Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Jam yang Diminta Kembali
*Authornya ngakak, tiba-tiba pihak pf mengganti covernya. Berasa kembali ke zaman Esmeralda, Rosalinda, Marimar 😭
...----------------...
Robin tak banyak bicara. Pandangannya tenang, tapi tajam, menusuk ke arah Dirli yang berdiri dengan dada membusung, seperti hendak menunjukkan siapa yang lebih tinggi kedudukannya. Suara Robin keluar dengan datar, dingin seperti bilah baja yang baru ditarik dari sarungnya.
"Ternyata, kau masih belum bisa mengajari istrimu cara berbicara dengan baik kepada ibunya?" ucapnya pelan, namun cukup jelas untuk membuat udara di sekitar mereka seakan ikut hening.
Dahi Dirli langsung mengerut. Kedua matanya menatap tajam, seperti serigala yang merasa terancam wilayahnya diambil oleh seekor anjing jalanan. Ia melipat tangannya di dada, membentuk pertahanan yang kaku, tetapi jelas terganggu.
"Lalu, apa yang kau inginkan?" ucapnya dengan nada sengit, seolah lupa bahwa ia selalu merasa ada sepasang mata memperhatikannya entah di mana.
Robin tidak menjawab. Rahangnya mengeras, tapi bibirnya tetap terkunci. Ia hanya merangkul pundak Ratna dan menariknya pelan menuju motor tuanya yang berdiri tenang di bawah cahaya temaram lampu warung.
Ratna dengan wajah bingungnya mengikuti langkah suaminya. Beberapa kali, ia menoleh ke belakang melihat Amora dan Dirli sejenak, beralih menatap pada suaminya. Ia tak tahu harus bagaimana di posisi ini.
Langkah mereka baru beberapa meter ketika Amora menyeruak, tumit sepatunya menghantam aspal seperti denting kemarahan. Tangannya terjulur, menghadang mereka pergi.
"Mau ke mana kamu?! Jangan berpura-pura bodoh! Serahkan jam itu sekarang! Mertuaku menginginkan ini. Jika kalian memang berniat memberikan mereka hadiah, harusnya kalian tinggalkan saja. Jangan PHP begitu!"
Robin berhenti, lalu perlahan menepis tangan Amora dari tangan Ratna. Bukan kasar, tapi cukup keras untuk membuat si perempuan muda itu kehilangan keseimbangan sejenak.
"Kalau saya memberikan jam itu," ucap Robin pelan, tatapannya menusuk, "Apa yang akan kalian lakukan kepada kami? Apa balasan yang bisa kau beri untuk istriku?"
Amora memucat. Ia menggertakkan gigi, tapi kata-kata tak lagi terdengar segarang tadi.
"Heh!" Dirli melangkah maju, berdiri di antara mereka. "Jangan kasar sama istri saya dong! Kau cuma tukang ojek, jangan sok berlagak!"
Robin hanya menoleh, sudut bibirnya tertarik ke bawah. "Oh ... akhirnya kau bersuara untuk membela istrimu?" Nadanya seperti racun manis. "Saya kira, selama ini lidahmu hanya bisa digunakan untuk menjilat sana-sini demi mendapatkan apa yang kau inginkan."
Seberkas amarah menyala di mata Dirli. Tanpa aba-aba, tangannya sudah mengepal dan mengarah cepat ke wajah Robin. Akan tetapi, saat kepalan itu belum sempat menyentuh kulit Robin, pergelangan tangannya telah terkunci.
Tangan Robin sudah lebih dulu bergerak. Pergerakannya cepat dan penuh perhitungan. Ini bukan lah hal yang asing di dunianya.
Robin mencengkeram pergelangan tangan Dirli seperti penjepit baja, tanpa ekspresi, tanpa suara, namun cukup untuk membuat Dirli meringis dan kehilangan keseimbangan dalam satu detik.
