👑 Academy Animers, sekolah elit untuk pelajar berkekuatan unik dan bermasalah mental, dijaga Kristal Kehidupan di Crown City. Dipimpin Royal Indra Aragoto, akademi berubah jadi arena Battle Royale brutal karena ambisi dan penyimpangan mental. Indra dan idealis (Akihisa, Miku, Evelia) berjuang mengembalikan misi akademi. Di lima kota inti, di bawah Araya Yamada, ketamakan dan penyalahgunaan kekuatan Kristal merusak moral. Obsesi kekuatan mendorong mereka menuju kehancuran tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sacrifice from the Deepest Heart
Di ruang bawah tanah Akademi, aura magis dari Crystal of Life menyelimuti kesedihan mereka. Kristal raksasa itu bersinar dengan cahaya keemasan lembut, seolah ikut berduka. Indra dan Evelia duduk di sudut ruangan sakral Crystal of Life.
Di hadapan mereka, terdapat lima gundukan tanah yang terbentuk secara alami, diselimuti oleh akar-akar kristal yang bersinar lembut—makam yang sudah terbentuk entah sejak kapan, seolah energi Kristal itu sendiri yang menyiapkan tempat peristirahatan terakhir. Kizana, Nina, Akihisa, Miku, Liini sudah ditempatkan di sana, terbaring dalam damai.
Indra berada di pelukan Evelia, memendamkan wajahnya. Bahunya bergetar hebat. Ia telah mencapai batasnya sebagai Raja dan sebagai manusia.
"Semua sudah hilang, Evelia," bisik Indra, suaranya teredam. "Aku sendirian. Kita sendirian."
Evelia hanya terdiam mengelus kepala suaminya. Matanya yang Namitha menatap makam di hadapan mereka, duka yang mendalam tercetak di wajahnya, tetapi ia harus menjadi pilar kekuatan.
Setelah beberapa saat, Evelia berbisik, suaranya penuh kehangatan yang menusuk.
"Tidak, Suamiku," kata Evelia. "Kita tidak sendirian. Lihatlah."
Evelia mengangkat wajah Indra, memaksanya menatap Crystal of Life yang bersinar.
"Mereka semua ada di sini. Di dalam hatimu. Di dalam Kristal ini," lanjut Evelia. "Mereka memberikan hidup mereka agar kita bisa melanjutkan. Nina-chan dan Kizana-kun memberimu harapan. Akihisa dan Miku memberimu waktu. Liini memberimu pengorbanan terakhir."
Evelia mencium dahi Indra. "Kau adalah Raja. Kau adalah harapan. Dan kau harus bertahan. Karena Bayangan sedang bertarung untuk membalaskan semua ini."
Indra menatap makam itu, lalu ke wajah istrinya. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Evelia? Apa lagi yang bisa kita lakukan?"
Evelia tersenyum lemah. "Kita tunggu. Kita pulihkan energi. Kita pastikan Kristal ini tetap aman. Dan kita berdoa untuk Araya-sensei. Dia adalah senjata terakhir kita. Dan dia tidak akan pernah menyerah."
.
.
.
.
Di ruang Crystal of Life yang sunyi, Indra mulai mengeluarkan semua emosinya dengan tenang kepada Evelia sambil berada di pelukannya. Itu bukan lagi isak tangis histeris, melainkan ratapan yang dalam dan putus asa.
"Aku takut, Evelia," bisik Indra, suaranya parau. "Aku tidak tahu bagaimana menjadi Raja. Aku hanya ingin belajar sihir dan membangun menara kristal. Tapi sekarang... aku harus memimpin perang. Aku harus mengorbankan semua orang yang aku cintai."
Evelia mendengarkan semua keluh kesah suaminya, dengan lembut mengelus rambut Indra yang kini basah oleh air mata. Evelia tahu Indra masih muda ia bahkan baru berusia 20 tahun, baru saja menjadi seorang pria, sementara beban Kerajaan kini sepenuhnya ada di pundaknya.
Sedangkan Evelia sendiri usianya 25 tahun, seumuran dengan Araya, kakaknya. Evelia paham pemikiran Indra saat ini—rasa bersalah, ketakutan, dan keputusasaan yang melanda.
"Mereka semua lebih kuat dariku, Evelia. Mereka semua lebih berani. Dan mereka semua sudah tiada," lanjut Indra, mencengkeram jubah Namitha Evelia.
Namun Indra mulai mengatakan bagaimana jika Evelia nanti meninggal jika kemungkinan terburuknya Lucius kembali. Ketakutan terbesar Indra adalah kehilangan istri dan pilar terakhirnya.
"Aku... aku tidak akan sanggup, Evelia," bisik Indra. "Jika kau pergi... aku tidak akan sanggup menghadapi mereka. Aku akan hancur."
Evelia perlahan melepaskan pelukan itu, menatap mata Indra dengan kelembutan seorang Ratu dan seorang istri. Evelia tersenyum tipis sambil mengalirkan air matanya.
"Jika itu terjadi, Suamiku," kata Evelia, suaranya tenang. "Aku ingin kau jangan menangis. Jangan jatuh. Tapi mengamuklah untuk mengalahkan iblis itu."
"Gunakan semua amarah, semua duka, dan semua kekuatan Royal-mu. Buat mereka membayar mahal. Aku tidak ingin kau mati karena kesedihan. Aku ingin kau hidup karena balas dendam."
Evelia menoleh ke arah Kristal yang bersinar. "Aku yakin Araya-sensei akan datang, dan Shiera pasti baik-baik saja dan sedang menuju kemari. Kau tidak akan sendirian. Kau tidak akan pernah sendirian."
Indra memeluknya lagi, lebih erat dari sebelumnya. Indra masih menangis, tetapi kini, tangisan itu bercampur dengan tekad baru yang perlahan terbentuk di hatinya.
"Aku mencintaimu, Evelia," bisik Indra.
"Aku juga mencintaimu, Sayang. Sekarang, istirahatlah. Kita harus kuat untuk pertempuran berikutnya."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dalam pelukan hangat istrinya, beberapa saat, Indra tertidur. Kelelahan fisik dan emosional yang luar biasa akhirnya menguasai Raja muda itu. Evelia mengelus kepala suaminya dengan gemas, memberikan ciuman lembut di dahinya.
"Tidurlah, Suamiku. Biarkan aku yang berjaga," bisik Evelia.
Lalu Evelia memandang ke langit-langit ruangan yang disinari oleh cahaya Crystal of Life. Meskipun ia memeluk Indra, kesadarannya sebagai Kitsune level tertinggi—Namitha—tetap aktif.
Ia berbicara bukan dengan suara, tetapi melalui koneksi batin mereka yang kuat.
"Namitha," panggil Evelia dalam hati. "Apakah ini yang kau maksud? Semua kehancuran ini?"
Suara Namitha, bijaksana dan kuno, beresonansi dalam pikiran Evelia. "Itu adalah konsekuensi dari kebangkitan Iblis, Ratu. Kau sudah tahu itu. Pilihan selalu berada di tangan manusia. Pilihan mereka adalah mengorbankan diri untuk melindungimu."
Evelia menatap makam di hadapannya. "Aku tahu tentang pengorbanan, tapi... kau pernah mengatakan kepadaku bahwa kematianku sudah dekat. Apakah ini yang kau maksud dengan akhir yang tragis, Namitha? Apakah aku juga akan berakhir di sini, di samping mereka?"
Namitha menjawab dengan nada duka yang mendalam. "Ya, Ratu. Aku melihat akhir dari Garis Keturunanmu. Aku melihat bayangan yang sangat dingin mengincarmu. Dan aku melihat Bayangan (Araya) yang kini menjadi penentu takdirmu."
Evelia memejamkan mata. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus lari? Menyerahkannya pada Araya?"
"Tidak, Ratu. Tugasmu sekarang adalah menjadi wadah. Wadah dari kekuatan terakhir Kerajaan. Kau adalah Kitsune terakhir, dan dia adalah Royal terakhir. Kalian harus bersatu. Persiapkan dirimu, Evelia. Perburuan telah dimulai di Gunung, tetapi akhir dari semua ini akan terjadi di sini, di tempat Crystal of Life bernaung."
