Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 25

Pagi ketiga setelah pertemuan di warung degan.
Rumah masih sama ricuhnya, hanya saja—ada kesadaran baru yang menggantung di udara. Tipis. Nggak keliatan. Tapi kerasa.
Dapur pagi.
Kenzi sibuk ngocok telur pakai sumpit kayak mau duel. Kaelan bikin mie instan sambil goyang-goyang ke lagu random. Najla nyender di counter sambil minum susu kotak, muka datar, belum bangun jiwa. Damar duduk serius ngupas bawang putih, tapi auranya kayak orang lagi nyusun strategi invasi.
Arlen?
Diam, tapi mengamati semua.
Tiba-tiba Damar nyeletuk tanpa ngangkat kepala:
“Cowok kemarin namanya Raga.”
Semua kepala langsung nengok.
Kaelan: “HAH? Kok lo tau?”
Kenzi: “Lo stalk dia apa lo udah jadi cenayang?” Najla: ngisep susu lebih perlahan, mode fokus on
Damar narik napas.
“Bukan stalk. Gue inget dari caranya ngomong, cara dia duduk, bahkan cara dia letakin gelas. Dia dulu ada di unit pendukung… di lingkaran yang sama waktu keluarga Arlen masih dikejar.”
Sunyi stool kayu digeser.
Arlen duduk.
“Raga tidak pernah garis depan,” Arlen bicara datar, “Tapi dia orang yang tahu semua rute belakang.”
Najla memicing. “Jadi… dia bukan ancaman?”
Arlen menggeleng. “Bukan. Tapi dia jembatan.”
Kenzi nyengir pahit. “Jembatan ke masa lalu yang udah kita bom sendiri, maksud lo?”
Arlen nggak jawab.
Karena memang iya.
Malamnya, mereka sepakat latihan. Bukan latihan formal. Bukan persiapan militer.
Tapi latihan “kalau keadaan tiba-tiba bangsat, kita nggak kagok.”
Halaman belakang rumah — 21.13
Kenzi latihan reflek tangkap barang. Kaelan lempar apa aja: kunci, sendal, botol plastik, cabe rawit, gasing kecil, bahkan nugget beku. SEMUA dilempar tanpa aba-aba.
“FOKUS KEN! FOKUS!” teriak Kaelan.
Kenzi yang nangkep nugget tiba-tiba kepleset karena Najla lewat sambil bawa panci.
“NAJLA LO NGAPAIN BAWA PANCI KE HALAMAN???”
Najla datar: “Emang ada larangan? Gue mau bikin noise distraction kalau ada bahaya.”
“DENGAN PANCI???”
“Iya bang. psychology warfare.”
Damar di ujung halaman lagi masang target dari kardus, digambar pake spidol seadanya — muka musuhnya model emot “>:v”.
“Naj, bantu angin test.”
Najla langsung mukul panci 3 kali.
KLANG! KLANG! KLANG!
Kertas target beterbangan. Ayam tetangga histeris. Lampu kosan depan nyala, ada yang ngintip.
Arlen cuma duduk di tangga, tangan nyanggah dagu, menyaksikan kekacauan ini dengan ekspresi “ya Tuhan keluarga apa ini”.
Kaelan berdiri bangga. “Latihan selesai. Kita udah siap tempur mental dan akustik.”
Kenzi: “Akustik apa dah—” Damar: “Ya… minimal kita berisik dulu sebelum hancur.”
Momen Tenang di Tengah Chaotic
Setelah semua bubar, tersisa Arlen dan Najla di kursi luar.
Najla ayun-ayun kaki. “Bang. Raga itu… bisa dipercaya?”
Arlen berpikir lama. Bukan karena dia ragu jawabannya. Tapi karena dia ragu menerima bahwa jawabannya adalah iya.
“Dia tidak datang untuk menyelamatkan kita,” Arlen akhirnya bicara.
“Tapi dia juga tidak datang untuk menjatuhkan kita.”
Najla tarik napas.
“Berarti dia datang… karena kita masih hidup?”
Arlen tersenyum tipis. Tipis sekali sampai hampir tidak disebut senyum.
“Mungkin karena dulu dia nggak sempat membantu.”
Angin lewat. Suara panjat pagar kucing tetangga. Malam biasa.
Tapi percakapan mereka… nggak biasa.
Penutup
Dari balik rumah, Kaelan teriak:
“BROOO besok latihan lempar-nangkap pake martabak boleh nggak—”
Kenzi bales dari dalam: “LEMESIN DOMPET LO DULU GOBLOK!”
Damar: “Gue maunya riset lemparan aerodinamis tahu bulat.”
Najla geleng-geleng tapi senyum nahan. Arlen berdiri.
“Udah malam. Masuk.”
Bukan perintah. Lebih ke… ajakan kembali ke tempat mereka belong.
Karena walau masa lalu mulai ngetuk pintu lagi…
Selama mereka masih bisa ribut soal martabak dan tahu bulat?
Berarti rumah ini masih rumah.
Gue lanjutin tanpa nanya opsi lagi — kita masuk babak baru yang mulai ngetight, tapi tetap punya “rasa rumah” yang kalian bangun.
Dua hari berlalu damai.
Damai versi mereka: ribut, berantakan, tapi gak berdarah.
Sampai malam itu.
