Kevin cuma anak SMA biasa nggak hits, nggak viral, hidup ya gitu-gitu aja. Sampai satu fakta random bikin dia kaget setengah mati. Cindy cewek sejuta fans yang dielu-elukan satu sekolah... ternyata tetangga sebelah kamarnya. Lah, seriusan?
Cindy, cewek berkulit cerah, bermata karamel, berparas cantik dengan senyum semanis buah mangga, bukan heran sekali liat bisa bikin kebawa mimpi!
Dan Kevin, cowo sederhana, dengan muka pas-pasan yang justru dipandang oleh sang malaikat?!
Gimana kisah duo bucin yang dipenuhi momen manis dan asem ini selanjutnya!? daripada penasaran, mending langsung gaskan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Proposal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malaikat Juga Pintar
"Kevin, apa kabar?"
Ujian akhir semester akhirnya berakhir, membebaskan para siswa dari siksaan ujian-ujian yang melelahkan. Kelas pun riuh dengan kelompok-kelompok siswa yang berkumpul dengan semangat, membicarakan hasil ujian dan rencana setelahnya. Beberapa terlihat lega, sementara yang lain masih tegang menunggu pengumuman nilai.
Kevin dan Revan sama-sama merasa lega setelah ujian usai. Mereka duduk di bangku masing-masing sambil mengevaluasi performa ujian kali ini.
Revan memulai percakapan dengan santai, "Gimana? Lumayan nggak?"
Kevin yang sedang memeriksa catatannya menjawab datar, "Biasa aja, nggak terlalu jelek."
Sebenarnya, Kevin tidak terlalu yakin dengan jawabannya sendiri. Soal-soal ujian memang masih dalam batas wajar, dan seharusnya tidak terlalu sulit jika dia belajar dengan benar. Namun seperti biasa, dia memilih untuk tidak menunjukkan ekspresi berlebihan.
Sepanjang tahun ini, dia tidak merasakan perbedaan signifikan dalam cara menulis jawabannya. Tidak ada pikiran khusus yang mengganggu konsentrasinya saat ujian.
Meski Kevin termasuk tipe orang yang menghindari keributan, dia tidak pernah mengendurkan usaha belajarnya. Dia memahami sebagian besar materi pelajaran, sehingga ujiannya berjalan lancar. Mungkin tidak akan mendapatkan nilai sempurna, tapi minimal 80-90% masih bisa dicapai.
Revan yang sudah mengenal kebiasaan temannya itu menyeringai, "Kamu mungkin masuk 30 besar, kan?"
"Ya, belajar tiap hari sih," jawab Kevin sambil menutup bukunya.
"kamu bangga banget sama rutinitas mu, ya?" goda Revan.
Kevin mengerutkan kening, "Nggak usah ngomong gitu darimu, deh. Kamu aja sibuk mesra-mesraan sama Melia sampe lupa belajar."
Perbedaan antara Kevin dan Revan sebenarnya bukan terletak pada kecerdasan, tapi lebih ke prioritas. Revan sebenarnya bukan orang bodoh. Dia bisa masuk peringkat tinggi jika serius belajar. Namun waktunya lebih banyak dihabiskan untuk Melia, pacarnya, sehingga peringkatnya selalu berada di bawah Kevin.
Revan tertawa lepas mendengar komentar Kevin, "Tapi pacaran itu asik, lho."
"Iya, iya," sahut Kevin sambil menghela napas.
Revan tiba-tiba menjadi serius, "Serius, Kevin, kamu harus cari pacar juga."
Kevin mengangkat alis, "Kayaknya banyak cowok yang bakal nangis darah denger ucapan kamu."
Memang benar, banyak sekali siswa yang ingin memiliki pasangan namun tidak kesampaian. Omongan santai Revan seperti ini bisa membuat mereka kesal. Tapi Kevin tidak marah. Dia memang tidak memiliki keinginan untuk berpacaran saat ini, jadi dia hanya mendengarkan dengan setengah hati.
"Btw, gimana caranya punya pacar?" tanya Kevin tiba-tiba, lebih karena penasaran.
Revan langsung bersemangat, "Double date."
"Jadi aku harus naksir bareng pacar imajiner gitu?"
"Ya tunjukin dong kalau kamu bisa!"
Kevin menggeleng, "Kamu pikir aku punya kepribadian kayak gitu?"