Evelia mengangguk, membuka matanya. Ia mengeratkan pelukannya pada Indra, kekuatan baru muncul dalam dirinya. Ia siap menghadapi takdirnya.
.
.
.
.
.
.
Evelia memejamkan mata sekali lagi, memfokuskan pikirannya pada esensi Kitsune kuno di dalam dirinya. Ia harus memastikan keselamatan Indra, masa depan Kerajaan, bahkan jika itu harus mengorbankan segalanya.
"Namitha," panggil Evelia dengan nada yang tenang dan mantap. "Jika kau melihat akhirku, dan jika kau tahu kematianku sudah dekat, aku punya satu permintaan terakhir."
Evelia berhenti sejenak, menatap Kristal Kehidupan yang memberinya kekuatan. "Aku ingin kau... tolong bergabung dengan Indra. Serahkan sepenuhnya dirimu kepadanya. Dengan kekuatan Kitsune dan Royal yang utuh, maka ia akan bisa mengalahkan Lucius saat aku tiada."
Keheningan melanda pikiran Evelia. Namitha tidak menjawab beberapa saat, seolah mempertimbangkan permintaan yang melanggar batas aturan Kitsune kuno itu.
Akhirnya, suara Namitha beresonansi, kali ini lebih lembut dari sebelumnya. "Permintaanmu berat, Ratu. Garis keturunan kami tidak pernah bergabung dengan garis keturunan Royal secara permanen. Tetapi..."
Lalu Namitha menjawab dengan tenang jika ia akan menuruti permintaan Evelia. "Aku akan melakukannya, Evelia. Demi Royal terakhir. Demi anak-anak yang telah gugur. Aku bersumpah, aku akan menjadi kekuatannya."
Evelia menjawab dengan tenang dan lembut seperti biasa. Air mata masih membasahi wajahnya, tetapi senyum tipis terukir di bibirnya.
"Terima kasih, Namitha. Aku tahu kau akan menjadi pelindung terbaik bagi suamiku. Aku mempercayaimu untuk menjaganya," ucap Evelia.
Namitha memuji kelembutan dan ketenangan Evelia. "Kau adalah Ratu terbaik yang pernah kujaga, Evelia. Kelembutan dan ketenanganmu di tengah kehancuran adalah kekuatan sejati. Aku akan menjaganya, dan dia akan menyelesaikan perang ini."
Evelia mengangguk, membuka matanya. Ia merasakan energi Kitsune di dalam dirinya semakin fokus, seolah bersiap untuk berpindah. Ia kembali menatap Indra yang tertidur pulas. Takdir telah diputuskan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di tengah puncak salju abadi Gunung Shirayuki, pertarungan berlangsung sengit. Tanah bergetar akibat benturan Blood Manipulation dan sihir gelap Iblis.
Araya terlihat puas bertarung. Senyum tipis yang dingin melengkung di bibirnya. Saat Lucius terpental akibat tebasan katana Araya, iblis itu mencoba menyerang balik dengan rentetan proyektil bayangan. Dan saat akan menyerang, selalu gagal. Higanbana Effect Araya membuatnya selalu selangkah di depan.
"Kau tidak belajar apa-apa dari bos-mu, Lucius," ujar Araya, suaranya tenang. Ia menghindari setiap serangan bayangan Lucius seolah itu hanya gerakan lambat. "Energi yang kau curi itu terlalu besar untuk wadah serendah dirimu."
Lucius meraung, meluncurkan serangan energi gelap yang lebih besar, mencoba membakar salju di sekitar Araya.
"Aku akan membuktikan kau salah, Bayangan! Aku adalah evolusi! Aku adalah Iblis yang lebih cerdas!" teriak Lucius.
Araya hanya tertawa kecil. "Jenius tidak mencuri pekerjaan orang lain, Lucius. Jenius menciptakannya."
Araya melompat mundur, menghindari pusaran bayangan, lalu mengejar Lucius dengan ketenangannya yang ia dapatkan kembali. Kecepatan Higanbana Effect Araya adalah bayangan merah di antara badai salju.
"Kau terlalu berisik, Iblis," lanjut Araya, muncul di atas Lucius, katana-nya menghujam ke bahu Lucius. "Aku memberimu kesempatan untuk menjadi Raja. Tapi kau hanya berakhir menjadi badut yang kelebihan kekuatan. Sekarang, mari kita lihat apakah kau bisa melawan kekuatan alam semesta ini."
Lucius menjerit, energinya kembali bocor. Ia menyadari, meskipun memiliki kekuatan Amon, ia tidak memiliki kontrol dan ketenangan yang dimiliki Araya.
.
.
.
Lucius terhuyung, bahunya berdarah gelap akibat tusukan Araya. Ia terengah-engah, menyaksikan Araya mendarat dengan anggun di salju, tanpa menunjukkan sedikit pun kelelahan.
Araya pura-pura terkagum dan tertawa pelan, tawa yang menusuk telinga Lucius. Sambil berjalan mendekati Lucius, Araya mencondongkan kepalanya sedikit.
"Wow," ujar Araya, suaranya dipenuhi nada mengejek. "Serangan yang... bersemangat. Tapi tidak teratur."
Araya bertanya apakah Lucius tidak apa-apa. "Kau baik-baik saja, Lucius? Pedangku sedikit berkarat. Kuharap itu tidak meninggalkan luka yang terlalu serius. Kau terlihat sedikit pucat."
Lucius merasa jengkel luar biasa. Ejekan dan superioritas Araya menusuk harga dirinya yang baru saja dinaikkan. Ia memandang Araya, matanya menyala.
"Diam, Bayangan!" raung Lucius. "Aku tahu dirimu! Kau hanya seorang Guardian rendahan yang mengabdikan diri pada Kerajaan yang lemah!"
"Rendahan?" Araya menghentikan langkahnya, senyumnya menghilang, digantikan oleh tatapan dingin.
Lucius menyadari bahwa dia salah, melihat betapa mudahnya Araya menangkis serangan Arch-Demon yang baru diserapnya.
"Tidak... tidak mungkin! Energi ini... kau... kau bukan hanya Bayangan biasa! Kau ternyata dia salah satu Arch Guardian!" teriak Lucius, menyadari kesalahannya. Arch Guardian adalah tingkatan Guardian kuno, setara dengan Arch-Mage.
"Akhirnya kau sadar," balas Araya, mengangguk santai. "Aku adalah Araya, Arch Guardian Bayangan. Pemimpin dari Guardian yang paling diremehkan. Dan aku sudah hidup lebih lama dari yang kau kira, Lucius."
"Kau menyembunyikan kekuatanmu!" desis Lucius.
"Tidak, aku menyembunyikan kesabaranku," koreksi Araya. "Dan sekarang, kesabaranku sudah habis. Sekarang, kita akhiri drama ini. Aku tidak punya waktu untuk terus bermain denganmu, Iblis kecil."
.
.
.
.
Lucius menyadari bahwa dalam pertarungan kekuatan murni, ia akan kalah. Ia harus kembali ke taktik lama.
Namun saat itu Lucius dengan liciknya lagi, bermain. Ia meluncurkan serangan energi gelap yang cepat dan fokus, kini mengincar mata kiri Araya yang diperban.
Araya membelokkan serangan itu dengan sedikit guncangan di katana-nya, tetapi serangan itu berhasil mengalihkan fokusnya sesaat. Namun itu hanya pengalihan. Lucius tahu serangan itu tidak akan berhasil.
Dengan sisa energi yang ia miliki, Lucius mengumpulkan kekuatan Arch-Demon-nya untuk satu kali gerakan. Lucius terbang dengan sisa tenaganya menuju Sakura Akademi, mencari Indra dan Evelia, target utama yang ia tinggalkan.
"Aku akan menghabisi yang terakhir! Kau akan gagal, Bayangan!" teriak Lucius, suaranya bergema saat ia melesat ke kejauhan.
Araya menatap ke arah Lucius pergi. Ekspresi wajahnya menunjukkan kombinasi kelelahan, amarah, dan kejengkelan.
"Dasar tikus," desis Araya. Araya agak merasa jengkel kenapa dia betah bermain licik, menyadari Lucius akan kembali ke Akademi untuk menyentuh mayat atau Royal yang tersisa.
