Adelina merupakan seorang selebgram dan tiktokers terkenal yang masih duduk di bangku SMA.
Parasnya yang cantik serta sifatnya yang periang membuatnya banyak disukai para followers serta teman-temannya.
Tak sedikit remaja seusianya yang mengincar Adelina untuk dijadikan pacar.
Tetapi, apa jadinya jika Adelina justru jatuh cinta dengan dosen pembimbing kakaknya?
Karena suatu kesalahpahaman, ia dan sang dosen mau tak mau harus melangsungkan sebuah pernikahan rahasia.
Pernikahan rahasia ini tentu mengancam karir Adelina sebagai selebgram dan tiktokers ratusan ribu followers.
Akankah karir Adelina berhenti sampai di sini?
Akankah Adelina berhasil menaklukkan kutub utara alias Pak Aldevaro?
Atau justru Adelina memilih berhenti dan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marfuah Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cintai Aku, Mas!
"Del, buka pintunya!" teriakan Mas Al tak kugubris sama sekali.
Biarkan saja ia terus berteriak sampai tenggorokannya kering. Aku tak peduli. Buat apa, toh dia juga gak peduli dengan perasaanku sebagai istrinya. Wong aku saja belum pernah ngerasain bibir dia, bisa-bisanya dia ngasih itu ke wanita lain. Di depan mataku sendiri pula!
Asem bener dah!
Cukup lama aku terduduk di depan pintu dengan penampilan yang jauh dari kata baik. Rambut acak-acakan, mata sembab dengan hidung yang memerah terus saja mengeluarkan cairan bening.
Suara Mas Al tak lagi terdengar. Mungkin ia lelah dan memutuskan untuk tidur di ruang tamu.
Lelah dengan posisi yang terduduk di depan pintu, aku bangkit menuju ranjang kemudian merebahkan tubuhku di sana. Kebiasaanku setelah menangis pasti mengantuk. Perlahan tapi pasti aku pun terlelap dalam mimpi.
...🍉🍉...
Pagi-pagi sekali aku bangun. Teriakan Mas Al yang begitu nyaring seraya menggebrak pintu membuatku tak bisa kembali mengarungi mimpi. Terpaksa aku harus bangun dan membukakannya pintu.
Aku tak ingin seluruh orang rumah terbangun dan menyumpahiku sebagai istri durhaka.
"Kita pulang pagi ini," ajak Mas Al.
Aku tak menjawabnya. Aku masih kesal lantaran kejadian semalam. Mana fungsinya ia sebagai seorang suami, harusnya ia membujukku bukan malah tetap bersifat cuek. Bullshit memang usahanya mengejarku semalam.
Aku dan Mas Al meninggalkan rumah besar ini pagi sekali, bahkan pemiliknya saja belum bangun dari mimpinya. Pelan-pelan kami melangkahkan kaki, entah untuk apa.
Berjalan biasa pun aku yakin tak ada yang bisa mendengar. Siapa yang akan mendengar langkah kaki kecil kami di rumah yang luasnya seperti Stadion Gelora Bung Karno.
Mas Al segera menghidupkan mobilnya saat kami telah masuk ke dalam. Ia menjalankan mobilnya meninggalkan halaman rumah. Melaju pelan di jalanan yang masih sangat sepi. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Tentu saja, siapa yang akan mengemudi di suhu udara yang masih begitu dingin.
Pandanganku mengarah ke luar. Menatap pepohonan rindang yang tampak menyeramkan saat tersorot lampu jalan. Mataku yang masih mengantuk berat kembali terpejam.
Aku tertidur dalam posisi yang tak nyaman, kepalaku menyender ke jendela, saat tak sengaja mobil melewati jalan berlubang tentu saja kepalaku akan langsung membentur jendela. Membuatku berkali-kali mencari posisi yang nyaman.
Ah, andai ada boneka hello kittyku, pasti aku bisa langsung tertidur.
Rasa tak nyaman itu langsung hilang saat kurasakan sebuah tangan menggapai tengkukku. Ia lalu menyenderkan kepalaku di bahunya. Bibirku tersenyum, siapa lagi kalau bukan suamiku yang melakukannya.
Tubuhku sedikit bergeser mendekat padanya. Kedua tanganku segera memeluk pinggangnya. Kurasakan tubuh Mas Al menegang, tapi tak ada tanda ia akan melepas pelukan tanganku.
Senyumku terbit semakin cerah, kini kepalaku berpindah ke dadanya. Mengusel di sana seraya menghirup dalam aroma tubuh Mas Al. Entah parfum apa yang ia gunakan, belum mandi pun tubuhnya masih tercium sangat wangi.
Mas Al hanya diam, sementara tangan kirinya kini justru mengusap pelan pucuk kepalaku. Persis seperti seorang ayah menidurkan putrinya. Hal itu membuatku semakin mengeratkan pelukan di pinggangnya.
"Anjir, kok cepet banget dah sampe!" umpatku dalam hati.
Mobil telah berhenti, tapi aku masih tak ingin melepas pelukanku. Pelan kurasakan Mas Al mengusap lenganku.
