Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke rumah Bara
"Wulan! Ada Nak Bara!"
Wulan bergegas keluar dari kamarnya. Tidak menyangka bara sudah datang pukul sembilan pagi. "Udah lama Mas?"
"Baru saja." jawab Bara.
"Masuk, Masuk!" titah Ratih, dia meninggalkan dua anak muda itu mengobrol di ruang tamu. Sebagai orang tua dia paham sekali jika seorang pria datang bertamu ke rumah seorang gadis, maka sudah pasti ada hubungan diantara mereka. Syukurlah, akhirnya setelah 7 tahunan ada sosok yang berhasil membuat Wulan luluh, setidaknya bangkit dari kesedihan setelah meninggalnya Arif.
Sekilas Bara melihat rumah sederhana tapi cukup luas milik Wulan itu dengan kagum, bersih dan sejuk. Kemudian melihat banyaknya foto yang di tempel dalam bingkai besar, semua itu adalah foto Wulan dari kecil sampai besar, salah satunya ketika ia SMP. Bara tersenyum menatapnya, mengingat bagaimana dulu mereka bertemu dalam toilet sekolah. Sebenarnya dia sudah mengenal Wulan jauh sebelum itu. Tidak di sengaja memiliki kesempatan menolong gadis kecil, ayu dan lembut itu sungguh kemudian membuat dia jatuh cinta tanpa kata, hanya bisa mendamba karena statusnya hanyalah anak lelaki miskin penjaga sekolah. Hobi berkelahi dan tidak punya teman. Sungguh dia merasa tidak pantas ketika itu. Sempat sangat bahagia karena pernah di gosipkan berpacaran dengan Wulan. Berita bohong itu memberinya semangat hingga nekat untuk menjadi laki-laki yang lebih baik, dengan harapan suatu saat dapat bertemu dengan Wulan. Sungguh niat terpendam itu terwujud sekarang.
Tapi, detik berikutnya membuat wajah gantengnya berkerut. Ia melihat sosok laki-laki tampan bertahi lalat di bawah mata sebelah kiri. Dia muda dan memiliki senyum ramah. Bara tahu Wulan hanya memiliki Jaka, bahkan tidak punya saudara laki-laki dari pihak manapun. Semangatnya terganggu melihat foto dalam bingkai berwarna biru itu.
"Mas."
Bara menoleh, lalu berbalik meninggalkan foto Arif. Ia mendekati Wulan yang membawa secangkir kopi hangat.
"Diminum dulu, Mas." Wulan duduk di kursi lain, bersebelahan.
Sejenak keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing, Wulan merasa jika Bara sedang memikirkan sesuatu, dan pastinya setelah melihat gambar Arif. Pun dengannya, sebenarnya di hatinya masih ada Arif, tapi mengapa ketika bersama Bara dia seperti menemukan kasih sayang yang sama.
Bara meraih kopi yang ternyata tidak terlalu panas itu, menyeruputnya cukup banyak.
"Perlu izin ke bapak?" tanya Bara, menilik Wulan sudah segar dan rapi.
"Kita mau kemana Mas?" tanya Wulan.
"Kamu maunya kemana?" tanya Bara, suaranya terdengar lemas, seperti sedang kecewa.
"Kemana saja, asalkan jalan-jalan menyegarkan otak. Capek kerja terus." jawab Wulan.
"Boleh." Bara kembali meneguk sebagian kopi hangat hingga menyisakan setengahnya.
Syukurnya, perihal cinta-cintaan Ratih tidak ribet dan cukup mengerti. "Jangan pulang terlalu sore!" pesan Ratih.
"Iya Buk." Bara menjawab, memperlihatkan bahwa dia bertanggung jawab.
Cuaca tidak terlalu menyengat, suasana perkampungan masih kental terasa meskipun sudah jauh berkembang bahkan banyaknya kompleks perumahan yang baru di bangun. Perkebunan dan semak yang dulu menghijau kini sudah habis digantikan ratusan rumah minimalis dengan harga terjangkau di bayar kredit. Harga tanah naik, lahan berkurang. Perkebunan banyak terjual, sawah habis sudah berdiri banyak bangunan.
"Kita mau kemana Mas? Wulan Sudah lama sekali tidak lewat tempat ini."
"Oh, ya? Mas malah tiap hari lewat sini." jawab Bara.
"Tiap hari? Rumah Mas Bara di arah sini?" tanya Wulan.
"Iya." jawab Bara. Sepeda motor terus melaju, membelah jalanan beton yang baru di bangun.
Hingga beberapa menit berikutnya sepeda motor pun berhenti di depan sebuah rumah yang menjurus ke dalam perkebunan.
Bara pun berbelok masuk menelusuri jalan menuju halaman.