Araya tidak mengikuti Lucius langsung ke Akademi. Ia tahu itu hanya akan menjadi pertarungan sia-sia melawan Iblis yang lincah itu. Sebaliknya, sambil berlari menuju suatu jalan, Araya mengambil rute yang berbeda, rute yang telah ia rencanakan sejak awal, setelah melihat kondisi di Akademi.
Menuju rumah sakit kerajaan untuk menjemput jenazah Nuita. Araya tahu apa yang ia butuhkan untuk mengakhiri perang ini, dan itu adalah kekuatan terakhir dari sahabatnya.
.
.
.
.
.
.
.
Araya tiba di reruntuhan rumah sakit. Ia menemukan Nuita yang terbaring kaku. Araya membungkuk, mengangkat tubuh Nuita dengan lembut, dan membawanya dalam bantuan Higanbana yang memeluknya. Bunga-bunga merah bermekaran, membungkus tubuh Nuita dalam penghormatan terakhir.
"Tunggu aku sebentar lagi, Nuita," bisik Araya, mencium dahi sahabatnya. "Aku akan menggunakan kekuatanmu untuk yang terakhir kali. Lalu, kau bisa beristirahat."
Araya berlari menuju istana kerajaan. Bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk persiapan akhir.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di antara puing-puing dan kegelapan, Shiera tersadar. Kepalanya terasa pusing, dan seluruh tubuhnya sakit akibat benturan keras dari serangan Wraith Lucius. Ia melihat sekitar, diselimuti oleh debu dan puing-puing. Ternyata ia berada di Istana Kerajaan, tempat yang seharusnya menjadi simbol kemegahan, kini hanyalah reruntuhan.
Malam hari telah tiba, dan cahaya bulan menembus atap Istana yang hancur.
Ia beranjak berjalan entah kemana karena ia tidak pernah datang ke Istana. Instingnya membimbingnya melalui koridor-koridor yang megah namun kini porak-poranda. Dia mencari tahu apa yang terjadi di sini sebelum serangan Akademi.
Hingga ia membuka gerbang raksasa yang terbuat dari emas dan kristal, yang kini retak. Ia masuk ke dalam singgasana Ratu Amanda.
Shiera berjalan perlahan. Aula singgasana itu gelap, tetapi cahaya bulan menyinari sebagian besar area. Shiera melihat sekitar; bendera-bendera Kerajaan robek, perisai kebesaran pecah.
Lalu pandangannya tertuju pada takhta.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sampai akhirnya melihat jenazah Amanda terbujur kaku tertusuk Odachinya di singgasana. Pedang Odachi milik Ratu Amanda yang seharusnya menjadi pelindungnya, kini menancap di tubuhnya. Itu adalah pemandangan yang memilukan dan mengerikan.
Shiera terkejut bukan main. Ia menutup mulutnya dengan tangan, air mata langsung mengalir deras. Ia mengenali Ratu yang selalu ia kagumi.
"R-Ratu Amanda..." bisik Shiera, lututnya lemas. Ia ambruk ke lantai, menatap pemandangan itu.
"Bagaimana... bagaimana ini bisa terjadi?"
Shiera menyentuh lantai, kristal ungunya merespons duka dan kejutan. Ia merasakan sisa-sisa energi iblis yang dingin dan menusuk di sekitar singgasana. Ia menyadari sepenuhnya betapa dahsyatnya kehancuran yang ditimbulkan Amon dan Lucius.
"Mereka... mereka telah kehilangan segalanya," gumam Shiera, menyadari bahwa duka Indra dan Araya jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Ia harus segera kembali. Dia adalah satu-satunya yang tersisa di luar Akademi.
.
.
.
.
.
.
.
Shiera masih tersungkur, menatap tak percaya pada jenazah Ratu Amanda, ketika keheningan singgasana yang hancur itu dipecahkan oleh suara yang tenang dan akrab.
Araya menyentuh bahu Shiera dengan lembut.
"Shiera," kata Araya, suaranya dingin namun ada nada kehangatan yang tersisa. "Jangan sedih."
Shiera tersentak kaget, tetapi ia segera merasakan kelegaan yang luar biasa melihat Araya. Namun, ia segera menunjuk ke arah takhta.
"Araya-sensei! Ratu Amanda..."
Araya mengangguk, memotong dan sudah tahu. Mata tunggalnya menatap jenazah ibunya tanpa emosi yang terlihat di permukaan.
"Aku tahu, Shiera," jawab Araya. "Menangis atau bersedih tidak akan mengubah apa pun sekarang. Hanya akan menghabiskan chi dan waktu."
Araya berjalan mendekati takhta. Araya dengan mudah menurunkan jenazah ibunya dari takhta dan menarik Odachi yang menusuk tubuh Amanda. Dan membungkusnya dengan bunga Higanbana yang sebagai pembawanya. Energi Higanbana menyelimuti jenazah Ratu Amanda, membuatnya melayang dengan tenang.
Jadi sekarang Araya membawa jenazah Nuita dan Amanda di dalam Higanbana di sebelahnya yang melayang. Dua peti mati bunga merah darah melayang di samping Arch Guardian itu.
Araya mengambil Odachi milik ibunya, pedang yang sangat besar. Araya memasukkannya ke sarung katana di punggungnya, menambah senjatanya.
"Ini sudah cukup," kata Araya, kini memegang katana lamanya di tangan. "Kita selesai di sini."
Araya menoleh ke Shiera, matanya penuh perintah. "Ayo, kita berangkat ke Akademi."
Shiera bangkit, menyeka air matanya, dan mengangguk. "Siap, Araya-sensei! Tapi... Lucius... dia sudah kembali ke sana. Dan Liini..."
"Aku tahu," sela Araya. "Aku merasakan padamnya chi terakhir mereka. Dan aku juga merasakan kehadiran Lucius yang baru dan kuat."
Araya menatap ke arah reruntuhan Akademi. "Tapi rencanaku tidak memerlukan pertarungan di sana. Ini semua tentang posisi. Ayo, Shiera. Sudah waktunya untuk pertunjukan terakhir."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di ruang Crystal of Life, keheningan yang menyelimuti makam tiba-tiba pecah. Indra sudah terbangun, mendengar teriakan memancing yang familiar dan mengerikan.
"KELUAR, ROYAL! KELUAR DAN HADAPI AKU! AKU TAHU KAU BERSEMBUNYI DI SANA, BERSAMA MAYAT-MAYATMU!" Suara Lucius menggema dari aula utama Akademi.
Indra segera akan keluar untuk menghadapi Lucius. Ia bangkit, wajahnya kini dipenuhi tekad yang dingin dan tenang, berbeda dari keputusasaan sebelumnya.
"Aku akan mengakhirinya," kata Indra, meraih pedangnya.
Evelia mendekatinya. Evelia memberinya semangat dan merapalkan mantra penyembuhan pada Indra, menyalurkan chinya yang tersisa. Namun, di balik mantra itu, sebenarnya sebuah kontrak rahasia telah terpatri. Kontrak batin itu menyatakan jika Evelia meninggal, maka Namitha otomatis berpindah ke Indra, menjadikan Raja muda itu wadah baru bagi Arch-Kitsune.
"Kau tidak sendirian, Suamiku," bisik Evelia, menatap matanya. "Hancurkan dia untukku, untuk mereka semua."
Indra berterima kasih, mencium istrinya dan memeluknya erat-erat. Pelukan itu dipenuhi kehangatan dan ketakutan akan perpisahan yang mungkin akan terjadi.
"Aku akan kembali," janji Indra.
"Aku tahu," balas Evelia.
Evelia menggoda Indra terakhir kalinya, sebuah upaya untuk memberinya sedikit keceriaan sebelum pertempuran. Dan menarik pipinya dengan gemas.
"Jangan sampai berlumuran darah terlalu banyak, Sayang. Aku sudah lelah membersihkan bajumu. Dan tunjukkan pada Iblis itu, kenapa Royal yang pemalas sepertimu bisa mendapatkan Kitsune tercantik di Kerajaan!"
Indra tersenyum kecil, senyum sejati pertamanya sejak tragedi itu dimulai. "Akan kulakukan, Kitsune-ku."
