Nurma Zakiyah adalah seorang siswi Sekolah Menengah Umum (SMU) yang ceria, namun hidupnya seketika dilanda tragedi. Sang ayah terbaring sekarat di rumah sakit, dan permintaan terakhirnya sungguh mengejutkan yakni Nurma harus menikah dengan pria yang sudah dipilihnya. Pria itu tak lain adalah Satria galih prakoso , guru matematikanya yang kharismatik, dewasa, dan terpandang.
Demi menenangkan hati ayahnya di ujung hidup, Nurma yang masih belia dan lugu, dengan berat hati menyetujui pernikahan paksa tersebut. Ia mengorbankan masa remajanya, impian kuliahnya, dan kebebasannya demi memenuhi permintaan terakhir sang ayah.
Di sekolah, mereka harus berpura-pura menjadi guru dan murid biasa, menyembunyikan status pernikahan mereka dari teman-teman dan rekan sejawat.
Bagaimanakah kelanjutan rumah tangga Nurma dan Satria?
Mampukah mereka membangun ikatan batin dari sebuah pernikahan yang didasari keterpaksaan, di tengah perbedaan dunia, harapan, dan usia, bisakah benih-benih cinta tumbuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjaga jarak
Pukul sepuluh malam, Nurma perlahan membuka pintu kamarnya. Keheningan malam terasa begitu pekat, seolah ikut menahan napas. Setelah insiden ciuman spontan dengan Satria sore tadi, Nurma memilih mengurung diri. Perutnya mulai keroncongan, mendorongnya untuk memberanikan diri menuju dapur.
Langkah kakinya di lantai dingin terasa pelan dan hati-hati, seperti seorang pencuri di rumah sendiri. Begitu tiba di ambang pintu dapur, langkahnya terhenti. Jantungnya langsung melonjak liar.
Di depannya, berdiri Satria, suaminya. Pria itu tampak sama terkejutnya, memegang dua piring kosong di tangannya. Pandangan mereka bertemu hanya sepersekian detik sebelum Nurma buru-buru membuang muka, menatap ke arah dinding di sampingnya. Satria pun melakukan hal yang sama, fokusnya terpaku pada piring di genggaman. Udara di antara mereka tiba-tiba menjadi sangat tipis dan panas. Rasa malu dan gugup bercampur aduk, membuat detak jantung keduanya saling berlomba.
Satria berdehem pelan, mencoba memecah kebisuan rasa canggung itu.
"Em... Nurma."
Nurma hanya diam, masih menunduk tak berani menatap.
"Saya... Saya pesen nasi uduk."
Nurma mengangkat sedikit kepalanya, tapi tetap tidak berani menatap mata Satria.
"Nasi uduk plus ayam bakar, tadinya saya pikir kamu sudah tidur, tapi baguslah, kebetulan saya ambil dua piring di dapur, pasti kamu sudah lapar, kan?"
Nurma hanya mengangguk pelan, tanpa suara.
"Bentar lagi Abang ojol nya nyampe. Saya...saya tunggu di meja makan, ya?"
Satria berjalan cepat keluar dari dapur, seperti melarikan diri, meninggalkan Nurma yang masih membeku di tempat. Setelah Satria hilang dari pandangannya, barulah Nurma mengikuti ke meja makan.
Tidak lama kemudian, pesanan datang. Mereka duduk berhadapan di meja makan, lampu dapur yang temaram seolah berusaha menyembunyikan kegugupan di wajah keduanya. Aroma gurih nasi uduk dan manis pedas ayam bakar sedikit mencairkan suasana.
"Ayo, dimakan. Nurma, mumpung masih hangat."
Satria menyodorkan piring berisi nasi uduk dan sepotong ayam bakar ke hadapan Nurma.
Nurma hanya berbisik."Terimakasih Mas!"
Kini mereka mulai makan dalam diam. Hanya denting sendok dan garpu yang terdengar.
"Enak, tidak nasi uduk sama Ayam bakarnya?
