Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.
"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.
Aku memandang putri sulungku tersebut.
"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.
Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEUANGAN SEMAKIN MENIPIS
Aku berusaha untuk tidak memikirkan kekurangan uang kayu yang tidak dibayarkan oleh Hasna. Tapi entah mengapa aku masih saja kepikiran. Aku sudah menurunkan harga kayu untuk Hasna. Untuk kekurangan uang, aku juga sudah cukup berusaha bersabar untuk menunggu, tapi ternyata aku diperlakukan seperti ini. Aku sudah menderita kerugian sebesar dua juta rupiah. Mungkin buat Hasna, uang dengan jumlah satu juta rupiah, itu merupakan nominal yang kecil. Tapi bagiku, itu nominal yang sangat besar dan berguna sekali. Untuk mencoba mengikhlaskan uang tersebut, entah mengapa rasanya begitu susah. Tapi aku tetap akan berusaha untuk mengikhlaskan karena akan tetap percuma saja bila kukatakan hal ini pada Hasna. Malah hanya akan menimbulkan pertengkaran diantara kami.
Uang untuk pendidikan kelas Tujuh untuk Zahrana juga semakin menipis karena hingga saat ini aku juga belum mendapatkan pekerjaan yang tetap. Aku sangat pemilih dalam hal pekerjaan. Alasan bukan karena aku tidak betah, apa atau apa. Tapi karena aku memiliki tanggungan untuk mengasuh anakku. Banyak sekali informasi lowongan pekerjaan, tapi apakah boleh membawa anak ke lokasi pekerjaan? Sudah bisa ditebak. Jawabannya pasti tidak boleh membawa anak karena akan menggangu kinerja seseorang ditempat kerja.
Aku berusaha untuk tidak memikir kedua hal tersebut saat ini karena aku memikirkan persiapan tes masuk Zahrana ke sekolah X yang akan diadakan hari ini. Aku bangun lebih pagi untuk menyiapkan seluruh persiapan tes Zahrana, baik buku, peralatan tulis dan kutanyakan pada Zahrana bila ada sesuatu yang kurang. Tak lupa aku juga menyiapkan sarapan dan bekal untuk kedua balitaku selama Zahrana mengikuti tes.
"Mbak, sarapan dulu sebelum ujian. Biar nggak lapar saat mengerjakan soal," perintahku pada Zahrana.
"Iya bu."
Tes akan diadakan pada pukul delapan pagi. Berhubung perjalanan dari rumah ke sekolah X butuh waktu kurang lebih empat puluh lima menit perjalanan, aku berangkat pukul setengah tujuh pagi. Jalan yang dilalui untuk menuju ke sekolah X melewati sawah dan area tegalan (ladang). Sepertinya sangat enak bila mengendarai sepeda motor dengan agak pelan sambil menikmati suasana pagi yang masih memiliki udara yang lumayan sejuk.
Sesampainya di sana, aku turun dari motor dan memarkirkan motor di tempat yang tersedia. Kemudian aku menghampiri pak satpam yang tengah berjaga di pos satpam.
"Pak, maaf mengganggu. Mau bertanya. untuk tes jalur keagamaan di ruang mana ya pak?" Tanyaku pada pak satpam
"Oh, disana bu. Di ruang komputer lantai dua," jawab pak satpam.
"Matur nuwun (terima kasih) infonya," jawabku sambil menganggukkan kepala.
Bergegas aku berjalan menuju ke arah ruang komputer di lantai dua sembari menggandeng kedua balitaku. Aku meminta Zahrana untuk masuk dan memberitahunya aku menunggu di lapangan dekat sekolah X.
Sebelum Zahrana masuk kelas, aku berpesan padanya.
"Saat mengerjakan soal tidak usah terburu-buru. Kerjakan dengan teliti," pesanku pada Zahrana yang ditanggapi dengan anggukan.
Pak Satpam tampak menghampiriku.
"Bu, putrane derek jalur nopo?" tanya pak Satpam padaku
"Ikut jalur keagamaan pak."
"Bagi anak yang ikut jalur keagamaan, orang tua diharap berkumpul di masjid sebentar.Ada pemberitahuan terkait program keagamaan," jelas pak Satpam padaku.
"Terima kasih infonya pak."
Aku berjalan ke arah masjid bernuansa coklat yang berada di tengah lokasi sekolah. Seusai berjabatan tangan dengan panitia, aku mengambil duduk di serambi masjid bagian kiri.
Seusai salam pembuka, pembacaan ayat suci Al Qur'an, seluruh para calon wali santri ma'had diberi arahan untuk mengisi blangko kesepakatan. Intinya, santri harus melakukan pendidikan disana selama tiga tahun. Bila ada sesuatu hal terjadi hingga membuat santri keluar dari sana, maka pihak ma'had akan melakukan denda senilai lima belas juta rupiah
"Aku baru menemui sistem ma'had yang seperti ini. Aku merasa seperti ada sesuatu yang aneh. Semoga Zahrana krasan di ma'had ini hingga lulus sekolah. Aamiin," doaku dalam hati.
Seusai pertemuan, blangko kulipat rapi dan kutaruh ditas selempang. Blangko itu kubawa pulang karena membutuhkan bubuhan materai enam ribu di surat pernyataan tersebut.
Aku bergegas keluar dari lingkungan sekolah tersebut karena takut bila balitaku akan mengganggu suasana ujian. Aku mengambil motor dan mengendarainya menuju lapangan yang letaknya tak jauh dari sekolah.
