NovelToon NovelToon
Sulastri, Aku Bukan Gundik

Sulastri, Aku Bukan Gundik

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Cerai / Penyesalan Suami / Era Kolonial / Balas Dendam / Nyai
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Anna

“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”

Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.

Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.

Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sulastri 25

Panci-panci mengepul di atas perapian kayu, semerbak wangi nasi yang baru matang mengisi ruangan beradu gurih daging berbumbu kecap dan lada hitam. 

Mbok Sum nampak sibuk ke kanan-kiri mengecek semua masakkan, di pelataran belakang Pak No menggelar tikar-tikar dan segala keperluan lainnya. Kedua pasangan sepuh itu sudah sedari kemarin sibuk menyiapkan acara tedak sinten atau tujuh bulanan Anne—si cucu pertama, begitu mereka menyebutnya.  

Suami-istri yang sudah menikah lebih dari dua puluh lima tahun itu memang belum memiliki keturunan. Kehadiran Sulastri dan putrinya mereka anggap adalah jawaban dari sang pencipta atas doa yang mereka lantunkan bersama.  

"Jul …!” panggil Mbok Sum, bibir tipisnya tak henti-hentinya mendesiskan omelan. "Iki kembange kurang iki!" (ini bunganya kurang)

Dasim(Bajul) yang sedang mengambil tanah yang  untuk upacara pijakan pertama Anne, menjawab dengan setengah menengok ke arah Mbok Sum. “Iyo, Mbok.” 

“Tolong petik lagi bunga kenanga sama mawar di rumah kecil, sama …,” wanita itu tiba-tiba mendengus kesal. “Heh, bapakmu ki piye to … ini tebu'ne cilik tenan! Ambil lagi yang agak besar, Jul. Yang di rimbunan belakang itu ‘kan besar-besar!” perintah wanita sepuh itu. 

Pak No yang baru menyelesaikan pekerjaannya menghampiri sang istri yang masih terus menggumal.  “Apa lagi yang kurang, to, Nimas? Dari tadi, kok ngedumel saja.” 

“Tebu wulung itu petenger (simbol) kekuatan dan keteguhan hidup, Pak. Pijakan'e cah ayu menuju masa depan, kalau cilik begini, apa ya kuat? oceh Mbok Sum. 

“Itu sudah yang paling besar lo, Nimas, yang saya ambil,” sahut Pak No.

“Sampean ambilnya yang di depan?” 

Pak No mengangguk pelan. 

“Yang di belakang rumah itu jauh lebih besar-besar, Pak. Dari kemarin sudah saya ingatkan.” Mbok Sum menggelengkan kepala sembari berdecak kesal. “Ck, kalau di bilangin itu mesti kebiasaan ngeyel dulu, ra urung’o kliru kabeh,” ocehnya. (tidak taunya salah semua)

“Iyo … iyo, pangapurane, Wong ayu? Terus sekarang, mau saya ambilkan lagi, yang bagus, yang cantik, koyo sampean?” rayu Pak No. 

Mbok sum mendengus pelan. “Halah, telat. Sudah nyuruh si Bajul aku, memang lebih enak kerja sama yang muda timbang yang tua,” ketusnya. 

“ Waduh biyung … mau ditukarkan dengan yang lebih muda aku, jangan, to, wong ayu, aku ini tidak bisa hidup tanpamu, lho!” goda Pak No sembari merangkul pundak Mbok Sum. 

Sulastri yang sedang menyapu, menatap penuh binar dua lanjut usia yang menjadi penolongnya. Tidak pernah terbayang di benaknya andai tidak bertemu Mbok Sum dan Pak No, mungkin dia dan Anne sudah berakhir mengemis di jalanan, terlebih Petter, laki-laki yang pernah membuatnya salah paham, hanya karena kabar yang dibawa ilalang. 

“Noni masih tidur, Nduk?” suara lembut Mbok Sum membuyarkan lamunan Sulastri. 

“I-iya Mbok,” sahut Sulastri.   

“Kanapa, Nduk? Ada yang kurang pas?” tanya Mbok Sum yang melihat sekabut embun di mata bening wanita yang sudah dianggap sebagai putrinya. 

“T-tidak, Mbok. Ini lebih dari cukup, Lastri semakin banyak hutang budi sama si Mbok kalau begini.” 

Mbok Sum membelai lembut rambut hitam Sulastri, tidak ada lelah di wajah sepuh yang sudah mengkeriput oleh zaman, justru binar kebahagian yang memancar terang. 

“Kamu ini bicara opo, to, Nduk. Ndak ada hutang budi, hutang budi. Kamu itu hadiah, hadiah dari gusti Allah untuk si Mbok. Sudah sepatutnya si Mbok rumat, si Mbok jaga,” ujar Mbok sum. 