"Mmmh, enak...Kamu suka nasi uduk?"
"Suka, dulu pas saya kecil sering dibelikan almarhum Ibu. Kalau ayam bakar gini sih... sesekali aja."
"Oh."
Keheningan kembali menyelimuti mereka, tidak nyaman, tapi juga... entah mengapa terasa akrab.
Satria mendongak, pandangannya tertuju pada Nurma yang sedang asik mengunyah. Tiba-tiba, ia melihat sebutir nasi putih menempel tepat di sisi bibir Nurma. Jantung Satria berdesir. Secara refleks, tanpa berpikir, Satria mengulurkan tangan kanannya, ibu jarinya menyentuh sudut bibir Nurma, mengambil butiran nasi itu.
Nurma tersentak. Matanya langsung membelalak kaget. Ia buru-buru menjauhkan wajahnya, mundur sedikit dari meja.
Satria membeku. Tangannya yang baru saja menyentuh bibir Nurma, kini menggantung di udara. Ia baru sadar dengan tindakannya.
Satria menjadi gugup, suaranya sedikit tercekat.
"M-maaf, ada... ada sisa nasi di situ."
Nurma tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menatap piringnya, wajahnya kembali merona merah, detak jantungnya kembali berdebar kencang, lebih kencang dari sebelumnya. Sentuhan Satria barusan, terasa begitu dekat.
Satria segera menarik tangannya, pura-pura kembali fokus pada piringnya, tapi ia tak bisa menahan dirinya untuk tidak mencuri pandang ke arah Nurma.
Makan malam yang seharusnya menjadi pengisi perut, kini berubah menjadi adegan yang kembali mengaduk-aduk perasaan mereka berdua. Peristiwa sore tadi, seolah terulang kembali dalam sentuhan kecil yang spontan.
Nurma tidak tahan dengan suasana yang tiba-tiba memanas itu. Begitu Satria menarik tangannya dan kembali menatap piring, Nurma berdiri tegak dengan cepat, kursinya berderit menciptakan suara yang cukup keras.
Nurma hampir berteriak."
"Aku... aku sudah kenyang! Aku kembali ke kamar duluan!"
Tanpa menunggu jawaban dari Satria, Nurma bergegas meninggalkan meja makan, hampir berlari menuju kamarnya. Ia menutup pintu dengan pelan tapi pasti, lalu bersandar di baliknya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang seolah ingin melompat keluar.
Sementara itu, Satria di meja makan hanya memandangi piring sisa makanan mereka. Ia tidak marah atau tersinggung. Sebaliknya, seulas senyum tipis muncul di bibirnya. Tingkah laku Nurma yang polos dan buru-buru menjauh itu justru membuatnya merasa... geli dan hangat. Ia menghela napas, membereskan piring, lalu menuju ruang tamu.
Selesai makan malam bersama, Satria merebahkan diri di atas sofa ruang tamu. Ia menjadi sudah terbiasa tidur di sana sejak awal ia pindah ke rumah ini. Baru saja matanya hampir terpejam, dan Nurma di kamarnya juga baru mulai menemukan posisi nyaman, tiba-tiba terdengar suara mobil di depan rumah.
Satria dan Nurma serentak membuka mata.
"Itu... kayaknya Ibu," gumam Satria pelan.
Pintu kamar Nurma terbuka. Nurma keluar dengan ekspresi panik.
Nurma berbisik cepat sambil melirik ke arah pintu depan.
"Mas Satria! Cepat! Ambil bantal dan selimutmu di sofa, masukin ke kamar!"
Satria mengerti. Ibu Widia tidak boleh tahu mereka tidur terpisah.
Satria bergegas mengumpulkan barangnya.
"Oke! Oke!"
Mereka bergerak cepat. Satria menumpuk bantal dan selimutnya di lengan, masuk ke kamar Nurma, lalu mereka menutup pintu kamar dengan rapat. Tepat saat itu, kunci diputar di pintu depan.