Indra melepaskan pelukannya, berbalik, dan berlari keluar menuju aula, menuju takdir yang menunggunya. Evelia ditinggalkan sendirian di ruang sakral itu, air matanya menetes saat ia menatap makam, bersiap untuk melaksanakan takdir yang telah ia pilih.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Indra melangkah keluar dari ruang Crystal of Life menuju aula utama yang hancur. Di sana, Indra menemui Lucius. Iblis itu berdiri di tengah reruntuhan, tersenyum sinis.
"Aku tahu kau akan datang, Royal cengeng," ejek Lucius. Lucius yang sudah babak belur oleh Araya—wajahnya memar, jubahnya robek, dan asap hitam masih mengepul dari beberapa luka bakar—tertawa puas. "Aku bahkan tidak perlu repot-repot memburumu."
Indra tidak menjawab, tatapannya dingin dan mematikan. Indra mensummon Heavy Railgunnya lagi—replika sempurna dari senjata Liini, hasil dari sihir Royalnya. Senjata berat itu kini tergantung di punggungnya.
Lucius menyinggung senjata Indra seperti gentong air. "Oh, senjata mainan yang sama. Kau pikir 'gentong air' itu akan berhasil melawanku? Kau tidak punya keberanian Guardian kecil itu—"
Lucius berhenti sejenak, menunjuk senjata di punggung Indra. "Itu terlihat seperti tong sampah yang dihias. Apa gunanya, Royal? Untuk menyembunyikan chi-mu yang menyedihkan?"
Namun hal itu tidak berhasil memancing Indra. Raja muda itu telah mengatasi amarah dan duka, menyalurkannya menjadi fokus murni.
Indra berbicara, suaranya tenang namun mengandung ancaman. "Kau terlalu banyak bicara, Lucius."
Tanpa peringatan, Indra dengan sangat mudah melempar Heavy Railgunnya ke Lucius. Senjata seberat itu melesat seperti proyektil berkecepatan tinggi.
Lucius tertawa, "Serangan bodoh!" Tepat saat Lucius menangkis lemparan Heavy Railgun dengan pedang gelapnya, Indra berteleport ke arah Heavy Railgun tersebut.
Dengan kecepatan instan, Indra muncul di depan Lucius. Ia meraih senjata berat itu, dan menampar Lucius dengan senjatanya itu—bukan menembak, melainkan menggunakan massa fisik senjata yang diperkuat chi—di samping kepala Iblis.
BUMMM!
Lucius menjerit, benturan itu begitu kuat hingga melampaui pertahanannya. Membuat Lucius terpental beberapa kilometer, menembus dinding luar Akademi, dan menghilang ke hutan di luar kota.
Indra berdiri tegak, Heavy Railgun kini tergantung santai di bahunya. "Satu pukulan untuk Liini," desis Indra.
.
.
.
Indra tidak menunggu Lucius pulih. Ia melesat keluar dari lubang di dinding yang baru saja diciptakan Lucius. Indra kembali melempar Heavy Railgunnya ke Lucius yang sedang berguling di antara pepohonan.
Lucius, baru saja sadar dari tamparan sebelumnya, melihat proyektil berat itu datang lagi.
"Sialan kau, Royal!" geram Lucius, mencoba menghindar.
Tapi Indra sudah mengantisipasi gerakannya. Tepat ketika Heavy Railgun itu mendekati Lucius, Indra berteleport ke arah Heavy Railgun tersebut, muncul di belakang senjata itu.
Kali ini, Indra menggunakan senjata itu untuk gerakan menyapu ke atas. Ia meraih Heavy Railgun dengan kedua tangan, dan kini menghempaskan Lucius ke udara dengan menampar menggunakan Heavy Railgunnya dari bawah, meluncurkan iblis itu tinggi ke langit malam.
BOOOM!
Suara benturan kembali bergema, dan Lucius meluncur ke atas seperti roket yang rusak.
"Itu untuk Miku!" teriak Indra, menatap ke atas.
Lucius menjerit saat ia menembus awan, tubuhnya dihantam oleh senjata yang sangat keras dan berat. Ia mencoba menstabilkan dirinya di udara, menyadari bahwa Royal muda itu tidak lagi bertarung dengan amarah, melainkan dengan efisiensi mematikan.
Indra mendarat kembali di tanah, Heavy Railgunnya kembali tergantung di punggungnya. Ia mendongak, matanya mencari keberadaan Lucius di langit.
"Sekarang," desis Indra, "saatnya untuk Akihisa."
.
.
Lucius melayang tak menentu di ketinggian, mencoba mengumpulkan energi gelap untuk serangan balasan. Ia melihat titik merah bergerak cepat di bawahnya.
Indra mendongak, lalu memberikan Lucius untuk menangkap Heavy Railgunnya dengan mudah. Ia melepas senjata itu, yang langsung terbang lurus ke atas dengan kecepatan yang lebih santai dari sebelumnya.
"Tangkap ini, Iblis!" seru Indra, suaranya naik ke udara.
Lucius menyeringai, mengira Indra sudah kehabisan ide. "Kau menyerahkan senjatamu? Bodoh!" Ia mengulurkan tangan untuk menangkap Heavy Railgun itu.
Saat Lucius tertabrak Heavy Railgunnya, ia tidak merasakan benturan, tetapi beban yang luar biasa. Senjata yang dilemparkan Indra bukanlah proyektil berkecepatan tinggi, tetapi beban murni. Heavy Railgun itu telah diresapi dengan Gravitasional Magic Royal Indra, membuatnya seberat sebuah mobil tank.
Lucius terkejut, keseimbangannya hilang total. Ia jatuh dengan cepat, tubuhnya didorong ke bawah oleh massa yang tidak terduga itu. "Apa-apaan ini?! Senjata ini... sangat berat!"
Lucius jatuh menembus pepohonan dan langsung menuju kota. Tepat sebelum Lucius menghantam tanah, Indra kembali teleport ke Lucius, muncul di samping Iblis yang sedang jatuh itu.
Indra meraih Heavy Railgun yang kini berfungsi sebagai palu, dan menamparnya membuat Lucius terpental beberapa kilometer secara horizontal menabrak bangunan kota. BOOM! Lucius menabrak beberapa gedung dan akhirnya tertanam di dinding beton, debu dan puing-puing berhamburan.
Indra berdiri di puing-puing, Heavy Railgun kembali di bahunya. "Itu untuk Akihisa dan Kizana."
.
.
.
.
Indra melangkah maju, kini fokus penuh pada Lucius yang terbenam di reruntuhan bangunan kota. Ia mengangkat Heavy Railgun di bahunya, mengunci target pada lokasi Lucius. Energi Royal yang dingin dan murni, yang diperkuat oleh chi yang ia ambil dari Kristal Kehidupan, mulai terkonsentrasi di laras senjata.
Kini Indra membidik Lucius dengan menembakkan satu missile. Ini bukan sembarang proyektil magic; ini adalah manifestasi paling terkonsentrasi dari sihir Gravitasi dan Royal miliknya.
"Kau menghancurkan segalanya," bisik Indra. "Dan aku akan menghancurkanmu."
Indra menamakan skill ini Dread Beam.
ZZZWUUUMMM!
Laser berwarna perak kebiruan yang sangat padat keluar dari Heavy Railgun. Laser bermassa sangat besar menuju Lucius. Ia bergerak dengan kecepatan cahaya, tetapi memiliki kepadatan seperti bintang neutron.
Lucius, meskipun seorang Iblis kuat, kini terlalu babak belur dan terkejut untuk bereaksi tepat waktu. Tidak sempat menghindar, membuatnya menerima semua volume dari laser tersebut.
KABOOOMMM!!!
Ledakan itu melenyapkan seluruh reruntuhan di sekitar Lucius. Lucius menjerit kesakitan yang melampaui batas fisiknya. Dread Beam itu tidak hanya membakar; ia menekan, meremukkan, dan menghancurkan setiap partikel gelap dalam tubuh Lucius. Ketika sinar itu mereda, Lucius tergeletak di kawah yang mengepul, tubuhnya gosong dan nyaris tidak dikenali, energi Iblis yang dicuri Amon pun terserap habis.
Indra menurunkan senjatanya. "Itu untuk Nina," desis Indra, air mata mengalir di pipinya karena melihat semua mayat temannya dalam pikirannya.
.
.
.
.