Seketika Wulan terpaku melihat sekitar mereka tampak begitu mempesona dimatanya. Rumah sederhana tapi desainnya modern, halaman luas lengkap dengan berbagai macam tanaman sayur, buah, umbi-umbian, dan yang menyita perhatian adalah kolam-kolam berjejer mengikuti lekuk tanah yang di susun bak taman. Ikannya warna-warni, kecil dan besar di pisah, airnya deras dan jernih. Di luar pagar juga menghampar perkebunan kopi yang sedang berbunga, warnanya putih dan wangi.
"Ini rumahmu Mas?" tanya Wulan.
Bara tersenyum dan mengangguk. "Iya."
Wulan masih mengagumi sambil tersenyum lebar, semua yang di lihatnya membuat betah mata memandang.
"Boleh lihat kan?" tanya Wulan, sudah tidak sabar mengelilingi tempat itu.
"Boleh Dek." jawab Bara.
Wulan pun berkeliling menyaksikan bagaimana rumah Bara itu sangat indah menurutnya, terpesona dengan gemericik air yang bersih, dia pun bermain air sejenak dan seketika anak-anak ikan mendekat.
Wulan tertawa senang duduk di pinggir kolam ceper tersebut.
"Masuk dulu Dek." ajak Bara, ia membuka pintu rumahnya lebar-lebar.
Wulan pun beranjak, mengikuti langkah bara memasuki rumahnya. "Mas, bapak mana?"
Seketika bara menoleh, lalu berkata dengan pelan. "Bapak sudah meninggal beberapa tahun lalu Dek." jawab Bara.
"Bapak meninggal Mas? Kenapa Wulan tidak tahu?" tanya Wulan, mengikuti langkah Bara, duduk di ruang tamu yang ternyata juga sangat bagus.
"Meninggalnya di kampung, jauh sekali." jawab Bara.
"Maaf." Wulan merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa." Bara membuka jendela beserta gordennya, sehingga tampaklah di samping itu beberapa bunga anggrek yang sedang mekar, dia pun membuka pintu samping yang menjurus kesana.
"Itu anggrek semua Mas?" tanya Wulan.
"Iya. Tuh!" Bara menunjuk ke luar agar Wulan melihatnya dari dekat.
"Wangi sekali, jadi tidak perlu memakai pengharum ruangan." Wulan terkekeh, membelai bunga berwarna putih itu dengan lembut.
Bara pun tersenyum menyaksikan tawa Wulan itu. "Bagus tidak?" tanya Bara, berdiri di samping Wulan ikut membelai bunga yang sedang mekar.
"Bagus Mas." jawab Wulan senang.
"Wulan suka?" tanya Bara lagi, menoleh wajah ayu Wulan, sehingga wajah mereka sangat dekat.
"Suka!" Dalam senyum bahagianya ia pun menoleh, mata mereka bertemu seakan membuat waktu berhenti. Mereka saling mengamati dan saling memberikan rasa lewat tatapan yang saling memeluk.
Tidak bisa di tahan, bara menyibak rambut yang berayun menutupi kening Wulan. Bahkan sentuhannya sangat hati-hati, menunjukkan dia sangat dewasa dan tulus. "Semua ini Mas buat sambil memikirkan kamu."
Wulan seperti tersadar akan sesuatu, tapi tatapan Bara membuatnya tak berdaya. "Maksudnya?" tanya Wulan.
"Sejak pertama kita bertemu, aku sudah mencintaimu. Tapi tidak berani karena aku sangat buruk waktu itu. Dan sekarang kita bertemu lagi." Bara tersenyum lembut, tapi kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Menatap Wulan dari dekat membuatnya sulit mengendalikan diri.
"Tapi, dulu kita masih kecil Mas." jawab Wulan, mencairkan suasana yang kaku, dia pun salah tingkah sebenarnya.
"Iya. Tapi kamu sudah cantik sekali waktu itu, banyak yang suka. Aku jadi tidak percaya diri mengejar kamu." Bara terkekeh.
"Tapi sekarang Mas Bara ganteng, pasti banyak yang suka." balas Wulan, tidak mau di puji sendiri.
"Nggak ada. Aku sukanya cuma sama kamu." Bara mendekatkan wajahnya sedikit, agar ucapannya terdengar tepat di telinga Wulan.
Wulan pun terkekeh dibuatnya. Mereka menikmati suasana tenang di sana, sambil duduk berdua.
Niat hati sudah tidak tahan ingin melamar dan menikahi Wulan, tapi takut terlalu cepat dan Wulan menolak. Bara tidak ingin itu terjadi, dia ingin Wulan berada di sisinya, dekat dengannya. Semua itu butuh waktu dan sabar.
Tulalit, tulalit.
Bunyi nyaring ponsel milik Wulan terdengar mengganggu, Wulan segera ke ruang tamu dan melihat siapa yang menelepon dirinya.
"Halo, Assalamualaikum Yan?"
"Gawat Lan! Usman bikin kekacauan, dia datang bawa golok dan berteriak nyariin kamu!"
"Hah! Usman Yan?" pekik Wulan, membuat Bara segera menghampirinya.
harus mengalah
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya