Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Gemuruh tepuk tangan mulai mereda setelah penghulu menutup rangkaian akad nikah yang mengikat Aditya dengan dua perempuan sekaligus kedalam ikatan suci pernikahan. Alunan musik lembut kembali mengisi acara pernikahan itu, namun hawa di dalam halaman utama kediaman keluarga Wiranegara masih terasa berat. Para tamu tampak mulai bernafas lega, sementara tiga orang di pelaminan itu hanya duduk dalam keheningan yang terbungkus rapat.
Prosesi ijab qobul telah selesai. Dan kini, rangkaian acara berikutnya menunggu.
Prosesi sungkeman.
Sebuah tradisi penghormatan sekaligus penyerahan diri seorang anak kepada kedua orang tua, sebagai permohonan doa dan restu untuk memasuki kehidupan baru.
Panitia keluarga mempersilakan keluarga inti Wiranegara duduk di kursi yang telah disiapkan di depan panggung pelaminan. Bu Ratna dan Pak Arman maju, duduk berdampingan di kursi besar berlapis beludru merah marun. Para tamu mulai menghentikan percakapan mereka, menoleh untuk menyaksikan salah satu momen sakral dalam pernikahan.
Reina berdiri pelan, langkahnya ragu tetapi ia tidak punya pilihan selain ikut. Aditya berdiri di sampingnya, sementara Alisha sudah lebih dulu tersenyum anggun, seperti seorang putri yang akan menyapa keluarganya sendiri.
“Silakan, Reina dulu,” ucap salah satu pembawa acara yang memberikan isyarat kepada Reina.
Reina menelan ludah. Nafasnya terasa berat. Di antara ratusan mata yang memandang, ia merasa kecil dan rapuh. Tidak ada Ayah, tidak ada Ibu. Ia hanya akan bersimpuh di hadapan orang tua mertuanya—orang yang bahkan tidak mengenalnya, tidak membesarkannya, dan mungkin tidak menginginkannya.
Aditya meliriknya sekilas, ada rasa bersalah yang tidak bisa ia tutupi saat melihat Reina terdiam. Namun ia tetap melangkah bersama Reina, merendahkan tubuhnya untuk bersimpuh di hadapan ayahnya terlebih dahulu. Sementara Reina melakukan sungkeman kepada Bu Ratna.
Reina menundukkan kepalanya dalam-dalam, tangannya gemetar ketika menjangkau tangan ibu mertuanya. Suaranya lirih saat ia berusaha berbicara.
“Maafkan Reina, ya Bu. Reina mohon restu dan doa ibu agar Reina bisa menjadi istri yang baik untuk Aditya.”
Bu Ratna menatap wajah Reina untuk beberapa detik. Mata perempuan paruh baya itu tampak berkaca-kaca—sesuatu yang tak pernah diduganya muncul di momen seperti ini. Tanpa ia cegah, sebuah perasaan iba menelusup saat melihat bagaimana rapuhnya gadis itu.
Dengan lembut, ia mengusap kepala Reina, membimbingnya mendekat dan berkata.
“Insya Allah, Nak… Ibu terima. Semoga kamu diberkahi dan dilindungi dalam pernikahan ini,” ucap Bu Ratna dengan tulus dan hangat.
Reina menahan napasnya. Hampir saja ia menangis. Kehangatan itu sudah lama sekali ia tidak merasakannya dari sosok ibu mana pun. Dan meski hanya sesaat, sentuhan Bu Ratna seakan merengkuh sisi dalam dirinya yang sepi selama bertahun-tahun.
Tapi momen itu tidak bertahan lama. Kini giliran Reina bersimpuh pada Pak Arman.
Reina menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Pak… Reina mohon maaf dan memohon restu—”
Suaranya terhenti ketika ia melihat wajah lelaki itu.
Pak Arman menatap Reina seperti melihat beban tak diinginkan yang muncul di tengah acara yang seharusnya sempurna. Mata lelaki itu tampak dingin dan kaku, seolah ia tengah mengukur seberapa layak gadis itu memasuki keluarganya.
Reina menundukkan kepalanya lebih dalam dan mencapai tangan Pak Arman.
Namun alih-alih menerima dengan hangat, Pak Arman hanya mengulurkan tangannya dengan setengah hati. Bahkan ketika Reina mencium punggung tangannya, Pak Arman terlihat menahan ekspresi tidak suka.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/