Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 — Setelah Hujan
Rendra berjalan menjauh dari Lapangan Desa, meninggalkan Rani dan Dimas, dan penduduk desa yang diselimuti kelegaan yang mengerikan. Ia berjalan menembus hutan yang lembap, tetapi ia tidak mencari tempat berlindung. Ia hanya mengikuti tarikan yang dingin, tarikan yang kini menjadi inti dari keberadaannya.
Ia akhirnya sampai di tepi sungai kecil, airnya kini mengalir jernih, membawa dedaunan kering, bukan lumpur atau darah. Rendra berlutut, menatap pantulannya di air yang tenang itu.
Ia melihat wajahnya sendiri.
Kulitnya memang pucat kebiruan, seperti mayat yang sudah lama terendam. Matanya, yang seharusnya cokelat, kini hitam pekat, mencerminkan kedalaman air yang tak berdasar. Dari tubuhnya, terus meneteskan air, air yang jernih dan murni, meskipun langit tidak lagi menghujaninya.
Rendra telah menjadi entitas baru. Ia adalah penjaga air, penebus, dan wadah bagi memori Laras yang tenang.
Ia berdiri di sana selama berjam-jam, di tengah keheningan yang lama dinantikan desa itu.
Saat matahari mulai naik, memancarkan cahaya jingga ke hutan, Rendra kembali ke Lapangan Desa.
Penduduk desa sudah berkumpul. Mereka tidak lagi menangis karena ketakutan, tetapi karena rasa syukur. Mereka berlutut di jalanan yang kini mengering, melihat ke langit yang cerah untuk pertama kalinya dalam tiga puluh tahun.
Di tengah suasana kelegaan itu, Rendra muncul.
Ia melangkah perlahan dari hutan, tubuhnya meneteskan air yang menguap tipis saat terkena sinar matahari pagi. Matanya yang hitam pekat menatap dingin ke setiap orang yang ada di sana.
Penduduk desa melihat Rendra. Mereka tidak lari. Mereka tidak berteriak. Mereka berlutut.
Mereka berlutut, tidak di hadapan tuhan, tetapi di hadapan manifestasi damai dari bencana yang telah berlalu. Mereka melihat Rendra, yang telah mengorbankan jiwanya, sebagai juru selamat mereka.
Rendra berjalan ke Sumur Tua, yang kini dikelilingi oleh bunga-bunga liar. Rani dan Dimas ada di sana, Dimas memeluk adiknya.
Rendra berhenti di tepi Sumur Tua, menatap airnya yang hening.
Suaranya terdengar dingin, bergetar, dan mengandung gema air yang halus.
“Airnya tenang sekarang,” katanya, suaranya seperti bisikan angin yang melewati gua. “Tapi jangan pernah lupakan siapa yang menenggelamkannya.”
Rendra berbicara bukan sebagai orang yang menyelamatkan, tetapi sebagai memori yang menuntut penghormatan abadi.
Rendra kemudian memejamkan mata. Ia merasakan kelegaan yang mendalam dari ratusan jiwa yang telah dibebaskan. Laras telah beristirahat. Rani dan Dimas aman.
Namun, ia juga merasakan sesuatu yang lain.
Ia merasakan kehausan. Bukan kehausan fisik, tetapi kehausan spiritual. Kehausan untuk kepatuhan.
Hari-hari berlalu, dan desa berangsur normal.
Penduduk desa mulai membangun kembali rumah mereka, mengeringkan pakaian mereka, dan menanam di tanah yang kini subur.
Namun, Rendra tidak lagi menjadi manusia.
Ia tidak tidur, tidak makan, dan tidak berbicara kecuali diperlukan. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya duduk di tepi Sumur Tua, matanya yang hitam menatap ke air.
Penduduk desa, yang telah dibebaskan dari ketakutan spiritual yang terus-menerus, kini mengalihkan energi emosional mereka ke penyembahan.
Mereka tidak lagi takut pada Yang Basah. Mereka kini menyembah Pembawa Tenang.
Mereka mulai meninggalkan persembahan di tepi Sumur Tua: bunga, hasil panen terbaik, dan bahkan air murni dalam wadah perak.
Rendra melihat mereka. Ia tidak menanggapi. Tetapi setiap kali mereka berlutut, ia merasakan energi yang mengalir ke tubuhnya, memperkuat kekuasaannya atas air.
Suatu sore, ketika matahari terbenam, Rani mendekati Rendra. Ia membawa Dimas.
“Mas Rendra,” panggil Rani, suaranya sedih. “Pulanglah. Kau bukan lagi manusia. Tapi kau masih Abangku.”
Rendra menoleh. Matanya yang hitam menatap Rani.
“Aku tidak bisa, Rani. Aku adalah penjaga sekarang.”
Dimas, yang kini sepenuhnya pulih, mengangguk pada Rendra. Matanya yang jernih menatap mata Rendra yang hitam tanpa rasa takut.
“Kita semua sekarang bagian dari Yang Basah,” kata Dimas, suaranya datar, tanpa emosi. “Kau adalah bagian yang tenang. Aku adalah saksi yang hidup. Kita adalah jembatan.”
Rendra tersentak. Kata-kata Dimas tidak datang dari kesadaran anak-anak. Itu adalah pengetahuan yang ia bawa dari dunia bawah air.
Rendra merasakan kesadaran yang dingin. Yang ia hentikan bukanlah kutukan Laras… tetapi ia mengubah bentuknya.
Kutukan itu tidak lagi menjadi bencana fisik (hujan darah), tetapi menjadi kontrak spiritual antara air dan manusia. Laras telah pergi, tetapi peran Laras kini diambil alih oleh Rendra.
Malam itu, Rendra duduk di tepi Sumur Tua. Keheningan desa terasa mencekik.
Dari dalam Sumur Tua yang hening, Rendra mendengar bisikan. Bukan gema Ayahnya, bukan pula teriakan arwah.
Itu adalah suara Laras. Lembut, penuh kasih sayang, tetapi mematikan.
“Tenangkan mereka, Pembawaku. Tenangkan mereka dengan darahmu. Kau haus, bukan? Darah adalah harga untuk mengingatku.”
Rendra merasakan kehausan yang ia rasakan di siang hari. Kehausan untuk kekuasaan, kehausan untuk pengakuan.
Ia menyentuh air di Sumur Tua. Air itu terasa dingin.
Ia tahu, kutukan ini belum berakhir. Kutukan ini baru saja berubah menjadi penyembahan yang akan menuntut harga yang jauh lebih mengerikan.
Dan Rendra, Pembawa Tenang, adalah pintu gerbang menuju kekacauan baru.