Dalam jarak sedekat itu, hanya deru napas pendek yang saling bersahutan, suasana panas terasa meski Ratna dan Amora hanya sebagai penonton, di sana ada emosi yang belum tumpah sepenuhnya.
Robin menatap mata Dirli yang mulai bergetar.
“Saya tak menyangka … demi sebuah jam dari orang yang kalian anggap remeh ini, kalian rela datang ke sini untuk merebutnya. Kalau kau memintanya dengan cara lebih baik semenjak awal, mungkin sudah saya berikan tanpa kalian melakukan semua ini."
"Apa kalian tak bisa menghargai manusia, meski kalian menganggap diri kalian lebih dari pada yang lain?" Sejenak Robin hening. Ingatannya jatuh pada perlakuan ibu Dirli yang memperlakukan mereka seolah tak terlihat. Hal ini membuat amarah Robin naik kembali.
Tangan Ratna perlahan meraih lengan suaminya, menggenggam erat seolah menjadi jangkar bagi amarah yang nyaris pecah. Sentuhan lembut itu membuat Robin menoleh, dan dalam sekejap, sorot matanya yang keras itu berubah seketika menjadi lebih lembut. Ia menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan pada istrinya. Ratna tak perlu mengucapkan apa pun, tetapi ia memahaminya.
Robin mengalihkan pandangan, menatap Amora dan Dirli bergantian tanpa mengatakan satu patah pun. Hanya tatapan tajam yang membuat semua merasa takut.
Lalu, ia mengambil helm dari kursi belakang motornya, menyerahkannya pada Ratna dengan lembut. Ratna menerimanya dan segera mengenakannya tanpa banyak bicara.
Tanpa pamit, tanpa sepatah kata pun, Robin menyalakan mesin motor. Deru knalpotnya memecah ketegangan yang masih menggantung di udara.
Dan begitu saja, sepasang suami istri tua yang mungkin tak punya apa-apa, tapi tahu benar bagaimana cara untuk menjaga harga diri.
Sementara itu, Amora dan Dirli berdiri terpaku di tempat, hanya bisa hening memperhatikan motor itu yang terus menjauh.
.
.
.
Keesokan pagi, Robin kembali mengantar istrinya ke warung kopi. Di sana telah berkumpul para driver yang kalau tak salah lagi atas suruhan Dirli.
Kepala Robin berputar mencari orang itu. Akhirnya ia menemukan keberadaan Dirli yang bersandar pada mobil yang kini tampak menggunakan kendaraan yang dipinjamkan oleh perusahaan.
Robin tersenyum sinis. Dia telah memiliki rencana terhadap Dirli.
Dirli menyadari keberadaannya diketahui oleh Robin. Ia mengalihkan pandangan sambil bersiul.
'Entah kenapa, Pak tua itu membuat gue takut ya?'
Dirli melirik sejenak, ternyata Robin masih memperhatikannya.
"Ck!" Dirli berdecak dan akhirnya memilih masuk ke dalam kendaraan perusahaan untuk mengelak dari tatapan Robin.
Ratna telah selesai membuka rolling door warung kopinya. Ia menatap sang suami berdiri menatap sesuatu yang tak tahu apa. Ia segera mendekat menarik Robin untuk masuk.
"Ayo, bantu aku," ajaknya tanpa meminta.
Lalu, Robin sedikit tersentak mengingat sesuatu. Saat Ratna masih berada di dalam kamar mandi tadi, Wirya mengatakan bahwa ada seseorang yang tadi menghubunginya. Ia harus ke kantor pagi ini juga.
'Bagaimana ini? Pagi ini aku tak bisa menemaninya,' batin Robin berjalan sedikit tertahan. Akan tetapi banyak sekali driver suruhan Dirli yang sudah menanti.
Setelah Ratna masuk dapur, Robin mengintip aktivitas yang dilakukan istrinya. Ratna baru saja menyalakan api untuk merebus air. Dengan mengendap, ia pergi meninggalkan warung itu.
"Mau ke mana Pak Tua?" ucap seorang yang berkacak pinggang di hadapannya.