Kepercayaan Aleesya terhadap orang yang paling ia andalkan hancur begitu saja, membuatnya nyaris kehilangan arah.
Namun saat air matanya jatuh di tempat yang gelap, Victor datang diam-diam... menjadi pelindung, meskipun hal itu tak pernah ia rencanakan. Dalam pikiran Victor, ia tak tahu kapan hatinya mulai berpihak. Yang ia tahu, Aleesya tak seharusnya menangis sendirian.
Di saat masa lalu kelam mulai terbongkar, bersamaan dengan bahaya yang kembali mengintai, mampukah cinta mereka menjadi perisai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Ruang tunggu rumah sakit terasa dingin menusuk. Aroma antiseptik bercampur suara langkah cepat para perawat membuat dada Maxime semakin sesak. Tangan pria itu bergetar ketika ia berdiri di depan pintu ICU, kemeja dan tuxedo pernikahannya masih penuh bekas slime, tapi kini bercampur keringat dingin.
Salah seorang dokter keluar, rautnya serius. "Kondisi tuan Maxwell kritis. Kami sedang berusaha menstabilkan jantungnya. Mohon siapkan keluarga inti." perkataan itu spontan membuat wajah Maxime memucat. Kepalanya mengangguk tanpa suara, kemudian menelan ludah dengan susah payah.
Tangan gemetarnya mengambil ponsel di saku celana. Orang pertama yang ia telepon adalah: Sabrina, ibunya.
"I-ibu..." suara Maxime pecah saat wanita itu menerima teleponnya. "Maxime? Kenapa? Suaramu... kenapa kacau beg-" suaranya terpotong dengan cepat. "AYAH JATUH, BU!" teriaknya tak tahan lagi, tak peduli tatapan semua orang di ruang tunggu serentak menoleh ke arahnya. "Ayah kena serangan jantung, Bu! Aku-aku gak tahu harus gimana."
Saat Maxime menemui ayahnya di rumah, Sabrina tidak berada disana. Ia sibuk mengunjungi investor yang baru saja menarik dana proyek di perusahaan mereka. Suara wanita paruh baya itu melengking, "APA? MAXWELL?!" Sabrina langsung panik. "Astaga Tuhan! Kalian di rumah sakit mana?!" Maxime mengambil duduk di sebelah kiri ruang ICU sambil memijit pangkal hidungnya.
"Rumah sakit St. Helena! Cepatlah Bu! Sekarang!" Sabrina panik bukan kepalang, di ponsel Maxime, hanya suara langkah kaki cepat yang terdengar. "Iya, Nak. Ibu segera ke sana!" telepon langsung ditutup. Napas Maxime terengah, seperti tak ada lagi udara yang cukup untuk paru-parunya. Ia juga menghubungi seorang lagi.
Vira baru saja mengganti gaunnya di kamar rias hotel saat ponselnya bergetar. Ia mengangkat, masih merasa kesal akibat pesta pernikahan yang seharusnya menjadi hari bersejarah menjadi kacau. "Max? Ada apa? Kamu dimana? Mengapa-" Maxime langsung memotong, "Vira..." suaranya terbata, napasnya memburu. "Ayah... Ayah masuk ICU..."
Keheningan menggantung lama. Vira yang sedang duduk tenang spontan berdiri sambil menegang. Kedua matanya membesar, "Apa?! Kenapa bisa?! Kamu ada di rumah sakit mana?!" Maxime tak mampu menahan isakannya. "St. Helena..." tangannya sedikit menjambak rambutnya karena sedari tadi dokter belum keluar.
"Vi, aku... aku takut banget... Ayah belum sadar."
Vira memegang dadanya, bibirnya bergetar dengan raut panik. "Tenang sayang, aku kesana sekarang. Jangan kemana-mana." namun... emosi Maxime memuncak karena tekanan yang ia pendam sejak pesta tadi. "KENAPA SEMUA HARUS TERJADI HARI INI, VIR? KENAPA?!" nadanya bukan membentak membabi buta, namun terdengar seperti teriakan orang yang hilang kendali karena takut. Telepon masih tersambung, di seberang sana Vira pun juga melangkah cepat. Ia tahu ini semua adalah resiko yang harus mereka tanggung, tapi Vira pun tak menyangka dampaknya bisa sebesar ini.
"Max... jangan teriak, sayang. Aku makin khawatir sama kamu-"
"Vira... aku cuma-" suaranya bergetar, seperti orang yang putus asa. "Aku cuma ingin ayah selamat, aku belum siap kehilangan ayah, Vi." Vira menggigit bibir bawahnya, air matanya jatuh. Beruntung di halaman hotel, ada taksi kosong. Wanita itu langsung memberitahu sopir untuk mengantarkan nya ke rumah sakit.
"Dengarkan aku.... kamu tidak sendirian lagi.... aku disini, aku istrimu sekarang, Max. Dan... aku hamil anak kita. Kita akan menghadapinya bersama, oke?" Maxime menutup mata. Setelah Vira menyebut soal kehamilan, pria itu tersadar bahwa ucapannya tadi tanpa sadar sudah membuatnya terluka. Wajahnya terlihat gelisah seketika.
"Maaf... Maaf sayang." suaranya melemah drastis. "Aku lupa... tidak boleh membuatmu setres. Astaga, aku bahkan-" Vira memotong cepat, nadanya sedikit meninggi untuk tidak membuat Maxime sangat bersalah. "Tidak apa-apa. Kamu syok, dan aku paham itu. Aku lagi di jalan, Max."