Indra tidak memberikan jeda. Ia tahu Lucius adalah Iblis yang licik dan sulit dibunuh. Indra melempar kembali Heavy Railgunnya ke Lucius yang terkapar di dasar kawah, sebagai penanda target.
Dan berteleport ke arah senjata itu, muncul tepat di hadapan Lucius yang tubuhnya berasap dan remuk.
"Kau pikir kau bisa bertahan?" desis Indra, wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari Lucius.
Kini membidik dengan sangat dekat, Indra mengangkat Heavy Railgunnya, laras senjata itu menempel di dahi Lucius. Indra kembali melancarkan Skill lainnya bernama Heavy Rail Beam. Ini adalah versi Dread Beam yang lebih terkonsentrasi, dirancang untuk menembus dan melenyapkan.
KREK!
Sinar yang jauh lebih tipis namun seribu kali lebih padat dan mematikan ditembakkan. Sinar itu menembus dahi Lucius dan menghantam tanah di belakangnya, meninggalkan lubang yang sempurna.
Jeritan Lucius terhenti tiba-tiba. Indra menarik senjatanya. Tubuh Lucius benar-benar terkoyak, dan Iblis itu seharusnya sudah mati.
Namun, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Tubuh Lucius beregenerasi layaknya Amon. Daging hangus itu bergerak, tulang yang patah menyatu dengan kecepatan tinggi, dan energi gelap mulai berputar kembali di sekelilingnya, meskipun jauh lebih lemah dari sebelumnya.
Lucius tersenyum, senyum yang mengerikan dan berdarah. "Kau lupa, Royal? Aku mengambil esensi bos-ku! Kekuatan regenerasinya adalah milikku sekarang! Aku bisa melakukannya sepanjang hari!"
Indra mundur selangkah, ekspresinya kembali dipenuhi kekecewaan. "Tidak mungkin."
"Ya, mungkin!" Lucius tertawa kecil, meskipun suaranya masih parau. "Kau hanya membuang-buang chi! Sekarang, mari kita lihat apakah Ratu-mu masih menunggumu ketika aku kembali!"
Lucius mencoba bangkit, bersiap untuk teleport.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tepat saat Indra menghadapi kenyataan regenerasi Lucius, di ruang bawah tanah Akademi, Araya tiba bersama Shiera di tempat Crystal of Life. Araya dengan mudah menemukan lokasi rahasia itu, dipandu oleh chi Evelia dan aura Higanbananya.
Evelia menyambut mereka, berdiri dari sudut ruangan. Wajahnya yang cantik dan biasanya ceria kini tampak pucat dan penuh duka, tetapi matanya memancarkan kelegaan saat melihat Araya.
"Araya-sensei! Shiera-san! Kalian kembali!" bisik Evelia, bergegas memeluk Araya.
Araya menerima pelukan itu dengan kaku. Di sebelahnya, dua jenazah yang diselimuti Higanbana melayang dengan tenang: Nuita dan Ratu Amanda.
Araya dan Shiera memandang jenazah yang ada di makam darurat. Mereka melihat lima gundukan tanah: Nina, Kizana, Akihisa, Miku, dan Liini.
Shiera terhuyung mundur. "Liini... Liini-san juga..." Air mata Shiera kembali mengalir, melihat sahabatnya kini beristirahat di samping para Sensei yang gugur.
Araya juga melihat banyak makam kosong di sisi lain ruangan, seolah Crystal of Life telah menyiapkan ruang untuk lebih banyak korban.
Araya menanyakan bagaimana situasi sekarang kepada Evelia.
"Lucius... dia membunuh mereka semua, Araya-sensei," kata Evelia, suaranya tercekat. "Tapi Indra... Indra sedang bertarung melawannya sekarang."
Saat itu juga, terdengar suara ledakan dan getaran hebat di luar. Itu adalah dampak dari Heavy Rail Beam Indra.
"Aku merasakannya," ujar Araya, pandangannya beralih ke langit-langit. "Indra sudah di luar. Dia bertarung dengan amarah. Tapi... Lucius kini memiliki regenerasi Amon."
Araya menatap mata Evelia. "Katakan padaku, Evelia. Bagaimana situasi sekarang? Apa yang harus kita lakukan? Hanya ada kau, aku, dan Shiera yang tersisa."
Evelia mengambil napas dalam. "Ada dua hal, Sensei. Lucius bisa beregenerasi, tapi dia menghabiskan energi. Dan yang paling penting..." Evelia menatap Odachi di punggung Araya. "...Aku tahu persis kenapa Lucius datang ke sini, dan kita harus menghentikannya sebelum dia masuk ke ruang ini."
.
.
.
.
.
Evelia menghela napas, menguatkan dirinya. Ia tahu setiap detik berharga karena getaran hebat di luar menunjukkan intensitas pertarungan.
Evelia melanjutkan penjelasannya kepada Araya. "Lucius tidak datang untuk membunuh Indra saja. Dia datang untuk mencuri sumber kekuatan regenerasi itu. Crystal of Life."
Evelia menunjuk ke Kristal raksasa yang bersinar redup. "Kristal ini tidak hanya menopang Kerajaan, tapi juga berfungsi sebagai backup energi vital bagi Royal dan Kitsune tingkat tinggi. Regenerasi yang Lucius curi dari Amon, dia ingin membuatnya permanen dengan menyerap energi Kristal."
"Dia butuh regenerasi cepat karena dia tahu dia tidak bisa mengalahkanmu, Araya-sensei. Dia akan kembali ke sini. Itu targetnya," tutup Evelia, suaranya dipenuhi urgensi.
Sedangkan Shiera terduduk lemas di sebelah Liini. Ia memeluk lututnya, menangis dalam keheningan yang tersisa.
Melihat adegan duka itu, Araya menurunkan jenazah Ratu Amanda dan Nuita pada makam kosong tersebut. Ia tidak lagi menggunakan kata-kata, tetapi Higanbananya dengan lembut membaringkan kedua tubuh itu di gundukan tanah yang disiapkan oleh Kristal.
Setelah selesai, Araya berdiri di antara makam keluarganya dan Kristal. Ia mengambil Odachi Ratu Amanda
.
"Kau benar," kata Araya, nadanya kini dingin dan logis. "Dia akan datang ke sini. Dan kita akan siap."
Araya menoleh ke Shiera. "Shiera. Bangun. Kita punya tugas."
Shiera mengangkat wajahnya yang penuh air mata. "T-tapi... Sensei..."
"Kematian mereka telah terjadi," potong Araya tegas. "Sekarang, kita buat kematian ini memiliki arti. Aku butuh Kristalmu, Shiera. Cepat. Bangun."
Shiera tersentak, lalu mengangguk. Ia mengusap air matanya dan berdiri, energi Kristalnya perlahan bangkit.
"Evelia," panggil Araya, menatap Ratu Kitsune itu. "Indra akan kelelahan. Tapi aku yakin, dia akan mengarahkan Lucius ke sini. Kau harus siap dengan kontrak rahasiamu. Ini adalah perang yang harus kita menangkan."
.
.
.
.
.
.
.
.
Araya baru saja selesai menjelaskan strateginya—menggunakan Kristal Kehidupan sebagai umpan dan pertahanan terakhir—ketika bahaya muncul tanpa suara.
Tepat saat selesai menyusun rencana, sebuah lingkaran sihir muncul di bawah Evelia tanpa peringatan, bersinar dengan cahaya gelap. Sebelum Evelia sempat bereaksi, dan langsung memindahkannya.
Araya berteriak, "Sial!" Araya sadar kemana perginya dan segera mengejarnya, melesat keluar dari ruangan Crystal of Life dengan kecepatan Higanbana Effect yang eksplosif. Diikuti Shiera yang mengaktifkan energi kristalnya. Shiera memandang Liini sekilas sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu, air mata tertahan oleh urgensi.
Di luar, di reruntuhan kota tempat Lucius terpental, Indra sedang mempersiapkan serangan Heavy Rail Beam berikutnya ketika Lucius muncul kembali.
Lucius berdiri, tubuhnya hampir sepenuhnya beregenerasi, meskipun aura kegelapan di sekitarnya tampak sedikit tidak stabil. Evelia muncul di samping Lucius dari sisa-sisa lingkaran sihir.