"Mustahil, ya?"
"Tentu aja." ujar Kevin.
Kevin sangat menyadari kepribadiannya yang biasa-biasa saja. Dia adalah tipe orang yang sebisa mungkin menghindari masalah dan terlalu jujur dalam banyak hal. Banyak orang mungkin menganggapnya penyendiri dan memberinya kesan buruk. Mustahil bagi orang dengan kepribadian seperti itu untuk mendapatkan pacar, pikirnya.
Dan bahkan jika suatu saat dia memiliki pacar, hubungan mereka pasti akan terasa hambar. Paling tidak, tidak akan semenarik hubungan Revan dan Melia.
Revan tidak menyerah, "Nggak, tapi Kevin, kamu harus nemuin orang yang kamu suka. Kalau kamu potong rambut, berdandan lebih rapi, dan benerin postur tubuh, pasti cewek-cewek bakal liat kamu beda."
Kevin merasa penilaiannya tentang diri sendiri cukup akurat. Dia tidak setampan Rasya atau sekeren Revan, tapi juga tidak jelek-jelek amat. Dengan sedikit usaha pada penampilan, dia bisa bersaing dengan siswa SMA pada umumnya.
Tapi meski berdandan rapi, Kevin tetaplah orang yang tidak mudah mendekati orang lain.
"Orang yang cuma tertarik sama penampilan itu nggak bakal setia," bantahnya.
Revan tidak kalah, "Kamu bilang gitu, tapi kalau nggak ada yang tertarik sama kamu, gimana mau kenal kepribadiannya?"
"Tapi aku emang nggak minat cari pacar."
Dan bahkan jika ada yang mau mendekatinya, ilusi mereka pasti akan hancur begitu melihat kehidupan sehari-harinya.
Kevin adalah tipe orang yang tidak bisa hidup mandiri dan kurang peka terhadap perasaan orang lain. Dalam hati, dia hanya bisa menyeringit sambil berpikir, "Apa ada cewek yang bakal suka sama aku?"
Lagipula, dia benci interaksi sosial yang berlebihan. Kepribadiannya tidak cocok untuk hal semacam itu, dan dia sama sekali tidak berniat mencari pacar.
Apalagi sekarang ada Cindy yang rutin memasak untuknya. Akan menjadi tragedi jika dia memiliki pacar dalam kondisi seperti ini. Dia tidak memiliki keinginan untuk itu, dan tidak merasa khawatir. Tapi satu alasan ini saja sudah cukup membuatnya enggan.
Revan menghela napas, "Kamu beneran membosankan, deh. Mau nggak aku minta Melia kenalin temen-temennya?"
"Jangan ikut campur. Temen-temen Melia kebanyakan berisik, dan punya pacar aja udah bikin pusing."
"Lagipula, kamu emang suram, Kevin."
"Diem." ujar Kevin.
Revan akhirnya menyerah, "Oke, kalau kamu bilang gitu, aku nggak maksa. Tapi nggak kesepian, tuh, hidup SMA cuma sendirian terus?"
"Nggak perlu, dan kayaknya ribet." ujar Kevin
"Menurut kamu, apa arti kehidupan sekolah?"
Kevin tidak benar-benar memikirkan hal itu. Baginya, memiliki pacar bukanlah kewajiban, dan dia tidak pernah berniat mencarinya.
Lagipula, jatuh cinta bukanlah hal yang mudah.
"Sayang banget."
"Iya, iya."
Revan tiba-tiba tersenyum licik, "Tapi kamu bakal berubah kalau udah suka sama seseorang, Kevin."
"Dari mana pede banget sih?"
"Soalnya kamu tipe orang yang bakal manjain pacarnya kayak anak kucing."
"Bebas aja kamu bilang apa."
Dia tidak bisa membayangkan dirinya menjadi kekasih yang norak seperti itu, jadi dia memilih untuk mengabaikan omongan Revan.
Revan hanya bisa menggelengkan kepala melihat reaksi temannya itu, lalu melirik ke samping dengan santai ketika mendengar suara yang familiar.
"Revan, mau pulang?"
"Ohh, Melia?"
Kebetulan Melia lewat di depan kelas mereka, dan sepertinya mereka sudah janjian untuk pulang bersama. Obrolan antara Kevin dan Revan hanya pengisi waktu sebelum mereka berpisah.