Jam 23.47
Lampu teras mati–nyala–mati.
Bukan karena konsleting.
Karena ada ketukan di pagar besi.
Tok. Tok tok.
Bukan pola tamu. Bukan juga pola ancaman brutal. Lebih kayak…
kode.
Damar langsung duduk tegak dari lantai ruang tengah. Kaelan pause game. Kenzi berhenti ngunyah. Najla yang lagi rebahan bangun setengah badan. Arlen? Sudah berdiri bahkan sebelum ketukan kedua selesai.
“Bukan Raga,” gumam Damar.
Kenzi nyiapin sendok. Bukan buat makan. Jangan tanya kenapa, dia cuma refleks ambil benda terdekat.
Kaelan ambil sapu ijuk.
Najla ambil panci. Tanpa penjelasan.
Arlen ngelirik sekilas, desah tipis: “…setidaknya sembunyikan dulu senjata dapur kalian itu.”
Mereka gak patuh.
Arlen buka pagar.
Di baliknya berdiri Raga. Tangan di saku hoodie, rambut gondrongnya agak lembab, kayak abis keluyuran jauh. Mukanya capek. Tapi sorot matanya tajam.
“Lo mukanya kayak habis diseret generator,” kata Kenzi.
Raga nggak tersinggung. Dia cuma ngangguk ke dalam, nanya tanpa kata:
“Boleh masuk?”
Arlen bukain pintu.
Bukan sambutan hangat, cuma tanda lo aman di sini, sementara.
Di ruang tengah.
Raga duduk. Gak dramatis. Gak tegang-tegang amat. Tapi ada sesuatu di cara dia hembus napas, yang bikin semua paham:
Ini bukan ngobrol.
“Gue singkat,” katanya.
“Kemarin ada orang nanya soal rumah ini ke pasar belakang.”
Semua hening.
“Cuma nanya alamat?” tanya Najla.
Raga geleng.
“Enggak. Dia nunjukin ini,”
Raga narik sesuatu dari saku, jatuhin ke meja.
Klep kecil dari peluru tua.
Kenzi nyumpah. Kaelan spontan nutup pintu rapat.
Raga lanjut:
“Cara dia tanya halus. Kayak guru mau cari murid pindahan.”
“Tapi cara orang sekitar langsung diem waktu dia lewat…”
“…itu bukan orang halus.”
Arlen berdiri, jalan ke jendela, ngusap gorden dikit, cuma buat pastiin luar gelap, bukan karena panik.
“Pesan?” tanya Arlen.
Raga angkat bahu.
“Belum ancaman. Masih scan medan. Mereka gak mau nyeruduk blind.”
Najla pahit nyengir. “Berarti mereka pengen masuk tapi ngetuk dulu… sopan juga ya.”
Damar nyaut: “Sopan sebelum nusuk jantung.”
Sunyi.
Kaelan manggut-manggut sok bijak. “Ya, kayak chat dulu sebelum ghosting.”
Keputusan
Raga bangkit, bukan mau pergi.
Tapi kayak orang yang udah selesai jadi pembawa kabar, dan siap pindah ke mode berikutnya.
“Besok pagi,” katanya,
“Gue mau cek titik lama di utara kota. Kalo kalian mau… ikut.”
Kenzi terkekeh. “Lah, kami dipanggil kayak tim futsal.”
Raga cuma nengok.
“Bedanya, ini lapangan yang boleh bunuh pemain.”
Hening hilang. Diganti tatapan yang udah gak kaget, cuma ingat lagi rasanya dulu.
Najla berdiri duluan. “Kita ikut.”
Bukan karena berani.
Tapi karena capek lari.
Kaelan angkat sapu kayak pedang hero anime. “Oke. Tapi kalo ada drama, gue bagian soundtrack ya.”
Damar bangun, nepuk celana. “Gue analisis medan.”
Kenzi muter-muter sendok. “Gue backup chaos.”
Semua mata ke Arlen.
Dia cuma bilang:
“Subuh. Jangan telat bangun.”
Bukan komando. Bukan ajakan.
Tapi pernyataan bahwa: kalau kalian jalan, gue jalan paling depan.
Raga di ambang pintu sebelum pulang
Dia sempat berhenti, lihat interior rumah itu. Bukan mewah. Bukan rapi. Tapi hidup.
Dia ngomong pelan, hampir ke dirinya sendiri:
“Kalian aneh… tapi bagus.”
Kenzi balas: “Lo juga.”
Najla: “Makasih udah dateng bukan buat bunuh kami.”
Raga setengah ketawa kecil. “Belum chapter itu.”
Lalu dia hilang di malam.
Pintu ditutup.
Kenzi ngunci 2 putaran. Kaelan pasang selot. Najla dorong kursi (gak ngaruh, tapi suportif). Damar cek jendela. Arlen matiin lampu.
Habis itu?
Mereka duduk di lantai ruang tengah. Hening 5 detik.
Lalu Kaelan nyeletuk:
“Besok habis misi… sate?”
Kenzi: “Sate.”
Damar: “Es teh.”
Najla: “Gue mau nasi.”
Arlen: “…tidur dulu.”
Semua bangun. Tanpa pidato. Tanpa janji heroic.
Karena besok bukan soal pamer berani.
Besok cuma soal:
kita bangun bareng, atau enggak sama sekali.