Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 24: Notaris Beracara
Hari ini aku berdiri di tengah-tengah ruang sidang untuk memberikan kesaksian terkait kasus bisnis judi sabung ayam di Desa Arga Mulya. Untuk yang kesekian kalinya, aku harus berhadapan lagi dengan hakim tua yang wajahnya berhiaskan bekas luka sayatan ini.
Di sebelah kiri dan kananku, terdapat jaksa penuntut umum serta kuasa hukum dari Daniel Cahyadi dan Martin Setiadi. Selain itu, ketiga anak magangku—Michelle, Tahsya, dan Meilani—juga hadir di ruang sidang ini untuk menonton kesaksianku di hadapan para majelis hakim.
Setelah melafalkan sumpah yang sama seperti sebelumnya, hakim tua itu kemudian memberikanku kesempatan untuk bersaksi di hadapan mereka. Aku lalu menjelaskan segala hal yang terjadi secara terus terang, bahwa aku hanya melayani Daniel dan Martin atas dasar profesionalisme seorang notaris saja.
“Jadi saudara melayani mereka berdua atas dasar pekerjaan saja, begitu?” Tanya sang hakim tua sambil memberikan sorot mata yang tajam ke arahku.
“Benar, Yang Mulia.” Jawabku singkat, sambil sedikit mengangguk.
“Apakah saudara mengetahui bahwa bisnis milik terdakwa Daniel Cahyadi dan Martin Setiadi adalah judi sabung ayam?” Tanyanya lagi dengan sorot mata yang lebih tajam.
“Awalnya saya tidak mengetahuinya, Yang Mulia. Sebab, dalam dokumen perjanjian mereka, tidak tertera secara spesifik mengenai bisnis yang mereka jalankan.” Balasku dengan tenang, sambil menunjukkan salah satu klausul yang ada di dalam dokumen perjanjian bisnis milik Daniel dan juga Martin.
“Namun, setelah melakukan kunjungan untuk memenuhi undangan terdakwa, barulah saya mengetahui bahwa ternyata bisnis yang mereka jalankan adalah arena judi sabung ayam.” Tambahku sambil mengaitkan kedua tangan di belakang pinggul.
Sang hakim tua itu pun mengangguk pelan, sambil mengetuk meja beberapa kali menggunakan jari telunjuknya yang berhiaskan cincin batu akik itu.
“Mengapa saudara Nael memutuskan untuk mengunjungi tempat bisnis milik terdakwa waktu itu?” Setelah hening selama beberapa saat, sang hakim tua itu kemudian melontarkan sebuah pertanyaan lagi kepadaku.
“Kebetulan waktu itu saya ingin berlibur ke Lembah Kencana untuk menghilangkan stres pekerjaan. Jadi, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi para terdakwa yang lokasinya tidak jauh dari tempat saya berwisata.” Aku menjawab dengan nada yang tenang serta meyakinkan.
“Lalu, setelah saudara mengetahui kenyataan dibalik bisnis yang dijalankan oleh terdakwa, mengapa saudara tidak melaporkannya pada pihak kepolisian?” Wah, pertanyaan beliau yang satu ini rasanya kayak memojokkan, ya. Bahkan, aku bisa merasakan ketiga anak magangku sedang berbisik khawatir di belakang. Tapi, pertanyaan seperti ini sebenarnya cukup dijawab dengan kejujuran saja.
“Itu karena saya melihat para penduduk Arga Mulya cukup diuntungkan dengan adanya arena judi sabung ayam ini. Aspal jalan desa menjadi lebih mulus setelah dilakukan perbaikan dengan menggunakan uang hasil pendapatan milik Daniel dan Martin. Selain itu, para warga desa juga bisa berdagang di sekitar arena untuk mendapatkan penghasilan tambahan.” Aku menjelaskan alasanku dengan penuh kejujuran.
“Begitu, ya.” Respon sang hakim singkat, sambil menunjukkan senyuman yang terasa penuh kelegaan serta kepuasan di baliknya.
Setelah hakim tua itu merasa puas dengan kesaksianku, beliau kemudian memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum serta kuasa hukum Daniel dan Martin untuk menyampaikan pertanyaan mereka kepadaku. Namun, kedua belah pihak sepertinya juga sudah puas dengan kesaksian yang aku berikan.
...***...
Setelah persidangannya selesai, aku dan ketiga anak magangku kemudian pulang dengan membawa beberapa bungkus batagor untuk disantap di kantor. Sepanjang perjalanan pulang, mereka bertiga tiada henti-hentinya menyampaikan kekaguman terhadap kesaksianku tadi. Padahal, kesaksian semacam itu adalah sesuatu yang biasa terjadi di pengadilan. Yah, wajarlah, ya, mereka ini kan mahasiswa hukum yang masih minim pengalaman.
Saat sudah berada di kantor, kami berempat pun menyantap batagor dengan lahap sambil ngobrolin sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Kami saling bertukar pendapat satu sama lain mengenai kasus-kasus viral yang terjadi akhir-akhir ini. Namun, entah bagaimana obrolan kami malah bermuara pada Felicia, mendiang istriku sendiri.
Aku yang terhanyut dalam arus obrolan secara tidak sadar telah menceritakan berbagai hal mengenai mendiang istriku itu. Ketiga anak magangku juga terlihat mendengarkan cerita tersebut dengan binar mata yang penuh antusias. Sesekali mereka juga terlihat kagum ketika aku menceritakan betapa gemilangnya karir Felicia saat masih bekerja sebagai penasehat hukum di salah satu perusahaan internasional.