Kevin pun menoleh ke belakang, dan melihat seorang gadis tomboi dengan rambut cokelat kemerahan sedang tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Lebih tepatnya, kepada Revan.
Aura ceria dan senyum hangatnya terlalu menyilaukan bagi Kevin. Sesuai penampilannya, Melia adalah tipe orang yang ramah, enerjik, dan selalu membuat suasana menjadi hidup. Kepribadiannya sangat berbeda dengan Cindy.
Dia langsung berlari ke arah mereka sambil tetap tersenyum.
Dalam hati, Kevin berharap Melia tidak mengajaknya berbicara, karena setiap kali dia muncul, pasti akan membuatnya kewalahan.
Tapi harapannya sia-sia ketika Revan langsung membuka mulut, "Eh, Melia, kamu setuju nggak kalau Kevin tipe orang yang bakal manjain pacarnya?"
"Udah ah, cukup," potong Kevin dengan kesal.
Melia langsung tertarik, "Hah? Kevin punya pacar?"
"NGGAK!" sanggah Kevin dengan suara keras.
"Ehhh, sian. Aku pengen kenalan sama pacarnya."
Melia membuat ekspresi kecewa sambil mendecakkan lidah.
Kevin mencoba menjelaskan, "Kalau kamu akur kayak gitu, skinship-nya bakal terlalu agresif. Aku bakal kasian sama pacar khayalanku kalau punya."
"Eh, jadi kamu punya pacar khayalan?"
"Aku bilang kalau punya, oke!?"
"Cuma bercanda" ujar Melia.
"Beneran capek ngadepin kamu." ujar Kevin.
Melia justru tertawa, "Itu karena stamina kamu kurang, Kevin."
"Bahkan kalo aku punya stamina, bakal habis juga karena kamu."
Bukan hanya fisiknya yang lelah, tapi mental Kevin juga terkuras.
Kevin biasanya tidak banyak berbicara kecuali dengan orang-orang tertentu, dan lebih memilih untuk bersikap santai selama kehidupan sekolahnya. Berinteraksi dengan orang yang hiperaktif seperti Melia benar-benar melelahkan baginya.
Meski jawabannya datar, Melia sama sekali tidak tersinggung. "Kamu keliatannya nggak baik-baik aja," ujarnya sambil tetap tersenyum cerah.
"Cepetan biasa-in diri," Revan ikut nimbrung memberi nasihat.
Yang bisa Kevin lakukan hanyalah menghela napas panjang, menyerah pada kenyataan bahwa dia tidak akan menang melawan duo ini.
"Apa yang kamu lakukan?"
Sesampainya di apartemennya, Kevin langsung menyantap masakan rumahan yang dibuat Cindy. Setelah selesai mencuci piring, dia menemukan Cindy sedang meletakkan kertas ujian di atas meja ruang tamu.
Mencuci piring sebenarnya adalah tugas rutin mereka, tapi kali ini Kevin sengaja melakukannya duluan agar Cindy tidak terlalu banyak bekerja. Karena itulah, Cindy menghabiskan waktunya di ruang tamu sambil memeriksa jawaban ujiannya.
"Ngecek jawaban," jawab Cindy tanpa mengangkat kepala.
"Oke, aku boleh liat?"
Cindy sedang asyik memeriksa jawabannya, sesekali membandingkannya dengan buku pelajaran untuk memastikan tidak ada kesalahan.
Kevin duduk di sebelahnya sambil mengamati. "Gimana?"
"Kalau nggak ada yang salah, nilai sempurna."
"Memang sesuai ekspektasi." ujar Kevin.
Respon Kevin tetap datar ketika Cindy mengumumkan bahwa dia mendapatkan nilai sempurna. Dia sama sekali tidak terkejut karena Cindy memang selalu menduduki peringkat pertama di angkatan mereka.
Dari awal pun Kevin sudah yakin bahwa Cindy tidak akan mendapatkan nilai di bawah sempurna.
"Aku emang nggak benci belajar dari dulu. Lagipula, aku udah pelajarin semua materi setahun sebelumnya, jadi cuma perlu diulang aja." ujar Cindy
"Wihh, emang jago sih."
Cindy tiba-tiba mengalihkan perhatian, "Kamu juga nggak jelek-jelek amat kan nilainya, Kevin?"
"Kamu tau nilai aku?"
