Siapa sangka moment KKN mampu mempertemukan kembali dua hati yang sudah lama terasa asing. Merangkai kembali kisah manis Meidina dan Jingga yang sudah sama-sama di semester akhir masa-masa kuliahnya.
Terakhir kali, komunikasi keduanya begitu buruk dan memutuskan untuk menjadi dua sosok asing meski berada di satu kampus yang sama. Padahal dulu, pernah ada dua hati yang saling mendukung, ada dua hati yang saling menyayangi dan ada dua sosok yang sama-sama berjuang.
Bahkan semesta seperti memiliki cara sendiri untuk membuat keduanya mendayung kembali demi menemui ujung cerita.
Akankah Mei dan Jingga berusaha merajut kembali kisah yang belum memiliki akhir cerita itu, atau justru berakhir dengan melupakan satu sama lain?
****
"Gue Aksara Jingga Gayatra, anak teknik..."
"Meidina Sastro Asmoro anak FKM, kenal atau tau Ga?"
"Sorry, gue ngga kenal."
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bibit awan cumulonimbus
Bukan perkara mudah menjadi Jingga, dan memang benar katanya, susah sekali berduaan disini dengan Mei makanya ia selalu mencuri-curi waktu.
"Ini dipasang disini kuat kan ya, pak?" Jovi cukup ragu dengan keputusannya.
"Mudah-mudahan a, kalo udah di pasang bener insyaAllah kuat." Jovi mendongak demi melihat langit yang gerang benderang, "mudah-mudahan ngga hujan dulu deh."
"Terang benderang gini masa hujan, Jov..." Mei turut memperhatikan langit dengan mendongak.
"Biasanya kan begitu kalo pagi-pagi udah panas banget, siang apa sorenya suka hujan. Apalagi kayanya sekarang cuaca ngga tentu ya pak..." Jovi melemparkan obrolan pada warga yang membantu.
Sementara Mei, ia telah selesai membuatkan kopi untuk mereka.
"Nuhun teh..." terima mereka.
"Sawangsulna bapak..." angguk Mei membuat Jovi melirik ke arahnya, "apaan tuh?"
"Sama-sama." Kekeh Mei.
"Lo paham Mei?"
"Gue pernah tinggal di Bandung 2 tahun, Jov."
"Oh gitu, teh? Dimana dupi linggihna?" tanya salah seorang bapak. Dan obrolan dengan topik riwayat hidup Mei di Bandung pun menjadi pembahasan hangat mereka sambil mengerjakan kincir air yang mengalir seperti arus air di bawah sana.
"Sungai disini mah enak ya pak, masih jernih...airnya dingin banget." Akui Mei turun dan mencelupkan kaki-kaki putihnya diantara bebatuan dan sungai yang dangkal.
Jingga masih sibuk dengan ponselnya, dimana tadi Maru menelfon...disusul oleh Mahad lalu pak Sulaeman yang mengatakan akan melakukan kunjungan program kkn minggu besok.
"Siap pak, wa'alaikumsalam." Jingga menutup panggilan dan menghampiri kerumunan, "Jo, gue mesti nyamperin dulu Maru sebentar." Jingga memakai kembali jas miliknya dengan kaos dalam yang telah dibasahi keringat sebab sempat membantu Jovian.
"Aku ngga ikut ya, Ga. Disini aja bareng Jovi sambil nunggu paket." Ujar Mei, "lututku masih ngilu lewatin jembatan goyang tadi," kekehnya.
Jingga mengangguk dalam kernyitan matanya, silau karena matahari sedang getol-getolnya bikin para penghuni bumi gosong, ia menghampiri Mei dan memintanya naik sebentar, "kamu ngga bawa topi?"
"Lupa." Geleng Mei.
Lantas Jingga membuka topi miliknya dan memasangkan di kepala Mei, "agak basah dikit, ngga apa-apa ya? Nanti telfon aja...kalo paketnya udah sampai, aku jemput kesini atau nanti aku yang ambilin."
Mei mengangguk lagi setelah Jingga dengan manisnya memasangkan topi miliknya di kepala Mei, sedikit basah oleh keringat tapi masih cukup harum shampo yang Jingga pakai.
Jovi menggeleng geli dengan sikap Jingga yang menurutnya so romantis itu.
"Jov," pamitnya.
"Bapak...bapak..."
"Mangga a," balas mereka. Jingga berjalan setengah buru-buru ke arah motornya terparkir, kemudian melajukan motornya menjauh dari sana.
Jovi benar-benar penasaran dengan hubungan keduanya. Selama di kampus mengenal pribadi Jingga, hanya ia lah teman yang memang tak tersentuh urusan pribadinya, apalagi masalah asmara.
Jingga seolah menutup rapat kehidupan asmara dan isi hatinya dari teman-teman kampus termasuk dirinya dan Arlan. Bahkan, Jovi sempat tak percaya, saat menemukan sosok berbeda Jingga yang begitu gencar, agresif dan posesif terhadap Meidina, anak fakultas FKM yang notabenenya tak pernah bersinggungan sama sekali di kampus, sungguh aneh!
Ingin rasanya Jovi mengorek informasi dari Meidina, namun melihat kondisi sekarang, dimana ada orang lain diantara mereka, membuat Jovi mengurungkannya.
"Jov, gue potoin dari angle sana ya..."
"Oke, tapi hati-hati..."
"Hati-hati teh, takut licin." Pun, dengan bapak-bapak itu mewanti-wanti Mei.
"Oke." Dering ponsel Mei berbunyi saat Mei mencoba berpijak diantara batu-batu sungai demi memotret Jovian. Bersama hembusan angin yang semakin kencang menerpa Mei, "bentar-bentar ada yang telfon." teriak Mei.