"Baiklah... Hati-hati sayang." Vira tersenyum kecil, ia mengusap air matanya. "Iya. Kita akan baik-baik saja. Semua bakal baik-baik saja." terdengar helaan napas panjang, bercampur suara yang retak. "Maaf... dan terima kasih karena tetap bersamaku."
Telepon terputus sepihak.
---
Berbeda dengan kepanikan yang melanda Maxime, rasa senang sedang dirasakan oleh Aleesya. Wanita itu sekarang sedang sibuk memilih beberapa buku dengan memakai kacamata bacanya di salah satu bookstore yang terletak di mall. Wajahnya terlihat berseri-seri karena ibunya tadi siang mengajaknya untuk mulai belajar memasak dan membuat kue.
"Sebanyak itu? Yakin bisa membacanya?" tanya Victor melihat tumpukan buku dalam keranjang kecil yang dipegang Aleesya. Wanita itu terkekeh sambil mengangguk cepat. "Bisa! Aku penasaran seperti apa masakanku nanti. Jika enak, aku bisa membuka restoran." jawabnya pede dan menghampiri Victor, ingin tahu isi buku yang dilihat pria itu sekarang.
"Buku apa sih? Serius sekali?" Victor memperlihatkan sampul buku dan mengembalikannya ke rak atas. "Novel percintaan, sudah ayo bayar dulu." Aleesya tertawa kecil, "Sejak kapan seorang Victor gemar membaca buku? Haha kau terlihat aneh." Aleesya berjalan lebih dulu sedangkan Victor masih tertinggal lalu bermonolog sambil menyilangkan tangan. "Sejak aku menyadari aku menyukaimu, Sya. Rasanya semua hal yang kau lakukan, menuntutku harus melakukannya juga."
Setelah selesai, mereka berjalan bersama untuk berkeliling mall. Victor terlihat begitu menjaga Aleesya. Setelan kasual berwarna beige yang ia kenakan menambah ketampanannya, begitupun Aleesya yang saat ini memakai setelan dress dengan warna senada. "Mau ice cream?" tawar Victor menatap lurus ke salah satu kedai ice cream. Aleesya ikut melihat dan menatap Victor dengan senyum simpul. "Sure."
Mereka terlihat seperti pasangan kekasih, namun semesta sepertinya belum merestui mereka. Di sudut tempat, sepasang mata mengawasi mereka. Tangannya mengepal terlihat dari genggaman paperbag nya yang kusut. "Aku harus bagaimana lagi agar kau jatuh ke pelukanku, Aleesya?" ia tak tahan, kemudian melangkah pergi dengan perasaan cemburu. Tangannya mengambil ponsel di celana dan menghubungi seseorang, "Kau dimana? Kirimkan alamat mu sekarang! Kita harus bertemu."
Ia berbalik menuju eskalator, langkahnya cepat seiring napasnya yang memburu. Pikirannya penuh dengan bayangan Aleesya yang tertawa tadi... senyum yang seharusnya menjadi miliknya. "Aku tidak bisa kalah darimu, Victor." gumamnya lirih penuh obsesi. Suara gemuruh mall tidak sebanding dengan rasa panas akibat api cemburu yang membakar hatinya.
Sementara itu, Victor dan Aleesya tengah duduk di bangku dekat jendela kaca besar. Dari sana, lampu-lampu kota terlihat layaknya lautan bintang. Aleesya menikmati ice cream-nya sambil mengayunkan kaki kecilnya pelan, terlihat polos dan ceria. Victor hanya memandangi diam-diam, sorotnya lembut dan teduh. "Kau selalu terlihat bahagia saat makan ice cream," ujar Victor sambil tersenyum tipis. "Karena ice cream adalah obat stres terbaik." jawab Aleesya santai. "Kau harus mencobanya, Vic. Agar hidupmu tidak terlalu serius."
Victor terkekeh, "Aku serius karena aku ingin menjaga seseorang." Aleesya menoleh setelah memasukkan satu sendok ice cream ke dalam mulutnya. "Menjaga siapa?" Victor membuka mulutnya, ingin jujur dan mengatakannya langsung. Namun ponselnya bergetar sebelum kata-kata itu keluar, sebuah pesan masuk. Bukan dari orangtuanya, maupun perusahaan. Sebuah nomor tak dikenal.
"Kau tidak akan bisa menebak apa yang akan terjadi hari esok. Pastikan Aleesya selalu baik-baik saja sebelum semua terlambat."
Wajahnya langsung menegang, jantungnya menghantam dada. Genggaman tangannya menguat, tanpa sadar Aleesya melihatnya. "Ada apa?" tanyanya memperhatikan perubahan ekspresinya. Victor langsung menetralkan emosinya sambil memasukkan ponselnya dalam kantong dan mengacak rambutnya gugup.
"Tidak. Bukan sesuatu yang harus kau pikirkan."
Namun dari jawaban itu, Aleesya menangkap nada aneh di suaranya. Dan jauh dari mereka, seseorang melangkah cepat keluar mall, menuju parkiran basement. Sosok itu masuk ke dalam mobilnya, memutar kunci dengan tangan gemetar.
"Aku akan pastikan Victor takkan bisa menyentuhmu lagi, Sya." ucapnya dengan nada getir. Mesin mobil meraung, dan obsesi itu baru saja benar-benar dimulai.