Series #1
•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••
Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.
Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 : Penjara Tanpa Pembebasan
...•••Selamat Membaca•••...
Hari itu mereka bangun lebih pagi. Tujuan kali ini adalah Yerusalem Timur. Sofia ingin menunaikan salat di Masjid al-Aqsa. Maula, yang Katolik, ingin melihat Gereja Makam Kudus—tempat Yesus dimakamkan sesuai dengan yang diyakini. Dua keyakinan, satu kota. Tapi bagi warga Palestina, tak semudah itu sampai ke sana.
Yerussalem adalah milik Palestina, namun dunia mengakui bahwa itu milik Israel.
Pukul lima pagi, mereka tiba di checkpoint Qalandia. Di sana, waktu bukan milik siapa pun.
Barisan manusia sudah mengular di antara pagar-pagar besi yang sempit dan tinggi, seperti kandang raksasa. Mereka berdiri tanpa suara, membawa tas kecil, roti lapuk, dan doa yang entah masih didengar atau tidak.
Maula berdiri di antara seorang ibu tua yang membawa foto cucunya dan seorang pria muda dengan tangan palsu.
Di atas mereka, speaker menggelegar, “Tunggu giliran. Tunjukkan ID. Jangan bicara.”
Sofia menggenggam paspornya. Warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat memerlukan izin khusus untuk masuk ke Yerusalem. Banyak yang ditolak tanpa alasan. Di sisi lain, Maula sebagai warga Indonesia yang menjadi mahasiswi di Madrid, Spanyol hanya perlu menunjukkan paspor dan senyum.
Satu jam.
Dua jam.
Tiga jam.
Pintu besi terbuka sedikit, lalu tertutup lagi. Tak ada penjelasan. Seorang lelaki muda mencoba bertanya kepada tentara di balik kaca, dan dijawab dengan moncong senapan yang terangkat pelan.
“Kenapa kita di sini?” bisik Maula.
Sofia menatapnya. “Karena kita ingin berdoa.”
“Tapi ini… seperti kandang manusia. Sofia.”
“Bukan seperti. Ini memang kandang. Lihatlah bagaimana sulit untuk masuk ke sini.”
Akhirnya, Sofia ditolak. Izin relawan tidak berlaku hari itu, tanpa alasan. Maula diperbolehkan masuk tapi ia tidak pergi karena mereka menatap liar ke arah Maula.
“Aku tidak mau melangkah di tanah suci jika kamu tidak bisa masuk,” katanya.
“Kau boleh masuk Nona, kami juga bisa mengantarkan kamu ke tempat yang kau mau.” Salah seorang tentara mengelus lengan Maula, dengan gerakan cepat. Maula memelintir tangan penjaga itu sehingga beberapa moncong pistol dari penjaga lain mengarah padanya
Sofia menahan air mata dan menarik Maula.
“Sudah, tidak perlu cari masalah dengan mereka. Kita kembali.” Sebelum pergi, Maula meludahi mereka terlebih dahulu.
Mereka kembali ke Hebron sore itu dalam diam, melewati dinding pemisah setinggi delapan meter yang dipenuhi grafiti wajah-wajah menangis, burung merpati terikat rantai, dan tulisan besar dalam bahasa Inggris. “To exist is to resist.”
Malam itu, Sofia shalat dalam diam. Sementara Maula menatap dinding kamarnya. Ia membuka Alkitab kecilnya dan membaca Mazmur: “Aku berseru kepada-Mu dalam kesesakan, dan Engkau menjawab aku dari tempat yang luas.”
Tapi Hebron bukan tempat yang luas. Ia sempit, dicekik oleh tembok, senjata, dan sunyi yang dipaksakan.
Maula menulis dalam catatan kecilnya.
[Hari ini aku tak jadi melihat Gereja Makam Kudus. Tapi aku melihat makam kemanusiaan yang dikubur di bawah pos tentara, di balik sensor retina, dan gerbang besi. Jika Tuhan ada, aku yakin Ia tidak tinggal di kota tua Yerusalem. Ia sedang menangis bersama mereka yang tak bisa menyeberang ke sana. Bahkan bagi para muslim, untuk bersujud di al-Aqsa begitu sulit. Allah, tidakkah Kau dengar jeritan hamba-Mu?]
Sofia menutup tirai jendela kamar. “Besok kita kembali ke klinik. Raneem demam lagi.”
Maula mengangguk. Tapi hatinya berat. Karena hari itu, ia tak hanya merasa marah tapi ia merasa malu. Atas paspornya. Atas hak istimewa yang tak adil. Dan atas dunia yang membiarkan semuanya berlangsung.
...***...
Hari berjalan begitu saja, Sofia sangat ingin menuju ke Gaza, tanah kelahirannya.
Untuk masuk ke Gaza bukan perkara mudah. Mereka harus menunggu izin dari organisasi kemanusiaan internasional selama hampir satu minggu. Perjalanan dilakukan lewat Rafah, perbatasan selatan yang dijaga ketat Mesir. Lewat Erez—checkpoint utara—mustahil bagi warga non-Yahudi tanpa surat khusus dari otoritas Israel.
Hari ke-15 sejak mereka mendarat di Palestina, izin itu turun. Sebagai relawan medis dan jurnalis independen, mereka boleh masuk. Tapi dengan syarat: tidak boleh memotret pos militer, tidak boleh berinteraksi dengan kelompok bersenjata, dan hanya diizinkan tinggal selama 48 jam.
Ketika mereka tiba di Gaza, waktu seperti berhenti.
Bangunan-bangunan hancur berdiri seperti rangka besi yang menyayat langit. Jalan-jalan tak lagi rata. Asap tipis masih naik dari puing yang terbakar.
