Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Pantas Disalahkan
Sedangkan di mansion besar milik keluarga Arsen, para wanita tengah berkumpul sambil membahas kabar mengejutkan yang membuat semuanya tercengang, kabar tentang salah satu orang yang juga bagian dari mereka, orang yang tidak mereka sukai karena sudah membuat si pewaris punya luka yang amat mendalam.
Ya, berita mengenai kehamilan kedua Anita!
Kabar itu datang bukan dari Arsen ataupun Anita. Justru Ananda lah yang pertama kali membuka mulut kepada keluarga tentang hal yang mereka anggap mengejutkan. Saat makan siang di ruang tengah, ketika suasana sedang cukup tenang, tanpa isyarat apa pun Ananda menaruh sendoknya, lalu menatap lurus ke arah sang suami, tante, om dan Eyang Soraya yang juga duduk di meja makan.
"Kenapa kamu berhenti makan, Nan?" ujar Glen begitu melihat keponakannya menaruh sendok dengan makanan yang belum habis di atas piring.
"Aku sedang tidak nafsu makan" ujar Ananda, dari raut wajahnya tampak wanita itu sedang dalam suasana hati yang buruk.
"Ada apa sayang? Kamu sedang mau makanan yang lain?" timpal Vidi begitu melihat istrinya berhenti melanjutkan makan.
Ananda menggelengkan kepala, dia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, pusing memikirkan sesuatu yang membuatnya terus kepikiran.
“Kalian tahu tidak? Ternyata kabar jika mbak Anita hamil itu memang benar adanya,” ucapnya tanpa ragu.
Teresa yang sedang memotong buah pepaya tertegun, pisaunya berhenti di tengah jalan. Eyang Soraya hanya mengerjapkan mata, tetapi tidak memberikan reaksi lebih dari itu.
“Hamil? Maksudmu, Anita sedang mengandung lagi anaknya Arsen?” tanya Teresa, nadanya meninggi setengah tak percaya.
“Iya. kemarin lusa aku mendatangi perusahaan mas Arsen, karena setelah pulang dari rumah ibu, aku mendapat kabar jika mbak Anita hamil, makanya aku ingin mendengarkan langsung dari mulut mas Arsen sendiri, dan ternyata benar mbak Anita memang hamil lagi” ujar Ananda, setengah menahan kekesalannya.
Teresa meletakkan pisaunya dengan suara berderak. “Astaga, apa-apaan ini? Mereka bahkan hampir tidak pernah terlihat akur setelah Anita keguguran. Bukankah seharusnya Arsen menceraikan Anita sejak saat itu? Apa yang dia pikirkan?!”
“Ya… aku juga sempat berpikir begitu. Tapi kurasa mas Arsen belum bisa melepaskan Anita,” ujar Ananda lirih, nadanya menahan jengkel.
Sedangkan para lelaki masih berusaha mencari letak kesalahannya.
"Bukankah bagus jika Anita hamil? Itu artinya Arsen akan punya keturunan" ujar Glen sembari melahap nasi, namun kemudian Teresa segera menyikut sang suami.
"Mas, apaan sih! Bagus dari mananya? Jika Anita hamil Arsen akan terus berada disisi wanita itu, kamu lupa jika dulu Anita sengaja menggugurkan bayi mereka?!" ketus Teresa tak terima.
"Benar apa kata Tante, om. Mas Arsen tidak akan bisa lepas jika punya anak dari wanita macam mbak Anita"
Eyang Soraya tetap diam. Tatapannya kosong ke arah mangkuknya yang berisi sup. Raut wajahnya tak berubah, hanya sorot matanya sedikit menggelap.
"Mungkin saja mas Arsen sudah memaafkan mbak Anita dan melupakan apa yang pernah terjadi di masa lalu" seru Vidi ikut menyahuti.
Teresa menyeka tangannya dengan serbet setelah meletakkan pisau yang tadi digunakannya memotong buah. Wajahnya menunjukkan kekesalan yang tidak bisa disembunyikan.