"Hallo kang? Oke----oh gitu, aduh maaf jadi repotin----Nanti saya ganti uangnya-----eh engga apa-apa---jangan gitu kang----Iya----saya..." Mei menjeda ucapannya melihat tempatnya berada untuk sejenak lalu kembali bicara, "di sungai kang. Yang kalo dari sana arah kanan---Iya deket lahan sawah..."
Jovi melihat gelagat Meidina yang sedang bertelfon ria meski fokusnya terbagi dengan pekerjaan.
"Eh, padahal ngga usah nanti saya ambil---hallo?---Eh...mati hape gue."
"Kenapa Mei? Siapa?" tanya Jovi menggetok-getok paku.
"Kang Hamzah, Jov...dia bilang kebetulan lagi di bale desa, ada kurir paket dari pos dateng buat anter paket gue...dia yang terima dia juga yang bayar, duh gue jadi enak..." kekeh Mei ditertawai Jovi, "sarav." Umpatnya pelan.
"Terus?"
"Terus hape gue mati. Belum sempet fotoin lo sama bapak-bapak."
"Pake hape gue nih, ntar gue yang kirim ke Zal atau Arlan." Ujar Jovi membuat Mei harus berjalan menyusuri bebatuan demi mengambil ponsel Jovi dan kembali ke tempatnya lagi.
"Hati-hati." Ucap Jovi, kepeleset dikit, luka...sungai Widya Mukti auto berubah jadi sungai da rah nantinya. Dan badai akan menerjang desa ini.
"Oke...apa passwordnya?"
"Tanggal lahir emak gue." Jawab Jovi seenteng itu.
Mei tertawa, "lah dasar oon, ya mana gue tau!"
Bapak-bapak itu turut tertawa sejenak mendengar keduanya mengoceh, Jovi mendiktekan password ponselnya hingga wallpaper ponsel terbuka.
Wush... terpampang jelas di depan Mei membuat gadis itu terkikik sejenak melihatnya, "astaga.. Lebih parah dari Alby sih ini..."
"Jangan cepu, Mei...ini karena gue percaya lo, ya...makanya gue kasih."
Mengesampingkan wallpaper red velvet bersisian dengan JKT 48 dengan gaya manisnya para gadis girlband itu Mei memotret Jovian dan bapak-bapak diantara pengerjaan kincir airnya dalam tawa yang ditahannya.
Jovi memang benar, karena semakin tergelincirnya matahari, terik itu kini dibarengi oleh awan mendung yang mulai datang dari ujung timur desa meski hal itu tak kentara dan tak disadari oleh mereka.
Suara deru mesin motor KLX menyamai derasnya aliran sungai Widya Mukti, menatap dengan mata menyipitnya ke arah segerombol kecil orang-orang yang tengah membangun kincir air.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, kang..." sapa mereka, Jovi dan Mei sempat saling melempar tatapan, namun kemudian Jovi menyadarkan dirinya untuk menyapa ramah, "eh, ada kang Hamzah....sehat kang?!" sungguh pertanyaan yang tak perlu menurut Mei.
"Wah, sudah dirakit ya kincir nya...hebat lah kang Jovi sama bapak-bapak, nanti kedepannya mungkin bisa melakukan perubahan besar buat Widya Mukti." Pujinya, sebuah kemampuan verbal yang patut disanjung, terlebih telah ia asah melalui pasien-pasiennya.
"Teh, ini barang punya teh Meidina..." kang Hamzah menenteng tas kresek putih ciri khas distro ternama meski isinya adalah barang pesanan Mei.
"Oh," Mei lantas mengeluarkan lipatan uangnya dari saku dan menyodorkan itu pada Hamzah.
Tentu saja pria itu menolaknya, "eh apa? Ngga usah. Itu juga kan buat warga Widya Mukti...ngga apa-apa."
Mei menggeleng, "jangan kang. Itu barang pesanan saya."
Jovi turun sejenak dengan keringat yang telah banjir, "udah biar aman duitnya buat gue kalo pada ngga mau."
Mei menarik dan menepis tangan Jovi, "enak aja."
"Oke gini aja, nanti kalau kang Hamzah butuh bisa bilang saya...saya simpan dulu ya."
Hamzah mengehkeh mendengus, "santai aja teh."
Mei menerima itu, "kalo gitu gue mesti telfon Jingga, Jo...mau bilang kalo paket udah dianter kang Hamzah. Tinggal dikasiin ke Arika."
Mei baru saja ingin meminjam kembali ponsel Jovi, namun kang Hamzah sudah bersuara kembali, "kalo gitu biar sekalian bareng aja sama saya teh, kebetulan banget saya mau cek kondisi Arika..." ujarnya.
"Wah bahaya..." Jovi menggumam pelan sembari meneguk minumnya.
Sempat Mei menolak namun saat Kang Hamzah menunjukan kumpulan awan cumulonimbus di atas mereka, keyakinannya goyah.
"Takut keburu hujan, sekalian saya juga ada kunjungan kesehatan buat Arika, saya perlu riwayat kesehatan, dan kondisi biar nantinya bapak bisa kasih bantuan prioritas untuk Arika sekeluarga."
Mei sempat menatap Jovi sebentar, meminta sarannya, dimana lelaki itu justru semakin membuat Mei bingung, "ya udah ngikut aja Mei, ntar gue bilang sama Jingga kalo lo bareng sama kang Hamzah ke rumah Arika. Daripada ntar keburu hujan kalo nungguin Jingga. Lagian si Jingga kayanya lagi sibuk sama tim proker lain juga, kesian dia...sibuk banget."
.
.
.
.
si arlan temenya setan 🤣🤣🤣