Lucius mencengkeram leher Evelia hingga tidak menyentuh tanah. Cengkeraman itu kuat, dan Evelia terengah-engah, mode Namithanya berkedip-kedip.
"Selamat datang kembali, Royal!" teriak Lucius, tertawa sinis. "Aku bilang aku akan kembali untuk Ratu-mu! Aku tidak pernah berbohong!"
Indra melihatnya. Semua rasa sakit, duka, dan pengorbanan yang ia saksikan kini memuncak menjadi kemarahan yang tak terkendali. Indra melihatnya menjadi semakin emosi.
"Lepaskan dia, Iblis!" raung Indra, Heavy Railgunnya diacungkan.
"Aku akan melepaskannya setelah aku mengambil semua kekuatan Kitsunenya!" balas Lucius.
Tiba-tiba, suara tenang dan dingin menusuk gendang telinga Lucius.
Araya muncul tepat di belakang Lucius. Katana-nya yang dilapisi darah dingin menempel di belakang kepala Lucius.
"Satu sentuhan lagi pada istri adikku, Lucius," desis Araya. "Dan aku bersumpah, aku akan menghapusmu dari dimensi ini. Jangan bergerak."
Pada saat yang sama, Shiera muncul di belakang Indra, katana kristalnya siap.
"Kami bersamamu, Komandan!" kata Shiera.
Situasi tegang mencapai klimaksnya: Lucius menyandera Evelia; Araya menyandera Lucius; Indra dan Shiera siap menyerang.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Cakar Lucius semakin menekan leher Evelia, membuat Ratu Kitsune itu terengah-engah. Lucius yang merasa terpojok mulai memancing emosi mereka—senjata pamungkasnya ketika kekuatan fisik gagal.
"Mau lihat Kitsune ini mati di tangan Raja Iblis barumu, Royal?" desis Lucius, tawanya penuh ancaman. "Dia akan mati, dan aku akan memiliki kekuatannya! Sama seperti aku membunuh Guardian kecilmu! Sama seperti aku membunuh semua orang yang kau cintai!"
Indra meraung, hampir kehilangan kendali atas aura berserk-nya. "Kau tidak akan menyentuhnya!"
Disaat itu juga Araya perlahan menusukkan pedangnya ke belakang kepala Lucius. Ujung katananya yang dilapisi energi Higanbana menembus kulit iblis itu.
"Ini peringatan terakhirmu, Lucius," suara Araya sedingin es. "Kau tidak ingin tahu apa yang akan terjadi jika darah Arch Guardian Bayangan masuk ke otakmu."
Lucius menjerit kesakitan, terkejut dengan kecepatan dan ketenangan Araya. Namun, ia tidak melepaskan Evelia.
"Mati saja kau, Bayangan!" balas Lucius, mencoba bergerak.
Saat Lucius sibuk dengan ancaman Araya, Shiera mengambil keputusan cepat. Ia tahu Araya tidak bisa bergerak leluasa tanpa membahayakan Evelia. Saat itu Shiera membekukan Lucius dengan kristalnya.
Dengan teriakan, "Sekarang, Sensei!" Shiera melancarkan gelombang energi kristal ungu ke seluruh tubuh Lucius. Kristal itu menyebar dari kaki Lucius yang terbenam di tanah, membekukan tubuhnya dengan cepat, meskipun tidak sekuat kristal yang membekukannya di Akademi.
Waktu terasa berhenti. Lucius terkejut dan terperangkap, cengkeramannya pada Evelia melemah karena kristal itu menembus kulitnya.
Tepat pada sepersekian detik kelengahan itu, Araya memotong tangan yang mencengkeram Evelia. Dengan gerakan kilat, katananya menebas pergelangan tangan Lucius yang memegang Evelia, memutusnya bersih.
Lucius meraung kesakitan. Evelia jatuh ke tanah, batuk dan terengah-engah.
"Evelia!" teriak Indra, bergegas ke sisi istrinya.
Araya menarik pedangnya dan menendang Lucius yang kini terjebak di dalam kristal dan kehilangan tangan. "Permainan selesai, Iblis."
.
.
.
.
.
.
.
Meskipun kehilangan tangannya dan terperangkap dalam kristal, Lucius tidak kehilangan akal liciknya. Saat itu Lucius tertawa terbahak-bahak.
"Kau pikir itu berhasil?! Bodoh! Aku punya ribuan mata!"
Tiba-tiba, bayangan Lucius muncul dari tanah, memadat, dan dengan cepat mengalihkan pandangan Araya. Bayangan itu berbentuk kabut hitam tebal yang melingkari Araya.
"Tetap di tempatmu, Bayangan! Kau punya musuhmu sendiri!" raung Lucius dari dalam kristal.
Araya memutar katananya untuk menangkis serangan bayangan. "Sialan!"
Seketika Shiera juga melawan bayangan Lucius lainnya, yang muncul dari celah-celah reruntuhan, mencoba melindungi Indra.
Sementara Araya dan Shiera teralihkan, Lucius, dengan kekuatan regenerasi yang dicuri dan sisa energi gelapnya, berhasil memecahkan kristal yang menahannya, meskipun tubuhnya masih terluka parah.
Saat Indra memeluk Evelia yang terengah-engah, tiba-tiba Lucius berada di belakang mereka.
"Selamat tinggal, Royal!" teriak Lucius.
Lucius kembali mencekik Evelia dengan tangan yang baru saja beregenerasi.
Evelia menatap mata Indra, air mata mengalir, tetapi ia tersenyum lega. Ia tahu ini adalah saatnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Saat terakhir Evelia mengucapkan kata terakhirnya kepada Indra. Suaranya lembut namun penuh kasih.
"Terima kasih... telah menjadi suamiku, Sayang. Dan aku sangat mencintai... kucing es-ku..."
Panggilan masa lalu yang penuh kasih sayang itu—panggilan yang sudah lama ia tidak dengar—menembus hati Indra.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
KRAK!
.
.
.
.
.
.
.
.
Evelia meninggal dengan lehernya dipatahkan oleh Lucius. Tubuhnya lemas di tangan Indra, mata Kitsunenya kehilangan cahayanya.
Lucius tertawa histeris, "Sempurna! Sekarang, kekuatannya—"
Lucius berhenti. Ia melepaskan jenazah Evelia. Akan tetapi ia tidak merasakan energi Kitsune pada Evelia. Tidak ada aura Namitha yang bisa ia serap.
"Apa?! Mana kekuatannya?! Kau bodoh! Kau menyembunyikannya!" raung Lucius frustrasi.
Indra melihat hal itu menjadi sangat marah. Matanya, yang awalnya berwarna merah menjadi biru cerah Royal, kini dipenuhi amarah yang membara. Ia menggendong jenazah Evelia dengan lembut, lalu meletakkannya di sampingnya.
Di sisi lain, suara Namitha muncul di alam bawah sadar Indra. Suara Arch-Kitsune itu bergema, kuat dan penuh tekad.
"Indra. Aku di sini. Kontrak telah terpenuhi. Kita sekarang satu. Bangkitlah."
Indra merasakan energi luar biasa, kuno, dan hangat memenuhi setiap selnya. Di saat yang sama, Suara Arch Guardian—inti dari kekuatannya sendiri yang tak ia sadari selama ini—menyambut kekuatan baru itu.
"Selamat datang, Namitha. Akhirnya, keturunan ini bisa menggabungkan kita. Kekuatan Royal dan Kitsune kini utuh."
Indra bangkit. Ia tidak lagi Indra yang cengeng. Ia adalah Indra, Arch Guardian Royal yang kini menyatu dengan Namitha. Ia adalah Raja yang telah kehilangan segalanya.
Indra menatap Lucius dengan mata yang kini memancarkan cahaya biru dan keemasan.
"Kau," desis Indra, suaranya berlapis, terdiri dari kemarahan Royal dan ketenangan Kitsune. "Kau akan mati di sini."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kemarahan Indra, yang kini dibimbing oleh ketenangan Namitha dan kekuatan Arch Guardian-nya, mentransformasi dirinya. Heavy Railgun di bahunya mulai beresonansi dengan chi yang baru diserap.
Kini Heavy Railgun-nya melancarkan energi tak terbatas karena penyembuhan Arch Kitsune. Senjata itu tidak lagi membutuhkan chi dari Indra; ia ditenagai langsung oleh energi kehidupan murni Namitha yang baru bergabung.
