Istri kedua itu memang penilaiannya akan selalu buruk tapi tidak banyak orang tau kalau derita menjadi yang kedua itu tak kalah menyakitkannya dengan istri pertama yang selalu memasang wajah melas memohon simpati dari banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ranimukerje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Televisi menyala tapi tak benar benar ditonton karena baik wisnu maupun febri sedang saling sibuk dengan pikiran masing masing. Wisnu rebah diatas pangkuan febri yang kepalanya dielus pelan.
"Mas"
Akhirnya febri buka suara lebih dulu.
Wisnu membuka mata tapi elusan dikepalanya masih.
"Besok siang aku ada pemotretan dipuncak."
Wisnu sempat menatap lawa wajah febri yang ada diatasnya.
"Kok dadakan?" Tanya wisnu sambil bangun dan duduk bersandar disandaran sofa.
"Tadinya mau pemotretan distudio tapi yang punya produk berubah pikiran. Dan jadinya ke puncak."
"Nginep?" Tanya wisnu dengan raut penasaran.
Febri mengangguk kepala.
"Habis pemotretan ini aku udah minta diatur jadwal ulang biar ga usah ada pemotretan diluar kota lagi."
Febri menoleh kesamping dimana wisnu duduk dan pandangan mereka bertemu. Wisnu dengan mata yang tak bisa bohong kalau dirinya tak setuju tapi akhirnya wisnu hanya bisa mengangguk pasrah.
"Maaf ya mas, ini beneran dadakan dan manager ku udah coba nego tapi ga bisa."
"Ya sudah, ga papa."
Lalu hening.
Mereka saling diam lagi hanya ada suara televisi yang tidak ditonton.
"Mas" Panggil febri lagi.
Wisnu membuka mata yang tadi sempat terpejam.
"Kamu butuh sesuatu? Atau kamu butuh teman ngobrol aku bisa jadi pendengar."
Suara febri terdengar lihir tapi wisnu tak yakin bisa menceritakan permasalahannya dengan istri pertamanya. Nara itu sulit sekali diarahkan dan akan memang terus begitu. Sampai berbusa pun mulut bicara nara tak akan menggubris yang ada malah kita yang jadi lelah sendiri.
Wisnu duduk kembali padahal tadi sudah nyaman lagi rebah diatas pangkuan febri.
"Aku ga bisa cerita banyak. Yang jelas nara terus bikin ulah dan aku makin capek. Bukan karena sudah ada kamu sekarang tapi aku beneran udah capek."
Febri tak menjawab, matanya hanya fokus melihati wajah lelah suaminya. Dalam hati, febri hanya mampu merutuk akan tabiat buruk nara yang tak pernah mau berubah dan sepertinya makin hari malah makin menjadi.
"Feb ....." Panggil wisnu dengan wajah frustasi.
"Aku sempet kepikiran buat lepas dia."
Febri langsung menggeleng tegas.
"Jangan ngaco kamu mas."
Ada kilat marah dimata febri. Jelas ia tak mau kalau wisnu dan nara benar bercerai sudah pasti dirinya lah yang dianggap jadi penyebab.
"Aku ga tau seberat apa jadi kamu selama hidup dengan mba nara tapi kalau kamu sampai mau cerai dari dia tunggu tugas selesai dulu."
Kalimat yang kekuar dari mulut febri tak disangka sangka. Wisnu sempat terdiam untuk beberapa saat berusaha memahami maksud dari ucapan febri barusan tapi tetap saja ia merasa kecewa juga sedikit tak terima. Tak menyangka wanita didepannya ini dengan cepat mengambil keputusan tanpa pikir panjang.
"Tapi ini ga mudah."
"Aku tau, makanya selama ini aku ga pernah bikin ribet. Aku udah tau kalau mba nara itu ratu drama jadi sebisa mungkin aku ga mau nambahin beban kamu."
Deg
Wisnu tercenung. Istrinya ini, benar benar.
Pagi ini mendung.
Wisnu duduk diam didapur sambil menyesap kopi buatan istrinya yang terasa pas. Tablet ditangan membaca laporan yang dikirim oleh asisten pribadinya tentang apa apa saja yang nara beli kemana saja istri pertamanya itu pergi dan dengan siapa saja bertemu.
"Tas mahal perhiasan sepatu." Batin wisnu membaca semuanya dalam diam.
Wajahnya datar nyaris tanpa ekspresi walau hatinya sedang panas karena emosi. Bukan pelit tapi nara tak pernah bijak dalam menggunakan uang dan terkesan selalu menghambur hamburkan uang dengan sesuka hati tanpa berfikir kegunaan dan manfaat dari apa yang dibeli.