Sulastri menekuk wajah sendunya, senyum getir tersembunyi di balik rasa haru yang kian menyelimuti hati. “Lastri hanya bisa berterimaksih, Mbok. Kalau tidak ada si Mbok entah bagaimana nasib Anne kedepannya nanti.” 

“Jangan berpikir yang neko-neko, Nduk. Yang penting Noni cilik sehat, tumbuh jadi bocah pinter yang bisa njunjung tinggi kehormatan ibunya.” 

“Sudah, kamu cepat mandi, sudah hampir ashar, ini beres-beresnya biar dilanjutkan bocah-bocah,” titah Mbok Sum kemudian. 

Ba’da magrib acara tedak sinten di mulai, berkat-berkat berjejer rapi, berbagai jajanan pasar dan jadah ketan tujuh warna tersusun di tampah-tampah, wangi kemenyan toba bercampur air bunga setaman menyerbak ke seluruh penjuru rumah. 

Di dalam kurungan bambu yang dihiasi berbagai bunga-bunga, Anne di dudukkan. Di depannya tersusun berbagai benda seperti, uang logam, peralatan tulis, miniatur pekakas, dan berbagai benda lainnya. Benda yang nantinya di pilih Anne, dipercaya menjadi simbol masa depan bayi mungil itu. 

Namun, di atara benda-benda yang disiapkan Mbok Sum, ada satu benda yang mencuri perhatian, yaitu segulung daun tembakau kering, yang khusus Petter siapkan untuk Noni ciliknya. Daun tembakau kering sendiri dipercaya mempunyai makna keteguhan, ketahanan dan rezeki—simbol pekerja keras dan kejayaan dalam berdagang. 

Orang-orang bersorak bak suporter bola—mengarahkan Anne yang merangkak menuju benda yang akan dipilihnya. Bayi mungil itu berhenti sejenak, membuat semua orang terdiam, menanti tangan mungil Anne menyentuh salah satu benda di depannya. Namun, Anne sepertinya ingin menggoda, dia kembali merangkak berpindah ke sisi kiri tempat benda lainnya tersusun, tangan kecilnya kemudian meraih satu gulungan tembakau. 

Petter yang juga menyaksikan prosesi itu, sontak tertawa girang, diangkatnya bocah gembul itu hingga ke atas kepala, ia kemudian mencium pipi lembut merona milik Anne. 

“Noni cilik mau jadi tengkulak seperti Mijnheer?” serunya.

“Bocah pinternya Mbok’e,” timpal Mbok Sum sembari turut mencium pipi gembul Anne. 

Sulastri menatap Anne yang tertawa polos digendongan Petter, bibirnya bergetar, air mata menggenang di pelupuk mata. Mbok Sum yang menyadari itu, lekas memeluk tubuh kecil Sulastri.

“Terimakasih, Mbok,” lirihnya. 

Mbok Sum turut terharu melihat Lastri yang mulai terisak di pelukannya. “Sudah … sekarang tuntun Noni cilik, injakkan di tanah sebagai awal pijakan pertama.” 

Sulastri kemudian menuntun Anne, bocah lucu itu nampak kegelian saat pertama kali menyentuhkan kaki di tanah beralas tikar daun nipah. Selanjutnya, kaki Anne di basuh dengan air bunga setaman yang sudah di siapkan di kendi, Mbok Sum dengan sengaja meminta Petter yang melakukan prosesi itu, membuat upacara tujuh bulanan itu tak hanya hikmat tapi juga hangat. 

Bulan mengintip di balik awan mendung, suara jangkrik teredam gerimis yang jatuh di atap seng. Acara telah selesai satu jam lalu, berganti riuh para pekerja membereskan sisa-sisa kesibukan hari itu. 

“Anne sudah tidur?”

Sulastri tersentak, buru-buru ia mengusap sudut matanya yang masih basah oleh tangis haru. “S-sudah, Meneer.” 

Petter tersenyum tipis. “Apa yang kau tangisi?” 

“Saya hanya tidak menyangka bisa berada di titik ini, saya pikir, saya akan—” 

“Andai malam itu kau bersikeras menolak ajakanku, yang ada dipikiranmu saat ini yang akan terjadi,” sela Petter.

Sulastri menggigit bibir bawahnya pelan, wajahnya tertunduk malu. “Benar, terimakasih banyak karena sudah menyelamatkan saya dan Anne.” 

Petter memalingkan muka sejenak, senyum samar tergaris di wajahnya yang sedikit merona. 

“Tidak perlu berterimakasih, itu sudah kewajiban kita sesama manusia.”  

“Tetap saja, saya berhutang budi pada Meneer dan Mbok’e.”

