NovelToon NovelToon
Kontrak Pacar Pura-Pura

Kontrak Pacar Pura-Pura

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Kekasih misterius / Perjodohan
Popularitas:152
Nilai: 5
Nama Author: SineenArena

Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 - Jemputan Wajib

Malam itu, Yuni tidak tidur.

Dia mencoba.

Dia berbaring di ranjangnya yang sempit, menatap langit-langit yang retak.

Retakan itu tampak seperti peta, tapi tidak ada jalan keluar.

Dia tidak mematikan lampunya.

Di atas meja belajar, laptopnya terbuka.

Menampilkan file PDF "Skenario V.1.0".

Di sebelahnya, ada buku catatan.

Yuni telah menyalin skenario itu dengan tangan.

Dia menghafalnya.

Makanan Kesukaan (Palsu): Nasi Goreng Gila.

Fakta: Yuni benci pedas. Perutnya tidak kuat.

Alergi (Juan): Debu.

Fakta: Yuni tidak tahu. Bagaimana jika dia lupa dan membawa Juan ke tempat berdebu?

Film Terakhir Ditonton Bersama (Palsu): Dokumenter Sejarah Seni.

Fakta: Yuni belum pernah ke bioskop seumur hidupnya.

Dia menghafal semua kebohongan itu.

Rasanya seperti memasukkan racun ke otaknya.

Dia mempraktikkan senyumnya di cermin retak di kamar mandinya.

Senyumnya terlihat... mengerikan.

Kaku.

"Aktingmu kaku," bisiknya.

Dia teringat kata-kata Sarah.

Dia teringat tatapan Sarah.

Kecewa.

Dia kembali ke ranjangnya. Mengambil ponselnya.

Membuka pesan dari Sarah.

Pesan terakhir mereka, sebelum kekacauan ini.

Sarah:"Yun, nemu buku bagus di perpus! Gue simpenin buat lo!"

Yuni merasakan matanya panas.

Dia mengetik pesan baru.

Yuni:"Sar, gue bisa jelasin."

Dia menatapnya.

Jelaskan apa? Bahwa dia menjual dirinya demi uang?

Bahwa dia terikat kontrak 200%?

Dia menghapus pesan itu.

Yuni meninju bantalnya. Pelan.

Dia tidak bisa menghancurkan kontrak ini.

Dia tidak bisa gagal.

Dia akan menjadi aktris yang lebih baik.

Dia akan menjadi pembohong yang lebih baik.

Dia harus.

Pagi berikutnya, dia bangun dengan mata bengkak.

Dia tidak tidur satu menit pun.

Dia membasuh wajahnya dengan air dingin. Berkali-kali.

Sampai kulitnya mati rasa.

Dia membuka lemari kainnya.

Dia menatap kemeja flanel pudar yang kemarin dia pakai.

Juan:"Pakai baju yang sama. Konsisten."

Yuni mengambil kemeja itu.

Baunya seperti... penghinaan.

Baunya seperti Kantin Teknik.

Baunya seperti steak mahal dan kebohongan.

Dia memakainya.

Dia tidak sarapan. Perutnya terlalu mulas.

Dia berjalan ke kampus.

Pukul sepuluh pagi. Kelas "Kritik Sastra".

Dosen mereka sedang membahas "Narator yang Tidak Bisa Dipercaya".

Yuni merasa seperti sedang disindir oleh seluruh alam semesta.

Dia masuk ke kelas.

Sarah sudah ada di sana.

Duduk di barisan depan.

Bukan di kursi mereka yang biasa di barisan ketiga.

Barisan depan adalah tempat mahasiswa ambisius. Sarah tidak pernah suka di sana.

Yuni berjalan ke kursi mereka yang biasa.

Dia duduk sendirian.

Ada ruang kosong yang besar di sebelahnya.

Tempat Sarah seharusnya berada.

Dia bisa merasakan Sarah.

Tidak menoleh.

Tidak menyapanya.

Satu jam kuliah.

Yuni tidak mencatat apa-apa.

Dia hanya menatap punggung Sarah.

"Sar..." batinnya. "Maafkan aku."

Mahasiswa lain memperhatikan.

Mereka berbisik.

Melihat Yuni yang sendirian.

Melihat Sarah yang sendirian di depan.