"Sarapannya mas"
Febri datang dengan nasi pecel lengkap dengan tempe goreng juga telur pindang. Sayuran hijau disiram bumbu kacang benar bemar menggugah selera. Wisnu segera meletakkan tabletnya disisi meja. Menikmati sesuap demi sesuap makanan yang disiapkan oleh sang istri.
"Feb" Panggil wisnu disela kesibukkannya mengunyah.
Febri yang sedang menikmati makanannya mendongak.
"Kamu punya barang mewah? Seperti tas sepatu dan hmm perhiasan?"
Febri sempat tersenyum lalu meletakkan sendoknya dipiring. Wajahnya minim ekspresi tapi senyum jelas tersungging disudut bibirnya.
"Wanita dengan barang mewah itu adalah teman mas, aku tentu punya apalagi pekerjaan ku menuntut untuk punya semua yang mas sebutkan tadi. Tapi ...."
Ada jeda sejenak sebelum febri melanjutkan ucapannya.
"Bukan berarti aku akan beli semua barang barang itu apalagi ada yang model terbaru. Menurut ku semua barang mahal itu bukan investasi yang tepat seperti yang orang orang bilang."
Wisnu mengangguk singkat tapi tak menanggapi apapun. Entah kenapa pertanyaan semacam itu muncul dibenaknya dan langsung ia tanyakan. Sementara febri tau suaminya tak akan berbicara lagi kembali meraih sendok dan melanjutkan makannya.
Hari itu walau cuaca mendung tapi mereka tetap bergerak untuk melakukan aktifitas yang sudah dijadwalkan khususnya febri karena wisnu siang ini hanya akan sibuk dikantor sampai nanti jamnya pulang akan kerumahnya bersama nara untuk membicarakan hal penting. Apalagi kalau bukan mengenai kartu kredit yang tagihannya membengkak itu.
"Pak, pak lim minta bapak keruangannya sekarang."
Wisnu sempat terdiam tapi akhirnya mengangguk kepala.
Berjalan menaiki lift untuk sampai keruangan sang ayah. Wisnu tak takut hanya saja lelah itu tergambar jelas diwajahnya.
Ceklek
Wisnu membuka pintu dan langsung melangkah masuk. Didepan sana, lim kusuma duduk dibalik meja kerjanya dengan kaca mata membingkai wajah tuanya.
"Pa" panggil wisnu lihir.
"Kita ngobrol disana aja." Lim kusuma menunjuk sofa didepannya.
Wisnu mengangguk dan berjalan kearah sofa lalu mendudukkan tubuhnya.
"Kamu sudah bicara dengan istrimu?"
Wisnu tau yang dimaksud oleh ayahnya adalah nara.
"Belum pa, kemarin aku tunggu dia dirumah tapi ga pulang pulang terus pas febri ngabarin soal sop iga aku langsung pergi."
"Papa bukan pelit nu"
Wisnu mengangguk setelahnya menghela napas panjang.
"Kali ini nara udah benar benar keterlaluan. Dalam 2 minggu ratusan juta dan itu lebih dari 500 juta."
"Kamu sudah cek?"
"Sudah, tas perhiasan dan barang mewah lainnya."
Lim kusuma diam. Tak lagi berkomentar apapun bukan tidak marah tapi lebih memikirkan keadaan putra semata wayangnya. Saat ini, wisnu pasti sedang tertekan karena terlihat jelas dari matanya.
"Kalau kamu lelah lebih baik menepi dulu, papa ga mau kamu sampai sakit."
Wisnu tersenyum miris.
"Aku yang pilih jalan ini pa tapi ga nyangka aja rumitnya akan secepat ini muncul ke permukaan dan itu masih saja nara yang berulah."
"Tapi kalau kamu mau menyerah atas nara itu akan sangat disalahkan oleh orangtua istrimu. Mereka pasti akan menyerang febri nantinya."
Wisnu bungkam. Belum juga mengutarakan niat tapi sang ayah sudah tau apa yang sedang ia pikirkan.
"Pa, maaf"
Hanya itu yang mampu wisnu ucapkan.
"Tidur saja disini, kerjaan biar diurus sama yang lain."
#Happyreading
nara dan org tuanya tak benar" menganggpmu sbg bagian dri keluarga.... mereka hnya mnjadiknmu mesin uang.....
miara ular ber bisa kok betah amat wisnu....
jgn nnti bilang nyesel klo febri prgi dri hidupmu krna kmunya menye" g jelas... & msih sja mmberi nara ksempatan brbuat ulah untuk yg ksekian kalinya...
km permpuan egois... punya kekirangan tpi ttp sja g berubah tetap aja miara pola hidup buruk....
jgn salahkn suamimu bila kelak mmbuangmu nara.... suamimu jga makin lama bkalan muak dgn sikapmu yg semakin g karuan... ap lgi madumu perempuan idaman suami dan mertua...