Sesampainya di lapangan, kedua balitaku, Mumtaz dan Arsenio sangat senang sekali. Kuminta mereka untuk segera sarapan karena tadi mereka belum sarapan dirumah dan sebelum berlari kesana kemari agar memiliki tenaga. Seusai makan, mereka mencuci tangan di kamar mandi yang berada di lapangan tersebut. Kemudian mereka terlihat berlarian kesana kemari dan terlihat begitu riang.
Tiba-tiba Arsenio menemukan botol bekas (botol bekas minuman keras yang botol nya bisa dibuat sebagai botol bensin) yang kemudian dibawa ke arahku.
"Buat dijual ditempat rosok ya bu," ucap Arsenio padaku.
"Terima kasih adik," ucapku padanya.
"Masih ada lagi nggak. Yuk cari lagi kalau ada," ucapku agar mereka kembali bersemangat berlari di lapangan.
Mata Mumtaz terlihat berbinar.
"Ayo cari lagi dik," ajak Mumtaz.
Setelah mereka berlarian mengitari lapangan dan rerumputan yang menempel terlihat memenuhi celananya, akhirnya mereka mendapatkan tiga botol tambahan lagi.
"Ibuk nanti botolnya dibawa pulang ya. Dijual dirosok biar dapat uang," ucap Mumtaz padaku yang membuatku tak terasa mataku berair. Kukerjapkan mata agar cairan itu tidak menetes di pipi.
"Mas, adik pinter banget. Makasih ya," ucapku pada keduanya.
Kutengok jam digital berwarna merah di pergelangan tangan sebelah kiri. Sepertinya Zahrana telah selesai mengerjakan tes. Segera kukemasi bekal tadi dan kumasukkan tas. Aku beranjak dari duduk, menghampiri motor. Tiba-tiba motorku tidak bisa distater. Akhirnya motor kujagang tengah dan kuselah. Tak lupa botol bekas tadi kutaruh di cantolan motor bagian depan.
"Lumayan dapat botol bensin. Satu botol dihargai dua ribu di grosir rokok. Dua ribu setara setengah karung botol plastik bekas minuman air mineral," batinku dalam hati.
Setelah motor hidup, aku mengendarai motor menuju sekolah X.
Zahrana tampak sudah disamping pintu gerbang. Masih tersisa tiga atau empat anak yang belum dijemput.
"Maaf lama. Tadi motornya gak bisa dinyalakan dengan stater. Ngeslah sekarang," jelasku pada Zahrana.
"Iya bu," jawab Zahrana.
Kulajukan motor matic dengan pelan menuju arah pulang. Melewati area persawahan, hatiku membatin.
"Saat ini niat ingsun mengantarkan anak untuk mencari ilmu. Semoga mendapatkan ilmu yang barakah, bermanfaat fid diini wad dunya hingga akhirat. Semoga ada rezeki yang cukup untuk mencari ilmu. Aamiin," batinku.
Sesampainya dijalan sepi, Zahrana kutanya tentang tes tadi.
"Bagaimana ujiannya tadi? Mbak bisa mengerjakan soal atau tidak?" Tanyaku pada Zahrana.
Zahrana terdiam sesaat, kemudian memjawab pertanyaanku.
"Ada yang bisa kujawab ada yang tidak bu," jelas Zahrana.
"Alhamdulillah. Semoga lolos ya mbak," ucapku padanya.
"Aamiin," do'a Zahrana.
Sesampainya dirumah, seperti biasa setelah pulang dan pergi dari sekolah X, kami semua segera istirahat. Baterai gawaiku terlihat habis. Aku mencari cas dan kucolokkan pada stop kontak agar saat aku bangun nanti, baterainya telah kembali penuh.
Saat aku menyalakan gawai setelah beristirahat selama satu jam, ada wa dari pak Ryan untuk melunasi biaya perpisahan
Assalamu'alaikum
Saya pak Ryan wali kelas dari ananda Zahrana
Mohon maaf sebelumya
Ananda masih ada kekurangan dalam pembayaran perpisahan
Saya mohon untuk segera dilunasi njeh
Karena dua bulan lagi akan segera diadakan acara perpisahan untuk para siswa kelas enam
Saya mohon maaf sebelumya
Terima kasih
Uang perpisahan sebanyak lima ratus ribu belum kulunasi sejak dua bulan yang lalu. Uang tersebut begitu besar karena aku tak memiliki uang tabungan sama sekali di sekolah. Bila saja memiliki tabungan, mungkin pembayaran untuk perpisahan tidak akan sebanyak ini.
Hari ini saja, uang kembali berkurang satu lembar untuk perjalanan tes ke sekolah X. Bila melunasi untuk perpisahan, berarti uang akan kembali berkurang lima lembar lagi. Keuangan untuk pendidikan Zahrana semakin menipis saja. Tapi, tak apa. Itu memang kewajibanku untuk memenuhi kebutuhan pendidikan Zahrana.
"Semoga ada rezeki yang lain untuk melunasi biaya pendidikan. Aamiin," do'aku dalam hati.
Aku kembali menyekrol Wa. Ada pesan dari mbak Nina. Tapi, aku merasa enggan untuk membukanya karena pasti isi pesan didalamnya selalu membuat hatiku semakin sakit. Kerapkali aku berpikir, apa lebih baik aku melepaskan mas Anton ya? Sungguh aku sudah sangat lelah dengan hubungan rumah tangga ini.