Heavy Railgun itu bersinar dengan cahaya keemasan lembut, dikelilingi oleh aura biru Royal.
Indra menatap Lucius, yang kini memancarkan kekuatan Iblis yang baru dan arogan.
"Kau membunuh mereka. Kau membunuh istriku," kata Indra, suaranya tenang namun mematikan.
Indra melesat melawan Lucius dengan kecepatan yang melebihi batas teleportasinya sebelumnya. Tabrakan antara Arch Guardian Royal-Kitsune dengan Iblis yang menyerap kekuatan Amon itu menghasilkan gelombang kejut yang merobohkan sisa-sisa bangunan.
Lucius terkejut dengan kecepatan dan kekuatan baru Indra. "Apa?! Energi ini... kau menyerapnya?!"
Perhatian Lucius sepenuhnya beralih ke Indra. Karena fokus iblis itu terganggu, bayangan yang melawan Araya dan Shiera hilang karena terfokuskan ke Lucius asli.
Araya merasakan tekanan energi bayangan menghilang. Ia menoleh ke arah Indra yang kini mendominasi pertarungan. Wajahnya yang tegang mengeras menjadi keyakinan.
"Dia berhasil," bisik Araya. "Kontraknya berhasil."
Araya segera bergabung dengan Indra, melesat menuju pertarungan, katana dan Odachi di punggungnya siap digunakan.
Di belakang, Shiera membantu menggunakan teknik kristalnya. Ia menembakkan proyektil kristal ke medan pertarungan, tidak hanya untuk menyerang Lucius tetapi juga untuk menciptakan barrier dan pijakan strategis bagi Indra dan Araya.
"Lucius! Aku tidak akan memberimu kesempatan untuk bernapas!" teriak Indra, mengayunkan Heavy Railgun-nya yang kini terasa seringan bulu, mendaratkan serangkaian serangan fisik yang brutal.
Lucius mencoba meregenerasi luka-lukanya, tetapi energi serangan Indra sangat padat hingga menghambat proses regenerasi.
"Kalian akan mati! Kalian semua akan mati!" raung Lucius.
Araya muncul di sisi Lucius, menusukkan katananya yang dilapisi Higanbana ke punggung Iblis itu.
"Ini adalah pembalasan dendam. Kau telah menghabiskan semua keberuntunganmu, Lucius," desis Araya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kolaborasi antara Indra dan Araya di medan pertempuran mencapai tingkat keharmonisan yang mematikan.
Perpaduan Arch Guardian Bloody Queen Araya dengan Arch Guardian Arch Kitsune Indra menjadikannya combo yang indah antara Bunga Higanbana dengan Bunga Sakura. Energi Royal Indra yang kini diresapi Namitha memancarkan aura emas dan biru yang menyerupai mekarnya bunga Sakura, memberikan kekuatan, kecepatan, dan chi tak terbatas. Sementara Higanbana Araya, yang merah darah, berfungsi sebagai serangan mematikan, menusuk dan menghapus esensi Iblis.
Araya bergerak dengan presisi, membelokkan Heavy Railgun Indra untuk memaksa Lucius ke dalam sudut yang ia inginkan.
"Di sana, Adik!" teriak Araya, mengacu pada ikatan persaudaraan mereka sebagai kakak sepupu.
Indra mengangguk tanpa kata, memahami maksud Araya. "Ambil itu, Iblis!"
Indra melepaskan rentetan Dread Beam yang lebih kecil, tetapi kini diresapi oleh energi Kitsune yang membakar kegelapan, memaksa Lucius untuk menggunakan regenerasinya secara berlebihan.
Shiera yang membantu dari belakang terharu dan menangis melihat pemandangan itu. Kombinasi chi yang indah dan mematikan itu adalah harapan terakhir yang mereka miliki.
Ia menoleh ke belakang, ke tempat Evelia terbaring. Shiera melihat Evelia yang terbaring lemas namun auranya tetap menenangkan sekalipun ia sudah meninggal. Evelia telah menjadi Namitha yang terakhir dan terhebat.
"Kalian... kalian berhasil," bisik Shiera, katana kristalnya gemetar. "Aku akan pastikan kalian bangga."
Shiera memfokuskan sihir kristalnya, menciptakan sembilan tombak kristal ungu yang melesat ke arah Lucius, menembus titik-titik lemah yang diciptakan oleh serangan Araya.
Lucius menjerit, energinya terkuras habis. "Tidak! Aku Raja Iblis! Aku tidak bisa kalah dari pecundang dan Bayangan!"
Indra, dengan mata penuh tekad, mengangkat Heavy Railgunnya untuk serangan akhir. "Pergilah ke ketiadaan, Lucius."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Saat Indra mengangkat Heavy Railgunnya untuk melancarkan serangan akhir, suara-suara yang akrab, yang penuh kasih, dan yang hilang, beresonansi bukan di udara, melainkan langsung di dalam inti Arch Guardian Indra, didorong oleh perpaduan Namitha dan Crystal of Life yang sakral.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kata-kata penyemangat terdengar kembali.
.
.
.
.
.
Dari hati seorang jenius yang setia:
Royal Nuita Elysion, Kakak Sepupu Indra: "Indra! Gunakan otakmu! Jangan hanya amarah! Gunakan semua yang kami ajarkan! Aku akan memberimu presisi. Sekarang, Arch Guardian! Hancurkan dia dengan keakuratan yang mematikan!"
.
.
.
.
.
Dari bayangan yang berlari di sampingnya:
Kizana Shoujin, Sahabat Indra: "Indra! Jangan ragu! Serang dengan kekuatan yang kuajarkan padamu! Jangan biarkan pengorbananku sia-sia!"
.
.
.
.
.
.
.
.
Dari senyum yang memudar:
Nina Yamada, Adik Sepupu Indra: "Kakak Indra! Balaskan dendam bayi kita! Aku tahu kau kuat! Tunjukkan pada Iblis itu kekuatan yang sesungguhnya!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dari harmoni terakhir:
Miku, Sahabat Indra: "Indra-kun! Harmoni kita ada padamu! Kau adalah nada tertinggi! Hancurkan dissonance itu!"
.
.
.
.
.
.
Dari tekad yang abadi:
Akihisa, Sahabat Indra: "Indra! Jangan pikirkan kami! Pikirkan masa depan Kerajaan! Maju, sahabatku!"
.
.
.
.
.
.
.
Dari Guardian termuda:
Royal Liini Jisuya, Adik Indra ke-5: "Kakak Indra! Kami bangga padamu! Aku tidak akan mati sia-sia! Selesaikan misimu!"
.
.
.
.
.
.
Dari mereka yang mendahului:
Royal Raina, Adik Indra ke-4: "Aku sudah beristirahat dengan baik, Kakak! Sekarang, balas dendamlah untuk kami!"
Royal Agito, Adik Indra ke-3: "Ingat semua pelajaran pedang! Gabungkan semuanya! Kau adalah penerus kami!"
Royal Natsuya, Adik Indra ke-2: "Indra! Kekuatanmu diaktifkan oleh cinta! Gunakan itu untuk menghancurkan kegelapan!"
Royal Riana, Adik Indra ke-1: "Indra! Jangan biarkan ketakutan mengendalikanmu! Kalahkan dia demi Kerajaan kita!"
.
.
.
.
.
.
Dari pendahulu dan pilar Kerajaan:
Royal Amanda Yamada, Bibi Indra: "Bangkit, keponakanku! Kau adalah Raja! Aku memberimu kekuatan terakhirku! Tunjukkan pada mereka kemarahan Sang Ratu!"
Royal Nia Sayaka, Ibu Indra: "Anakku. Aku mencintaimu. Jadilah kebaikan yang mengalahkan kejahatan!"
Royal Railord, Ayah Indra: "Putraku. Aku bangga padamu. Gunakan Arch Guardian-mu untuk mengakhiri perang ini!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dan yang terakhir, dengan cinta abadi:
Royal Evelia Namida, Istri Indra: "Kucing Es-ku! Aku mencintaimu! Aku ada di sini! Gunakan Namitha! Menangislah setelah kau menang! Kalahkan dia untuk kita!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Indra menutup mata sesaat, energi Arch Guardian Royal-Kitsune meledak dari dirinya. Ia tidak lagi bertarung sendirian.