"Del, bangun," ucapnya yang tak kuhiraukan.
"Del!" Kini guncangannya semakin kencang membuatku terpaksa menggeliat dan membuka mata.
"Masih ngantuk," ucapku seraya menguap.
Kembali aku akan meletakkan kepalaku di dadanya, tapi segera Mas Al menahan kepalaku dengan tangannya.
"Semalem aja sok marah, sekarang mau nempel-nempel sama saya. Gak malu?"
Aku mengerucutkan bibir kemudian membuka pintu mobil dan segera ke luar. Kesal, padahal aku sudah hampir lupa dengan kejadian yang membuat mataku sembab. Tapi, justru ia malah membuatku kembali mengingatnya.
Mas Al segera mengejarku, ia membuntutiku masuk ke dalam rumah.
"Del, kok marah lagi. Saya salah lagi, ya?"
Mas Al bodoh atau bagaimana sih? Ia saja belum meminta maaf atas kesalahan yang ia lakukan semalam, masih bertanya apa salahnya lagi. Bikin kesel!
"Mas masih tanya salah Mas apa?" Aku berbalik, menatap kesal ke arahnya.
Mas Al mengangguk, membuatku semakin gemas dengan tampang bodohnya.
"Mas sadar nggak sih, istri Mas itu aku. Kenapa Mas malah semudah itu ngasih bibir Mas ke cewek lain!" sergahku kesal.
Dadaku naik turun menahan emosi yang tersulut. Ambyar sudah emosi yang tertahan di ubun-ubun. Mataku kembali berkaca sedang hidungku kembang kempis.
Mas Al menatapku dalam, tangannya terulur menyentuh bahuku yang ikut naik turun.
"Saya minta maaf, saya sudah kelewatan," lirih Mas Al.
Telingaku melebar mendengar permintaan maafnya. Kupikir orang sepertinya tidak akan bisa mengatakan kata maaf.
Aku masih diam. "Apa yang harus saya lakukan agar kamu bisa maafin saya?" lanjutnya lagi.
Aku menatapnya lalu menghambur dalam pelukannya. Ternyata, rasa cintaku padanya masihlah jauh lebih besar dari rasa kesalku.
Tangisku pecah dalam dekapan Mas Al. Aku tak kuat lagi membendung rasa sesak yang ada di dada.
"Aku mau Mas mencintaiku seperti Mas mencintai wanita itu," pintaku di sela isak tangisku.
Mas Al melerai dekapannya, bibirnya bergetar ragu. "Maaf, untuk itu saya belum bisa," ucapnya.
Harusnya aku tahu. Permintaanku terlalu mustahil untuk dipenuhi oleh laki-laki di depanku ini. Aku tersenyum menatapnya, senyum yang amat terpaksa. Tanganku kembali menyeka air mata yang jatuh kesekian kalinya.
"Sudah aku duga, Mas gak mungkin mencintai gadis bodoh sepertiku." Aku meninggalkannya dan langsung masuk ke dalam kamar.
Lagi-lagi air mataku kembali tumpah. Aku mengambil handuk lantas masuk ke dalam kamar mandi. Perasaanku hancur, lebih hancur dari semalam. Harusnya aku tahu diri kemudian mundur perlahan, bukan aku yang ada di hatinya.
Jika mencintainya sesakit ini, harusnya aku tidak mencintainya. Seharusnya sejak awal aku tak perlu mengenalnya dan jatuh cinta padanya.
...🍉🍉...
"Lo baik-baik aja, kan, Del?" tanya Raina setelah jam pelajaran usai.
Aku yang sejak tadi hanya diam, tak ada niat untuk melakukan apapun. Kepalaku yang telungkup di atas meja perlahan terangkat. Mata sembabku menatap kedua gadis di depanku.
Bibirku tersenyum miris, "Gue gak papa," ucapku kemudian.
"Kalau lo gak baik-baik aja bilang, Del. Jangan terbiasa berlindung di balik kata 'gak papa', padahal lo lagi gak baik-baik aja." Rain mengangkat wajahku untuk menatapnya, "Gak selamanya lo itu kuat, ada masa di mana lo merasa down. Dan kita selalu ada buat lo untuk lewatin masa itu," lanjutnya lagi.
"Iya, Del. Kita teh selalu siap bantuin sia," tambah Senja.
Aku langsung menarik mereka dalam pelukku. Setidaknya aku masih memiliki mereka di hidupku. Dua sahabat yang selalu ada saat aku terjatuh. Tidak bertanya kenapa, tapi selalu siap membantuku paling depan.
Kami berpelukan cukup lama sampai sebuah suara membubarkan dekapan di antara kami.
"Ciee ... teletabis lagi pada pelukan." Suara laknat itu berasal dari Dion si Preman kelas.
Suara gelak tawa langsung memenuhi kelasku. Raina dan Senja saling tatap sebelum kemudian menatapku dan kami pun tertawa bersama. Dengan itu aku merasa lebih baik. Lukaku sedikit banyak telah terobati.