“Kalau Arsen tetap mempertahankan rumah tangganya dengan perempuan seperti Anita, maka aku tak tahu lagi harus berkata apa. Bukankah sudah cukup satu kali keluarga ini dibuat malu karena ulahnya?” ujar Teresa dengan nada tajam.
“Persis, Tante,” sahut Ananda cepat. “Sejak awal aku memang tidak menyukai mbak Anita. Bukan karena iri atau benci tanpa alasan, tapi karena dia sudah sangat jahat pada calon bayinya sendiri”
Vidi, yang masih berusaha netral di tengah-tengah percakapan, memijat tengkuknya yang mulai terasa tegang. Ia tahu istrinya tidak pernah akur dengan Anita, tetapi tidak menyangka akan separah ini reaksinya.
“Tapi, Nan… Bukankah kita sebaiknya memberi kesempatan kedua? Barangkali mbak Anita memang menyesali kejadian yang dulu,” ujarnya pelan.
Ananda menoleh dengan ekspresi kaku. “Menyesal? Kalau benar menyesal, kenapa dia tidak pernah berusaha memperbaiki hubungan dengan keluarga ini? Kemarin saat dia datang ke rumah pun, dia hanya membuat suasana jadi tidak nyaman. Lalu dengan entengnya membawa hadiah, seolah itu cukup untuk menghapus luka lama.”
Glen yang sedari tadi mencoba untuk tidak ikut campur mulai merasa suasananya terlalu panas untuk dibiarkan. Ia pun angkat bicara dengan tenang, meski wajahnya menunjukkan rasa tidak nyaman.
“Memang kejadian masa lalu itu tidak mudah dilupakan, tapi kita juga tidak boleh menghakimi tanpa bukti. Keguguran itu... bisa terjadi karena banyak faktor.”
Namun, belum sempat kalimat itu selesai, Teresa sudah memotong dengan suara meninggi. “Faktor?! Mas, lagi-lagi kamu lupa jika Anita pernah meminum obat penggugur kandungan, bahkan cctv di rumah Arsen pun memperlihatkannya dengan jelas!”
Ucapan Teresa menggema di seluruh ruang makan. Sunyi beberapa detik, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar lambat di langit-langit.
Eyang Soraya masih tak bergeming. Wanita tua itu hanya menatap mangkuknya tanpa menyentuh sendoknya lagi. Mungkin hanya dia yang memahami betul luka mendalam yang dialami Arsen, cucu kesayangannya. Ia tahu, di balik wajah keras Arsen, tersembunyi perasaan rapuh yang terlalu sering ia tutupi. Dan sejak menikahi Anita, hidup Arsen seolah penuh liku. Tapi Eyang Soraya juga tahu, Arsen mencintai istrinya lebih dari yang ia tunjukkan pada siapa pun.
“Lalu jika suatu hari nanti dia keguguran lagi… kita sudah tahu siapa yang harus disalahkan,” ujar Teresa kembali, kali ini dengan suara yang lebih pelan namun menekan.
Ananda menyahut dengan getir, “Dan tidak akan ada alasan apa pun yang bisa membenarkan perbuatannya. Tidak lagi. Sekali sudah cukup membuat kita semua hancur. Aku bahkan masih ingat bagaimana mas Arsen menangis diam-diam di sudut ruang tamunya, tidak mau makan, tidak mau bicara. Bahkan hampir gila”
Vidi mencoba menenangkan istrinya dengan meraih tangan Ananda. “Sayang, tidak semua orang bisa menghadapi duka dengan cara yang sama.”
Ananda menggeleng tegas. “Itu bukan soal cara menghadapi duka, tapi soal tanggung jawab. Mbak Anita gagal menjaga anak mereka, dan sekarang dia seolah ingin mengulang cerita itu kembali.”