"Ini... adalah akhirmu, Lucius!" raung Indra, mengarahkan Heavy Railgunnya, yang kini bersinar dengan gabungan energi biru Royal dan emas Kitsune yang tak terbatas.
Indra membuka matanya. Tekadnya kini sempurna. Kecepatan Namitha, kekuatan Royal, presisi Nuita, dan kepemimpinan Amanda berpadu dalam dirinya.
"Terima kasih," bisik Indra, ditujukan kepada semua yang ia cintai dan hilang.
Ia mengarahkan laras Heavy Railgunnya, memfokuskan semua energi tak terbatas ke dalam satu titik tunggal.
"Ini... adalah untuk Kerajaan," kata Indra.
.
.
.
.
.
.
.
.
KABOOOOMMM!!!
.
.
.
.
.
.
.
Heavy Railgun meluncurkan serangan pamungkas: Cosmic Dread Beam. Sinar itu melesat lurus, menembus tubuh Lucius yang tak berdaya. Kali ini, tidak ada regenerasi. Sinar itu bukan hanya menghancurkan materi, tetapi juga esensi Iblis itu sendiri. Lucius menjerit untuk terakhir kalinya, jeritan yang putus asa, sebelum ia lenyap sepenuhnya, tanpa meninggalkan jejak.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Energi dari Cosmic Dread Beam mereda, meninggalkan kawah yang mengepul dan keheningan yang menakutkan di reruntuhan kota. Lucius telah lenyap sepenuhnya.
Saat itu, Indra sudah kelelahan. Energi Arch Guardian Royal-Kitsune yang luar biasa itu, ditambah beban emosional dari semua suara yang ia dengar, mengurasnya hingga batas. Ia terhuyung dan ambruk.
Araya menangkapnya, dengan cepat bergerak dari belakang Lucius yang lenyap. Ia menahan tubuh Indra, menstabilkan Raja muda itu. Higanbana Araya kembali meredup, menyimpan energi.
"Sudah berakhir, Royal," bisik Araya, lega terdengar dalam suaranya.
Shiera memandang Evelia yang kini terlihat tersenyum tipis. Jenazah Ratu Kitsune itu terbaring di tanah, tetapi ada aura kelegaan dan kepuasan yang terpancar darinya, seolah misinya telah selesai.
Shiera terkejut melihat senyum terakhir itu. Sekilas Shiera menggelengkan kepalanya, tidak percaya pada keajaiban atau ilusi yang ia lihat, namun ia tersenyum senang. Pertarungan telah dimenangkan, dan pengorbanan mereka terbayar.
Araya memuji Indra sambil membopongnya. Ia menghela napas, melihat Indra yang lemas namun hidup.
"Kau berhasil, Indra," kata Araya, nadanya kini penuh rasa hormat. "Kau mengalahkan Iblis yang bahkan tidak bisa kulakukan sendirian. Kau bukan hanya seorang Raja yang pemalas lagi. Kau adalah Arch Guardian sejati."
Indra membuka matanya yang kelelahan. "Evelia... dia berhasil, Kakak Araya," bisik Indra, suaranya parau. "Dia dan semua orang..."
"Ya," jawab Araya lembut. "Mereka semua berhasil. Sekarang, saatnya kita kembali ke rumah. Kita punya banyak hal untuk diurus."
Araya menoleh ke Shiera. "Shiera. Bersihkan area ini. Jangan sampai ada jejak. Lucius sudah hilang, tapi kita tidak ingin menarik perhatian yang lain."
"Siap, Araya-sensei!" jawab Shiera, segera menggunakan sihir kristalnya untuk menutupi kawah dan menghilangkan sisa-sisa energi gelap.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Beberapa saat kemudian, setelah Shiera membersihkan sisa-sisa pertempuran, mereka bertiga kembali ke dalam ruangan Crystal of Life. Araya dengan lembut membawa Indra yang kelelahan, sementara Shiera mendampingi mereka.
Indra, meskipun lemas, menggunakan sisa kekuatannya untuk membaringkan jenazah Evelia di makam yang tersisa. Evelia dibaringkan di makam kosong, di samping makam Nina.
Jenazah lainnya, Kizana, Nina, Miku, Akihisa, Amanda, Nuita, dan Liini sudah berada di makam kosong yang disiapkan oleh Kristal. Total ada delapan makam, berjejer dengan rapi.
Araya, Indra, dan Shiera berdiri dalam keheningan, memberikan penghormatan terakhir.
Saat itu juga, tanpa ada yang menyentuh, penutup makam batu otomatis bergerak menutup di atas kedelapan makam tersebut. Gerakan itu disertai dengan cahaya keemasan lembut dari Crystal of Life.
Setelah makam tertutup sepenuhnya, terasa suara semburan api—bukan api yang membakar, melainkan energi murni yang panas—yang ternyata Crystal of Life mengamati mereka. Cahaya dari Kristal itu berdenyut, menyelimuti makam dan tiga sosok yang tersisa dengan aura sakral.
"Apa yang terjadi?" bisik Shiera, terkejut.
Araya, yang kini berdiri tegak, menjawab, "Ini adalah upacara. Kristal ini menerima kembali energi mereka. Mereka akan beristirahat di jantung Kerajaan."
Indra, yang kini bersandar pada Araya, menatap makam Evelia dengan mata yang penuh air mata namun tenang.
"Mereka sudah aman," bisik Indra, suaranya sedikit lebih kuat. "Mereka tidak akan pernah bisa diganggu lagi."
Dari Kristal itu, suara yang dalam dan berwibawa, namun menenangkan, beresonansi dalam pikiran mereka, tidak lagi hanya kepada Indra, tetapi kepada semua yang ada di ruangan itu: "Pengorbananmu telah menjaga Kerajaan. Jiwa para Arch Guardian dan Royal ini akan bersemayam di sini, menjaga Kristal ini, dan menjaga kalian. Perang telah usai."
Araya menundukkan kepalanya. "Sekarang, Royal," kata Araya, berbicara kepada Indra. "Kau harus kembali ke Istana. Kau harus menunjukkan dirimu kepada Rakyat. Perang sudah berakhir, tetapi Kerajaan harus dibangun kembali."
.
.
.
Indra menggelengkan kepalanya pelan, matanya masih menatap makam Evelia.
"Tidak, Kak Araya," balas Indra, suaranya tenang. "Semua yang ada di kota sudah dibantai habis. Tidak ada Rakyat yang tersisa di sini, kecuali mayat dan Iblis yang tersesat. Istana sudah hancur total. Kerajaan ini... hanya ada di sini," katanya, menunjuk makam dan Kristal.
Araya mengerti, tatapan matanya mengeras karena kenyataan pahit itu. Maka dari itu, ia mengajak Indra dan Shiera untuk ke rumahnya yang rahasia.
"Baiklah. Kalau begitu, tidak ada gunanya berpura-pura," kata Araya, masih membopong Indra. "Aku punya rumah tersembunyi di luar Kerajaan. Tempat yang tidak akan pernah ditemukan oleh Iblis."
Araya menoleh ke Shiera. "Aku akan memasak untuk kalian. Aku tahu Indra suka masakan rumahku."
"Benar, Kak Araya," gumam Indra, senyum tipis terukir di bibirnya.
Araya menyuruh mereka untuk kali ini istirahat karena tahu Kerajaan ini tidak bisa diapakan lagi. Kehancuran total yang ditinggalkan Lucius dan Amon terlalu besar.
"Kita sudah berjuang. Kalian sudah menang. Tugas kalian sekarang adalah istirahat," ujar Araya, pandangannya beralih ke Shiera. "Aku akan mengurus yang tersisa. Aku akan mengunci Akademi dan Istana. Kalian berdua, ikut aku. Kita akan beristirahat untuk waktu yang lama."
Shiera, yang masih berdiri di sana, mengangguk, lega karena pertarungan sudah usai. "Baik, Araya-sensei."
Araya melangkah menuju pintu keluar ruangan Crystal of Life, membopong Raja terakhir Kerajaan, diikuti oleh Guardian terakhir yang tersisa.
.
.
.
.
.
.
.
.