Petter terdiam sesaat, matanya menatap lekat wajah ayu yang sembab oleh air mata. “Kau tau bagaimana cara membalas budi?” 

“M-maksudnya?” tanya Sulastri pelan. 

“Balas budi … kau tau cara melakukannya?” ulang Petter, pandangannya mengarah jauh ke luar jendela yang gelap.

Sulastri menggeleng pelan, bibir ranumnya mengatup ragu.

“Kalau tidak tau, maka jangan pernah mengatakan itu. Seperti nama Anne, anugrah … itulah kalian. Aku sengaja memberi nama itu karna malam itu…,” 

Petter menghentikan ucapannya, wajahnya seketika memerah.

Sulastri memiringkan kepala, melirik tajam ke arah Petter yang nampak belingsutan.

“Bukankah Mbok’e yang memberi nama Anne?!” 

“I-itu—” 

“Mbok’e memang yang memberi nama, Nduk, tapi Petter yang memilihkan.” Mbok Sum menyahut dengan suara lembut dan tatapan hangat. 

Petter menghela napas pelan, wajah yang merona berubah pucat, tatapannya liar ke sekitar seolah mencari tempat bersembunyi dari degup jantung yang tiba-tiba mengencang. 

“Aku pikir nama itu cukup bagus, jadi aku meminta Mbok Sum memberikannya pada anakmu,” kilahnya, suaranya tertahan agar tak terdengar bergetar. 

Sulastri menyeringai tipis, sudut matanya menyipit. “Kenapa tidak menyimpannya saja untuk anak, Meneer nanti?” sahutnya, ketus. 

“Bukankah nantinya Anne juga akan jadi anakku?!”

ucapan spontan keluar dari bibir yang sedari tadi tertahan.

Udara dingin seketika menusuk, malam yang lembab berakhir bersama sepoi angin kejujuran. Petter buru-buru pergi dari tempat itu, membiarkan Sulastri mematung pada tanya yang menggantung. 

Bersambung.  

Agak sedikit monoton ....

Maafkan ... 🤧

Bonusssssss .....

Anneke, 7 bulan.

1
Sayuri
g prlu d permalukan kmu dh malu2in kok
Anna: Nggak sadar diri emang.
total 1 replies
Sayuri
otak anakmu itu di urut. biar lurus
Anna: Laa emaknya aja ....🤧
total 1 replies
Sayuri
buah jatuh spohon2nya
Anna: Nahh ...🤣
total 1 replies
Sayuri
ngapa g rekrut karyawan baru sih buk
Anna: Dia juga tak tahannn 🤣
total 1 replies
Sayuri
comelnya🥰
Anna: 🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶
total 1 replies
Sayuri
peter nyebut gak lu. pelan2 woy. awas kejungkang si sul
Anna: Suka keceplosan 😭
total 1 replies
Sayuri
lihat sul. anak yg g di akuin bpknya. tp brharga di org yg tepat
Anna: Jadi anak emas🫶
total 1 replies
Sayuri
bisa aja lu no
Anna: Remaja vintage 😭
total 1 replies
Sayuri
kok sedih y 😔
Anna: makanya mereka berharap Petter nikah, ehh ... ketemu Sulastri🤭
total 1 replies
SooYuu
gundik juga kek anaknya pasti
Anna: Ituu anu .... ituu 🤧
total 1 replies
SooYuu
keturunan ternyata 😭😭
Anna: buah jatuh sepohon-pohonnya🤣
total 1 replies
SooYuu
apa maksudmu, Meneer?????
Anna: ngaku-ngaku🤧
total 1 replies
Nanda
mending simpen energi gue buat yang lebih penting ketimbang ampas ini
Anna: Wkwkwkwkkk ... bangkotan tak tau malu🤧
total 1 replies
Nanda
jangan bilang Peter itu anaknya Rasmi?? atau mantan gundiknya ayahnya Peter??
Anna: Mana yang lebih seru? 🤭
total 1 replies
CallmeArin
uluh uluhh lutunaaaa😍
Anna: 🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶
total 1 replies
Sayuri
profesional bung. jgn gitu
Anna: Cari-cari kesempatan.
total 1 replies
Sayuri
gk. g ada yg di kuasai emosi d sni. ini udh berbulan2. lastri mengambil keputusan bukan krna emosi lg, tp krn kesadaran sndiri.
Anna: Yeeheeee 🫶
total 1 replies
Sayuri
ayo jgn gugup. ini kesempatan mu
Anna: Libass habis, ya
total 1 replies
Sayuri
wkwkwkwkwk mamphossssss
Sayuri
awas mulutmu di tempiling pakai buntut ikan
Anna: Ngikk-ngikk ... Kakk komenmu selalu jadi mood benget loo🫶
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!