Mereka tahu.

Pasangan sahabat itu... pecah.

Pasti karena Juan.

Kelas selesai.

Sarah berdiri.

Dia berjalan keluar kelas.

Melewati Yuni tanpa menoleh.

Seolah Yuni tidak ada.

Seolah mereka orang asing.

Yuni menunduk.

Sakitnya... lebih perih dari tatapan seisi kampus.

Kehilangan sahabatnya.

Itu tidak ada di dalam kontrak.

Dia duduk di sana sampai kelas kosong.

Sepuluh menit.

Hanya dia dan tasnya.

Dia menghela napas.

Dia harus pergi ke perpustakaan.

Menunggu di sana sampai jam tiga.

Dia merapikan barang-barangnya.

Ponselnya bergetar di atas meja.

Yuni membukanya.

Juan.

Jantungnya berdebar.

Juan:"Kelas lo selesai jam berapa?"

Yuni terkejut.

Pria ini... tidak terduga.

Yuni:"Baru saja selesai."

Balasan datang seketika.

Juan:"Bagus. Gue di depan fakultas lo."

Yuni membeku.

Di depan.

Di sini?

Juan:"Kita jalan ke perpus bareng. Tugas 2."

Dia ada di Sastra.

Dia ada di dunianya.

Yuni merasa panik.

"Nggak," batinnya. "Ini wilayah amanku."

Yuni:"Nggak usah. Aku bisa ke perpus sendiri. Nanti jam 3."

Juan:"Jam 12. Di kantin. Itu debut."

Juan:"Jam 1. Di depan fakultas lo. Ini 'Jemputan Wajib'."

Juan:"Paham?"

Yuni gemetar.

Marah.

"Aku yang atur permainannya."

Yuni tidak membalas.

Dia memasukkan ponselnya ke saku.

Dia mengambil tasnya.

Dia berjalan keluar kelas.

Dia berjalan menyusuri koridor Fakultas Sastra.

Lantainya terbuat dari ubin lama yang indah.

Dindingnya dipenuhi mading puisi dan poster pementasan teater.

Suasananya tenang.

Dan kemudian...

Dia melihatnya.

Di lobi utama.

Juan.

Dia berdiri di sana.

Dan dia... mencolok.

Seperti elang di antara kawanan merpati.

Dia tidak memakai hoodie.

Dia memakai kemeja polo hitam polos.

Bersandar di pilar utama, menatap ponselnya.

Sikapnya santai.

Tapi kehadirannya... mengintimidasi.

Semua orang di lobi Sastra memperhatikannya.

Mahasiswi-mahasiswi yang sedang duduk di lantai sambil berdiskusi, berhenti bicara.

Mahasiswa-mahasiswa yang sedang merokok di teras, menatapnya.

Raja Teknik... ada di Sastra.

Ini tidak pernah terjadi.

Lalu, Juan mengangkat kepalanya.

Matanya mencari.

Dan menemukan Yuni.

Dia tidak tersenyum.

Dia hanya mengangguk kecil.

Sebuah perintah. "Kemari."

Yuni berjalan ke arahnya.

Lagi.

Lagi-lagi dia berjalan melintasi lautan tatapan.

Tapi kali ini berbeda.

Ini adalah tatapan teman-temannya.

Teman-teman se-fakultasnya.

Mereka tidak menatapnya dengan jijik.

Mereka menatapnya dengan... kebingungan.

"Itu Yuni?"

"Yuni yang sukarelawan perpus?"

"Kok... sama Juan?"

Yuni sampai di depan Juan.

"Kamu... ngapain di sini?" bisik Yuni. Marah.

Juan menatapnya.

Dia melirik ke sekeliling.

Semua orang mendengarkan.

Lalu dia tersenyum.

Bukan senyum palsu lebar seperti di kantin.

Senyum tipis.

"Jemput pacar gue," katanya.

Suaranya cukup keras untuk didengar orang-orang di dekatnya.

"Salah?"

Yuni memerah.

Dia tidak menyangka ini.

"Ayo."

Juan tidak bergerak.

Dia menatap tas ransel Yuni.

"Berat?" tanyanya.

"Nggak," kata Yuni.

"Bohong."

Sebelum Yuni bisa protes, Juan melepaskan tas itu dari bahu Yuni.