"Aku punya kesan waktu liat ranking." ujar Cindy.
Rupanya Cindy sudah mengetahui sedikit tentangnya sebelum mereka pertama kali berbicara.
Kevin mengira Cindy hanya memperhatikan peringkat satu digit, tapi karena dia menyebutkan peringkatnya sebelumnya, berarti dia benar-benar memperhatikan.
Kevin menjelaskan alasannya belajar keras, "Iya, itu syarat biar aku boleh tinggal sendiri. Nilai harus tetap bagus."
Ketika diizinkan tinggal sendiri, orang tuanya memberikan syarat untuk tidak membiarkan nilainya jatuh.
Ada juga ketentuan untuk pulang ke rumah setiap setengah tahun sekali, tapi itu bisa diatur saat liburan panjang. Selama nilainya bagus, keluarganya tidak akan ikut campur.
"Aku cuma usaha seperlunya biar mereka nggak ganggu, tapi nggak bakal bisa ngalahin kamu. Kamu emang rajin banget."
"Penting buat usaha keras."
Cindy tiba-tiba bergumam pelan sambil menundukkan kepalanya.
Poninya yang panjang menutupi ekspresinya, membuat Kevin tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi yang pasti, dia tidak terlihat senang sama sekali dengan prestasinya.
Namun sebelum Kevin bisa menanggapi, Cindy sudah mengangkat kepalanya kembali, wajahnya sudah kembali ke ekspresi netral biasa. Kesempatan untuk bertanya lebih lanjut pun hilang.
Dan bahkan jika ada kesempatan, Kevin mungkin tidak akan bertanya. Karena jelas bahwa Cindy sedang menahan sesuatu.
Kadang-kadang Cindy menunjukkan ekspresi seperti itu. Seperti sedang memendam kesedihan atau kejijikan yang dalam.
Dia tidak pernah memberi tahu alasan pastinya, tapi sepertinya dia terbelenggu oleh sesuatu dan berjuang sendirian.
Tidak sulit untuk menebak bahwa penyebabnya berkaitan dengan keluarganya.
Karena itulah, Kevin merasa tidak pantas untuk ikut campur.
Dia sangat memahami bahwa itu adalah ranah pribadi yang tidak boleh dia sentuh sebagai orang luar, jadi selama ini dia menjaga jarak yang tepat sebagai tetangga.
Kevin sendiri juga memiliki hal-hal yang tidak ingin dibicarakan dengan orang lain. Dia lebih menghargai ketika orang lain pura-pura tidak memperhatikan, dan merasa lebih nyaman dengan cara seperti itu.
Cindy berusaha menutupi perasaannya. "Aku pulang dulu," ucapnya dengan nada ceria seperti biasa, lalu mulai menyimpan buku pelajaran dan kertas ujiannya ke dalam tas.
Kevin tidak berniat menahannya, jadi hanya menjawab singkat sambil memperhatikan Cindy membereskan barang-barangnya.
Ketika Cindy selesai membereskan semua barangnya dan berdiri dari tempat duduknya, Kevin baru menyadari ada sesuatu yang bukan miliknya di belakang cangkir kosong.
Dia mengambilnya, dan menemukan sebuah kotak plastik berisi kartu pelajar. Setiap siswa pasti memilikinya.
Sepertinya Cindy membawa ini bersama buku pelajarannya dan lupa memasukkannya kembali ke tas.
Kevin memperhatikan wajah, nama, nomor siswa, tanggal lahir, dan golongan darah yang tertera di kartu itu, lalu memanggil Cindy yang sedang memakai sepatu di depan pintu.
"Kamu lupa ini."
"Ah, maaf merepotkan. Selamat malam." ujar Cindy.
"Selamat malam."
Cindy membungkuk sopan sebelum akhirnya pergi. Kevin mengikuti kepergiannya dengan pandangan sebelum akhirnya menghela napas pelan.
Dia mengingat-ingat kembali tanggal lengkap yang tertera di kartu pelajar itu, terutama bagian bulan dan tanggal, lalu meletakkan tangannya di dahi.
"Empat hari lagi?" ujar Kevin.
Kalau saja dia tidak melihat kartu pelajar Cindy, dia tidak akan tahu bahwa ulang tahunnya tinggal empat hari lagi.
Dia menghela napas lagi, kali ini lebih dalam.