“Pak Nael, boleh aku nanya sesuatu?” Ucap Tahsya sambil mengangkat tangannya dengan penuh semangat.
“Boleh, dong. Mau nanya apa emangnya?” Balasku memberikan kesempatan kepada Tahsya untuk menyampaikan pertanyaannya.
“Apa yang anda rasakan waktu istri anda meninggal?”
“Hush! Pertanyaan macam apa itu? Jelas Pak Nael merasa sedih, dong!”
Sesaat setelah Tahsya menyampaikan pertanyaannya, Michelle dengan cepat menegur sambil menepis pundaknya hingga membuat potongan pangsit yang hendak disantap oleh Tahsya terjatuh ke meja.
“Ih, apaan, sih! Kan aku cuma kepo aja!”
“Iya, tapi kan nggak sopan kalau nanya kayak gitu!”
“Sudah, sudah, jangan ribut gitu, dong”
Dengan nada malas, aku melerai pertengkaran mereka berdua yang semakin memanas itu. Sesaat kemudian, mulut Michelle dan Tahsya langsung tertutup rapat begitu saja. Aku sampai dibuat menghela napas panjang dengan kelakuan mereka berdua.
“Benar apa yang dikatakan oleh Michelle bahwa aku merasa sangat sedih atas kepergian istriku.” Ucapku dengan nada datar untuk menjawab pertanyaan Tahsya. “Tapi, ada satu hal lagi yang terjadi padaku akibat kematian Felicia.” Aku kemudian mengeluarkan botol obat anti halusinasi milik dr. Sofia, lalu meletakkannya di atas meja.
“Obat apa ini, Pak Nael?”
“Obat apa ini?”
Tanya Michelle dan Tahsya dengan serentak.
“Setelah kematian Felicia, aku mengalami depresi berat hingga hampir gila karena halusinasi. Obat inilah yang membuat kewarasanku tetap terjaga sampai sekarang.”
...***...
Saat jam sudah menunjukkan pukul empat sore, Michelle, Tahsya, dan Meilani kemudian pulang menuju rumah masing-masing. Aku akhirnya bisa menikmati momen kesendirian sejenak setelah melalui hari yang lumayan panjang.
Ngomong-ngomong, tadi itu adalah sebuah momen langka dimana aku menceritakan mengenai masalah pribadiku secara panjang lebar kepada orang lain. Biasanya, aku sangat enggan untuk menceritakan masalah pribadiku, bahkan kepada orang-orang terdekat seperti Felix, Alvie, dan juga Eka.
Satu-satunya orang yang bisa kuajak bercerita adalah mendiang istriku sendiri. Namun, kali ini aku malah bercerita kepada tiga anak magang itu yang sebenarnya nggak punya kaitan sama sekali dengan masalah pribadiku.
*Brakkk* “Yo, Nael! Lagi santai aja, nih?”
Saat aku lagi rebahan di sofa ruang tunggu, tiba-tiba Felix dan Lina datang berkunjung ke rumahku. Hadeh… Hilang sudah waktu menyendiriku yang berharga.
“Kau ini selalu datang di saat aku baru aja dapat waktu istirahat, ya.” Ucapku dengan nada yang agak sebal, sambil perlahan mengambil posisi duduk di atas sofa.
“Hahaha, maafkan soal itu.” Ucap Felix sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. Dia kemudian duduk di seberangku, sementara Lina duduk tepat di sebelahnya. “Ngomong-ngomong, bagaimana anak-anak magang dari fakultasku?” Tanya Felix basa-basi dengan nada yang antusias.
“Ah, mereka punya performa yang sangat bagus. Kalau kau menempatkan mereka di posisi yang tepat, aku jamin pekerjaanmu akan selesai dengan waktu yang jauh lebih cepat.” Jawabku dengan nada datar sambil menatap ke arahnya.
“Wah, senang mendengarnya!” Balas Felix dengan senyuman yang menyeringai di wajahnya.
“Ngomong-ngomong, kalau Lina sampai ikut datang ke sini, itu artinya kalian mau minta ubi manis dari kebunku, kan?” Aku langsung mengalihkan pembicaraan dengan menebak tujuan mereka datang ke sini.
Mendengar hal itu, Lina pun ikut tersenyum yang mengisyaratkan bahwa tebakanku seratus persen benar. Aku pun menghela napas panjang sambil menatap ke arah Felix yang cengengesan, serta Lina yang sudah tertangkap basah secara bergantian.
“Hadeh… Padahal kalian ini sama-sama punya banyak duit, tapi kenapa malah hobi banget minta hasil kebun orang lain.” Gumamku dengan nada yang terdengar agak judes.
“Hey, ayolah, bukannya lebih baik kalau kita meminimalisir pengeluaran sebanyak mungkin? Selain itu, ubi-ubi manis di kebunmu itu juga bakal busuk, lho, kalau nggak segera dipanen.” Yah, apa yang dikatakan Felix ada benarnya juga, sih. Bakal sayang banget kalau ubi manis di kebun belakang jadi nggak bisa dimakan karena telat panen.
Aku kemudian beranjak dari sofa, lalu berjalan menuju kebun belakang.
“Kalau gitu, cepat ambil cangkulmu dan bantu aku untuk memanennya.” Pintaku kepada Felix sambil terus berjalan menuju kebun belakang.
“Baiklah!”