Yuni tersentak.

"Juan!"

"Apa?" katanya. "Pacar macam apa gue biarin ceweknya bawa tas berat?"

Tas itu memang berat. Penuh buku-buku tebal.

Juan sedikit terkejut oleh bebannya.

"Astaga," gumamnya. "Kamu bawa batu?"

Dia menyampirkan tas ransel merah pudar milik Yuni di satu bahunya.

Di samping tas ransel kulit hitam miliknya.

Kontrasnya... konyol.

Juan yang keren. Membawa tas ransel Yuni yang jelek.

"Ayo," katanya.

Dia tidak memegang tangan Yuni.

Dia hanya mulai berjalan.

Membuka pintu lobi untuknya.

Yuni tidak punya pilihan selain mengikutinya.

Mereka berjalan keluar ke jalan utama kampus.

"Jemputan Wajib."

Ini lebih buruk dari kantin.

Ini adalah parade.

Juan, berjalan di sampingnya.

Membawa tasnya.

Seluruh kampus melihat.

Gosip kemarin... bukan lagi gosip.

Ini konfirmasi.

"Mereka beneran jadian."

"Gila, Juan bawain tasnya!"

"Kok mau sih Juan?"

Yuni berjalan dengan kaku.

"Santai sedikit," bisik Juan.

"Kamu terlihat seperti akan dihukum mati."

"Aku memang merasa begitu," balas Yuni dingin.

Juan meliriknya.

"Bagus," katanya.

"Apa?"

"Aktingmu. Hari ini lebih baik."

"Kemarin kamu kaku karena takut. Hari ini kamu kaku karena marah."

"Itu... membuatmu terlihat angkuh. Misterius."

"Orang-orang akan mengira kamu... 'susah didapat'."

"Lanjutkan."

Yuni berhenti.

Dia menatap Juan.

Dia pikir... kemarahannya yang tulus... adalah akting?

"Kamu pikir ini akting?"

"Tentu saja," kata Juan. "Dan ini bagus."

"Tetaplah marah. Itu cocok untukmu."

Yuni tidak tahu harus tertawa atau menangis.

Dia hanya terus berjalan.

Mereka tiba di depan perpustakaan pusat.

Tempat di mana dia kehilangan Sarah.

"Oke," kata Juan, mengembalikan tas Yuni.

"Tugas 2 dimulai."

"Kita akan duduk di meja besar, di tengah."

"Dekat bagian Sastra. Wilayahmu."

"Supaya orang-orangmu melihat."

"Kita akan 'belajar bareng'."

"Kita nggak akan beneran belajar, kan?" tanya Yuni.

"Tentu saja kita belajar," kata Juan.

"Aku ada kuis Termodinamika besok."

"Dan kamu," katanya, menatap Yuni tajam.

"Akan mengajariku Skenario V.1.0."

"Karena aku belum hafal."

Yuni ternganga.

"Ayo, Pacar," kata Juan.

Dia menepuk kepala Yuni.

Pelan.

Gerakan yang kasual.

Gerakan yang membuat Yuni membeku.

Itu tidak ada di kontrak. Pasal 3: "Tidak ada kontak fisik yang tidak perlu."

Sentuhan itu hangat.

Dan publik.

Dan gerakan yang dilihat oleh setidaknya dua puluh orang di lobi perpustakaan.

Termasuk Bu Reni di meja sirkulasi.

Termasuk Sarah, yang kebetulan baru saja keluar.

Mata Sarah dan Yuni bertemu.

Lalu Sarah melihat tangan Juan di kepala Yuni.

Wajah Sarah... hancur.

Dia berbalik dan berjalan pergi.

"Sialan," bisik Yuni, menepis tangan Juan.

"Akting bagus," kata Juan, tidak menyadari apa yang baru saja terjadi.

"Sekarang ayo belajar, Pecundang."

"Apa kamu bilang?"

"'Pecundang'," kata Juan. "Di skenario V.2.0, aku suka manggil kamu gitu. Karena kamu jago catur."

"Aku nggak jago catur!"

"Sekarang jago," kata Juan.

Dia berjalan masuk ke perpustakaan.

Meninggalkan Yuni di pintu.

Patah hati.

Dan marah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!