamu mau ngajak aku ke mana lagi buat nunggu hari Minggu?” Nay penasaran, pengen tahu rencana Umar setelah ini.
Umar mikir sebentar, lalu nyoba nyenengin Nay, “Gimana, habis Jum’atan kita nonton film? Atau kamu pengen ke mana? TMII, Ragunan, atau Puncak?”
Nay langsung geleng cepet, kayaknya belum ada yang cocok di hatinya.
Nay melemparkan senyum manis, lalu dengan nakal menjulurkan lidah ke arah Umar.
"Terserah kamu saja, mas! Asal sama kamu, aku sudah bahagia," katanya sambil menatap penuh arti.
Tanpa ragu, Umar menjulurkan jarinya, mencolek hidung Nay yang mancung itu. Tatapan mereka bertemu, seolah saling menyampaikan rindunya yang tak terucap. Umar meraih tangan Nay, menggenggamnya erat, bola matanya yang tajam menatap dalam ke mata Nay yang berbinar penuh semangat.
Gaya pacaran mereka memang tak biasa. Duduk berdampingan di depan layar laptop yang menampilkan berita-berita di sosial media, keduanya begitu larut sampai lupa waktu. Tiba-tiba suara ketukan pintu memecah keheningan.
“Waalaikumsalam, masuk!” seru Umar cepat, sambil melirik ke Nay yang masih terpaku di layar.
Nay menatap balik dengan ragu, lalu baru melepaskan genggaman tangannya dari Umar. Umar perlahan bergeser ke kursinya sendiri, suasana ruangan yang hangat itu perlahan berubah biasa kembali.
"Eh, ada apa, Adam?” suara Umar keluar dengan nada dingin, matanya menatap tajam ke arah Adam seolah keberatan dengan kedatangan tamunya. Adam buru-buru melirik ke Nay yang duduk di sampingnya, menundukkan kepala sedikit, berharap mendapat dukungan.
“Maaf, Pak Umar. Ini soal kegiatan kemahasiswaan Islam nanti sore. Apakah Bapak bersedia menjadi pematerinya?”
Adam mengedarkan pandangan bergantian antara Nay dan Pak Umar, mencoba menangkap reaksi mereka. Nay mulai memperhatikan Adam dengan mata yang agak serius saat topik organisasi kemahasiswaan muncul. Pak Umar menepuk jidatnya pelan, bibirnya mengerut,
“Oh iya, aku lupa... Jumat dan Sabtu aku sudah jadi pemateri pengkaderan.” Dia lalu melirik ke arah Nay, yang menyipitkan matanya, tanda memikirkan sesuatu.
“Gimana, sayang? Aku harus jadi pemateri di acara pengkaderan kemahasiswaan Islam nanti sore,” Umar bertanya pelan, seperti mencari pendapat Nay sambil menunggu jawabannya.
Adam tiba-tiba menyela obrolan antara Pak Umar dan Nay dengan suara sedikit terburu-buru.
"Mbak Nay, bukankah dulu Mbak juga pernah ikut organisasi kemahasiswaan Islam ini, sama seperti Pak Umar? Mungkin Mbak Nay bisa jadi pemateri nanti."
Bola mata Pak Umar tiba-tiba melotot tajam, menatap Adam penuh teguran. Adam segera menyadari tatapan itu, wajahnya berubah kaku. Dengan cepat dia memperbaiki ucapannya, suaranya jadi lebih pelan,
"Ah, maaf... maksud saya, Bu Nay. Kan Bu Nay dan Pak Umar sama-sama alumni organisasi ini. Mungkin bisa ikut berkontribusi di pengkaderan kali ini." Dia menatap pasangan itu, seolah mencoba menyatukan dua dunia yang lama terpisah.
Umar melotot tajam, matanya menyipit saat berkata, "Kamu mau bayar berapa, calon istri ku, buat jadi pembicara di pengkaderan ini, Hem?"
Adam hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali nggak gatal, wajahnya tampak canggung. Di samping Umar, Nay mencubit pinggangnya pelan. Wajah Umar berubah sedikit meringis, tapi tangan Nay segera dia tangkap dan tanpa ragu genggam erat.
Adam melirik ke arah tangan mereka yang saling terjepit. Pak dosen muda itu tersenyum hangat ke Adam.
"Ya sudah, kamu boleh pergi. Nanti malam kami datang ke acara pembukaan sekaligus jadi pemateri. Sherlock aja hubungi saya, ya."
Adam terkejut, belum pernah ia melihat Pak dosen yang biasanya tegas itu sebegitu ramah, apalagi pada dirinya. Mungkin karena suasana hatinya sedang berbunga-bunga, pikir Adam, mata tertuju lagi pada tangan Umar dan Nay yang masih erat berpautan. Nay terlihat nyaman membiarkan genggaman itu.