Teresa mendengus. “Dan lebih parahnya, Arsen malah membiarkan Anita hamil lagi. Seolah semua yang pernah terjadi tak ada artinya. Di mana harga dirinya sebagai lelaki? Apa karena cinta, dia rela dipermalukan begitu rupa?”
“Cinta kadang memang membuat seseorang bertahan di tempat yang menurut orang lain tidak layak,” ucap Vidi pelan.
"Hufttt.... Mas sama saja seperti Mama. mama juga selalu membela mbak Anita dan menasihati mas Arsen supaya mempertahankan rumah tangganya. Kenapa sih mama masih mau punya menantu seperti itu?" gerutu Ananda melipat tangan di atas dada.
Sunyi kembali menyelimuti ruangan. Semua seolah menunggu reaksi dari Eyang Soraya yang masih belum berkata sepatah kata pun. Tatapan semua orang akhirnya serempak tertuju pada wanita tua itu, menanti komentar atau mungkin sebuah keputusan sebagai kepala keluarga.
Namun, Eyang Soraya justru menghela napas dalam dan berkata lirih, “Kalau kalian ingin terus menyalahkan Anita, silakan. Aku sudah terlalu tua untuk ikut berdebat. Tapi aku tahu betapa hancurnya hati Arsen saat kehilangan anaknya. Dan aku juga tahu, hanya Anita yang mampu membuat dia bangkit lagi. Meski kalian tidak suka, mereka tetap suami-istri. Dan kini akan menjadi orang tua kembali.”
Semua diam. Tak ada yang berani membantah ucapan Eyang Soraya. Meski tidak berpihak, kata-katanya mengandung kekuatan yang membuat semua orang merenung.
Teresa masih tampak tidak terima, namun ia memilih diam. Matanya menatap tajam pada meja, sementara Ananda mengepalkan tangannya di atas pangkuan.
Ananda pun menambahkan, “Aku tidak rela mas Arsen harus menanggung risiko itu lagi. Seharusnya dia menuntut mbak Anita, bukan membiarkannya mengulangi kesalahan.”
Sementara itu, Eyang Soraya memejamkan matanya sejenak. Dalam hati, ia bertanya, apakah ini semua akan berakhir seperti dulu? Atau mungkinkah ada kesempatan bagi Anita untuk membuktikan bahwa dia mampu menjaga kehamilannya dan memperbaiki semua kesalahannya di masa lalu?
Dan kini, semuanya tinggal menunggu... apakah Anita benar-benar bisa menjadi istri dan ibu yang baik, atau justru akan membuat semua luka lama berdarah kembali.
kena mental gak yah sama ucapan baim "jangan tinggalkan anita lagi"...
biar terseret arus aja kau sekalian! 😤
biar Anita nanti dengan laki2 yg benar2 bisa mencintainya dan membahagiakan dia dengan sempurna dan tulus ikhlas...
gak Mudi an kaya kamu!! 🤨
Mudah tergoda juga!!
dan intinya kau Egois !!!!
Hanya memikirkan diri mu saja, tanpa memikirkan bagaimana perasaan pasangan mu!! 🤨😡
Biar Tau rasa kalau kau Jadi sama cewek manja macam itu!!! 😡🤨
atau.. skalian matre!!! biar habis harta mu yg kau kerja capek-capek!!!
dan yg paling penting, Cewek macam itu Gak akan bisa di andalkan!!! hanya bagus di Awal nya aja!!! karena itu cuma sekedar Pancingan aja bagi laki2 Plin plan kaya kamu 😝😏😏
dan di jebak pun pas banget lelaki pecundang. selamat kalian pasangan serasi, tapi ingatlah karma itu nyata.
Anita berhak bahagia tanpa di sisi Arsen.
Baim jagalah Anita, kalo perlu rebut hati Anita dari suaminya yang ga tahu diri.
Masih ada laki2 baik yg bisa kau jadikan penopang kala kau kesulitan koq .. Bukan yg malah menghindar dan lari dr masalah dengan mu!!! 😤😤😤