Di sisi kanan, Maula melihat sebuah taman kanak-kanak yang telah rata dengan tanah, hanya ayunan besi yang tersisa—berayun pelan ditiup angin. Dan dari bawah reruntuhan itu, mainan-mainan penuh debu masih bisa terlihat: boneka tanpa kepala, bola sobek, buku meleleh karena terbakar.
Tak ada suara ledakan hari itu, tapi diamnya lebih mengerikan. Di balik reruntuhan, dia juga melihat seorang anak dengan wajah lelah bernaung menghindari terik matahari.
Cuaca saat itu sangat panas, Maula mendekat lalu mengulurkan tangannya. Anak itu menyambut dan keluar dari naungan. Maula memberikan dua bungkus roti, dengan lahap, dia memakan sepotong roti lalu menyimpannya.
“Kenapa di simpan, habiskan saja,” ujar Maula.
“Ini untuk adikku, dia pasti kelaparan. Dan yang satu roti utuh ini untuk makan besok.” Maula memeluk anak perempuan kecil itu, begitu teriris dirinya mendengar.
Maula dan Sofia mengeluarkan roti-roti mereka dan memberikannya pada anak tersebut. Beberapa anak berdatangan, mereka sama sekali tidak berebut, justru membagi makanan dengan sama rata lalu mengucapkan hamdalah berulang kali.
“Aku tidak kuat, Sofia.”
Sepasang mata indah seorang pria berjas putih menatap hal mengharukan itu dari kejauhan. Bibirnya menyunggingkan senyum dan berkata lirih, “Maula, sayangnya Mr. Leo tidak bisa melihat jiwa kemanusiaanmu. Kau pembunuh, psikopat tapi masih memiliki hati yang luas.”
...***...
Di kamp pengungsian Jabalia, mereka bertemu Laila, 32 tahun, ibu dari lima anak. Rumahnya hancur total seminggu lalu. Suaminya hilang, diduga terkubur di bawah reruntuhan blok apartemen atau malah menjadi sandera Israel.
“Aku belum bisa menangis,” katanya pada Sofia, yang sedang membantu membalut luka di kaki anak bungsunya. “Kalau aku menangis, mereka pikir aku lemah. Padahal aku ibu. Aku harus berdiri.”
Satu dari lima anaknya, Kareem, 7 tahun, belum bicara sejak ledakan. Ia hanya menggambar. Di satu lembar kertas, Maula melihatnya menggambar laut. Dan di tengah laut itu, tubuh-tubuh kecil mengambang.
Laut yang harusnya berwarna biru, kini malah dilukis dengan warna merah bak lautan darah.
“Dia suka berenang dulu,” bisik Laila. “Sebelum pantai dipenuhi ranjau dan kapal perang.”
Sore itu, mereka menyusuri jalanan Gaza City yang penuh kawat listrik bergelantungan, bau mayat samar tercium dari reruntuhan. Tak semua tubuh bisa diangkat—terlalu berbahaya, terlalu dalam, atau terlalu banyak.
Maula merekam suara-suara, bukan video. Ia tahu wajah bisa dipalsukan. Tapi jeritan, tangisan, dan doa yang setengah patah—itu nyata. Suara tak bisa dibohongi.
“Aku akan buat dunia mendengar suara ini,” gumamnya lalu menyimpan alat rekaman itu di dalam tas tangan yang dia bawa.
Di klinik lapangan Al-Shifa, seorang dokter Palestina yang tak tidur selama 48 jam bertanya pada mereka, “Kalian akan menulis ini semua, kan? Akan kalian ceritakan?”
Sofia menjawab lirih, “Kami akan sampaikan. Tapi kami tak bisa menjanjikan dunia akan mendengar.”
Dokter itu tertawa kecil, letih. “Sudah biasa. Dunia hanya mendengar yang mereka inginkan.”
“Aku yang akan menceritakannya, aku akan buat dunia mendengarkannya. Aku tidak berjanji tapi akan aku usahakan.” Maula berkata penuh dengan keyakinan.
Dokter itu menceritakan apa yang terjadi selama penyerangan bertubi-tubi di Gaza. Begitu banyak nyawa tak bersalah mati dalam reruntuhan dan ledakan. Ibu harus kehilangan anak, anak kehilangan orang tua, orang tua kehilangan harapan dan bayi kehilangan asupan.
Rumah-rumah dihancurkan, tentara mereka tak henti untuk melindungi dengan segenap kemampuan. Walau jumlahnya tak sebanyak Israel, tapi tekad mereka cukup besar tanpa mengenal takut kematian.
Maula mencatat dan merekam suara dokter itu.
Malam pertama di Gaza, Maula tidak tidur. Tak bisa.
Di luar tenda, suara drone masih menggeram di langit.
“Gaza bukan lagi kota. Ia adalah liang besar yang dihuni oleh orang-orang yang menolak mati. Anak-anaknya tumbuh tanpa mimpi, bukan karena tak mau bermimpi... tapi karena tak pernah tahu bagaimana rasanya aman untuk bermimpi. Gaza bukan kota hantu. Ia kota tanpa langit. Karena langitnya penuh mesin kematian.” Maula mengusap air mata yang jatuh ke pipi.
Dan untuk pertama kali sejak ia datang ke tanah ini, Maula tidak merasa dirinya relawan. Ia merasa pendosa karena ia bisa keluar hidup-hidup. Karena ia akan pulang ke rumah. Sementara mereka akan tetap di sini—di antara debu, sunyi, dan doa yang dibiarkan layu oleh dunia.
Sungguh indah rencana Tuhan memilih penduduk surga-Nya.
...•••Bersambung•••...