Setelah Adam keluar dari ruangan pak dosen, Umar mencondongkan tubuh, meraih tangan Nay dengan lembut. Perlahan, bibirnya menyentuh punggung tangan Nay, lalu matanya menatap dalam ke manik-manik Nay. Napas Nay tiba-tiba tersentak, seolah jantungnya tertusuk anak panah di tengah dada.
"Mas..."
Nay menarik tangannya, mencoba melepaskan genggaman itu yang kini seperti aliran listrik kecil menjalar ke seluruh ujung jarinya. Meski hanya ciuman ringan, hatinya berdegup tak menentu, ada rasa takut dan bingung bercampur jadi satu.
Umar tersenyum sambil berkata,
"Pokoknya hari Minggu ini aku antar kamu ke Semarang. Sekalian aku kenalin kamu ke bapak ibu. Kalau perlu, kita langsung menikah aja, Nay."
Mata Nay membesar, terasa hangat dan panik sekaligus. "Kok tiba-tiba ngomongin nikah sih?" jawabnya dengan suara bergetar.
Umar menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan.
"Nay, jujur aku sudah tidak tahan," ucapnya dengan suara serak.
Mendengar itu, Nay tiba-tiba terkekeh, melihat ekspresi Umar yang sedikit kikuk dan terbakar rasa malu. Dia tahu pasti Umar sedang berusaha keras menahan dirinya agar tidak kehilangan kendali. Dosen muda itu menarik napas dalam-dalam, melepaskan genggaman tangannya dari tangan Nay yang sebelumnya ia genggam erat.
"Nikah siri juga nggak masalah, kan, Mas? Lagipula, rencana Mas Umar setelah menikahiku apa? Kita masih lanjut LDR seperti kemarin-kemarin?" Nay menatap Umar dengan penuh rasa ingin tahu. Umar membalas tatapannya dengan sorot mata tegas dan sedikit egois.
"Kamu harus ikut aku, Nay! Nanti pelan-pelan kita beli rumah di sini. Kamu bisa mengajar di kota besar ini, Insyaallah aku carikan sekolah yang favorit buat kamu mengajar anak-anak."
Setiap kata Umar terucap seperti janji manis yang menghangatkan dada Nay. Senyumnya melebar, penuh harap. Namun tiba-tiba, keraguan merayapi hatinya.
"Mas, mending kita jalani dulu sekarang. Jangan terlalu berencana, aku takut nanti malah nggak sesuai sama yang kita harapkan," Nay menghela napas, suara kecilnya menyimpan kekhawatiran yang tak mudah hilang.
Nay menatap Umar dengan mata terbelalak saat pria itu tiba-tiba merangkulnya. Jantung Nay berdegup kencang, pikirannya melayang ke kemungkinan rekan dosen atau mahasiswa tiba-tiba masuk ke ruangan.
"Mas, jangan seperti ini," suaranya bergetar pelan, berharap Umar melepaskan pelukannya. Namun, Umar justru menarik Nay lebih erat ke dadanya, seolah ingin menahan jarak waktu.
"Sebentar saja, Nay. Aku cuma ingin meluapkan rindu ini," bisik Umar dengan suara serak. Lama pelukan itu bertahan, hangat dan damai, sampai air mata Nay jatuh tanpa sadar di pipinya. Umar membelai lembut kedua pipi Nay sambil menatap matanya yang basah.
"Nay, sayang, aku menyukaimu," ucapnya penuh perasaan.
Di saat itu, Umar tahu pelukannya tak sekadar pelukan, tapi juga beban rindu yang menggumpal dalam dada mereka berdua.
Umar menatap Nay dengan mata yang penuh harap. Tangannya perlahan menyapu lembut puncak kepala Nay, seakan mencoba menenangkannya yang masih bergetar oleh keraguan.
"Aku janji, setelah menikah nanti, kita akan lebih sering bersama, Nay. Kamu harus sabar, ya, sayang," ucapnya dengan suara lembut, penuh keyakinan.
Nay mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, bibirnya bergetar saat bertanya,
"Mas, apakah kita benar-benar berjodoh?"
Umar menarik napas dalam, menatap Nay tanpa lepas, lalu berkata dengan tegas,
"Insya Allah, Nay. Aku ingin kamu jadi istriku, ibu dari anak-anak kita kelak."
Titik-titik air mata Nay semakin deras, tetapi kini bercampur haru dan kepercayaan. Umar kembali memeluknya erat, menghadirkan rasa nyaman dan hangat yang membuat hati Nay sedikit demi sedikit yakin akan masa depan mereka bersama..