Pintu ruang tamu terbuka. Bu Widia, Ibunya Nurma, melangkah masuk dengan wajah lelah. Nurma dan Satria saling pandang di balik pintu kamar.
Mereka menyangka Bu Widia akan menginap di tempat Bude Minah seperti yang direncanakan.
Kemudian Bu Widia menyapa dengan suara pelan dan lelah
"Nurma? Satria? Kalian Sudah tidur?"
Nurma membuka pintu sedikit.
"Eh, Ibu! Belum, Bu. Kirain aku, Ibu menginap di rumah Bude?"
"Nggak jadi, Nduk. Ibu lagi gak enak badan, Ibu cuma mau tidur, sudah nggak kuat."
Bu Widia menghampiri Nurma dan Satria yang berdiri di ambang pintu, kemudian menepuk bahu menantunya.
"Nak Satria, jangan tidur di sofa lagi, ya. Sudah ada kamar. Kasihan kalau kamu sakit. Tidur yang nyenyak, Nak."
"Iya, Bu. Siap. Kami... kami tidur di kamar, Bu."
"Bagus, yasudah, Ibu tidur duluan, ya. Selamat malam."
Bu Widia bergegas berjalan masuk ke kamarnya.
Nurma dan Satria saling pandang setelah pintu kamar Bu Widia tertutup. Nurma menarik napas lega, tapi segera digantikan oleh rasa gugup yang luar biasa.
"Tuh, kan! Gimana ini? Ibu beneran di rumah!" bisik Nurma panik
Satria malah menggaruk tengkuk, sedikit canggung.
"Ya... tidur saja, Nurma. Kita... kita tidur."
"Tidur? Di kamar ini? Berdua?"
Pikiran Nurma langsung melayang pada peristiwa ciuman sore tadi yang terjadi begitu saja, tanpa peringatan, di luar kendali. Ia takut, sangat takut kejadian spontan seperti itu terulang saat mereka berdekatan di atas ranjang. Tugasnya sebagai istri untuk melayani kebutuhan biologis Suaminya, terasa seperti momok yang menakutkan. Ia belum siap, sama sekali belum siap.
Mata Nurma tertuju pada tumpukan bantal yang baru dibawa oleh Satria, tiba-tiba, ia mendapat ide.
"Tunggu sebentar, kamu Jangan naik ke kasur dulu."
Nurma mengambil semua bantal yang ada di atas kasur dan semua bantal bawaan Satria. Ia mulai menyusunnya di tengah ranjang.
Satria bingung melihat Nurma menata barisan bantal.
"Nurma? Kamu lagi ngapain?"
Nurma tidak menjawab, Ia membangun sebuah benteng bantal, sebuah tirai pemisah yang memanjang dari kepala hingga kaki kasur. Bantal-bantal itu ditumpuk cukup tinggi, menjadikannya sekat yang kokoh.
Nurman menunjuk sisi tempat tidur yang lebih sempit.
"Kamu tidur di sana, jangan melewati batas bantal ini. Ini... ini untuk jaga-jaga. Aku belum... aku belum siap. Jangan berbuat macam-macam, ya." Nurma terbata.
Satria menatap tumpukan bantal itu, lalu menatap wajah Nurma yang tegang dan memohon. Ia pun mengerti, Nurma sedang membangun pertahanan dirinya. Satria mengangguk perlahan, ada rasa iba dan hormat di matanya.
"Iya, Nurma. Saya janji, batas bantal ini tidak akan saya lewati. Selamat malam."
Satria mematikan lampu, hanya menyisakan cahaya rembulan yang masuk samar-samar. Ia merebahkan diri di sisi kasur yang ia dapat, terhalang oleh benteng bantal.
Di balik tirai bantalnya, Nurma menghela napas lega, namun hatinya masih berdebar. Malam itu, mereka tidur dalam satu ranjang, tapi dipisahkan oleh sebuah dinding kecil yang terbuat dari kehati-hatian dan rasa belum siap.
Bersambung..