Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 05
Di kediaman keluarga Ismail, mereka sedang menikmati makan malam dengan formasi lengkap. Biasanya mereka hanya bertiga saja, namun satu bulan belakangan ini mereka selalu makan malam berempat, karena Biru belum kembali ke pesantren Darul Hikmah.
Salma terus menatap putra sulungnya, Biru, dengan penuh selidik, sebab wajah tampan itu selalu menampilkan senyum menawannya sejak tadi. Salah, tapi sejak beberapa hari belakangan ini. Biru memang ramah dan selalu tersenyum jika bertemu seseorang, namun Salma menangkap senyum yang berbeda pada putranya kali ini, ada kesan tersembunyi.
"Astaghfirullahaladzim," ucap Mail terkejut karena kakinya yang berada di bawah meja ditendang seseorang.
"Abi kenapa?" tanya Bilal. Biru hanya terdiam melihat Abinya, sedangkan Salma terlihat cuek menikmati makanannya.
"Kaki Abi digigit semut." kata Mail menggelengkan kepalanya, pria itu tahu jika yang menendang kakinya adalah sang istri.
"Semut?" beo Bilal. Biru menautkan alisnya, sangat tidak mungkin jika dirumahnya ada semut.
"Semutnya punya kaki dua ya, Bi." celetuk Biru berhasil membuat Salma tersedak.
Uhuk ... uhukkk ... uhukkk ...,
Bilal yang mulai paham hanya bisa menggelengkan kepalanya, sambil memberikan segelas air putih pada Salma.
"Berbohong itu dosa, Abi." sindir Bilal. Mail menghela nafasnya pelan. "Lagian kenapa harus bohong? Disini kan cuma ada aku sama mas Biru." sambung Bilal kembali melanjutkan makannya.
"Kamu tanya sama Umi, tuh. Kenapa nendang kaki Abi," ucap Mail membuat Salma membulatkan matanya.
"Dasar gak peka," batin Salma kesal pada Mail.
"Kenapa sih, Mi?" Bilal mulai kepo. Salma berdehem pelan sebelum menjawab pertanyaan putranya.
"Ini tentang Gus Biru." kata Salma. Biru yang mendengar namanya disebut langsung menghentikan makannya.
"Memangnya Biru kenapa?" tanya Biru bingung menatap Salma.
"Itu dia yang mau Umi tanyakan. Kamu itu kenapa? Umi perhatikan belakangan ini kamu sering senyum-senyum sendiri." ucap Salma membuat tiga pria yang ada di ruangan itu mengangguk dan ber 'oh' ria.
"Kamu lagi jatuh cinta, ya?" tebak Salma. "Kapan Umi bisa melamar Hilya?" tanya Salma penuh semangat.
Uhukkk.....
Kini Biru yang tersedak hebat karena pertanyaan Salma. Pria itu langsung menyambar segelas air putih yang ada di depannya.
"Kalau makan itu jangan lupa berdoa. Biar gak tersedak!" Bilal menggelengkan kepalanya, padahal sebelum mulai makan malam, Bilal lah yang memimpin doa bersama.
"Umi kenapa sih?" geram Biru membuat Salma bingung.
"Memangnya Umi kenapa?"
"Umi bilang mau melamar Hilya, untuk siapa? Untuk Abi?"
Uhukkk.....
Ya, bahkan sang kepala keluarga kini ikut tersedak. Bilal bahkan menepuk jidatnya sebelum memberikan minum pada Ismail.
"Bisakah kita bicara setelah selesai makan malam?" ucap Mail dengan nada rendah, namun tidak dapat dibantah.
...
"Sekarang kita bisa bicara," ucap Mail. Mereka berada diruangan keluarga dan sudah selesai makan malam.
"Kapan kita melamar Hilya?" ulang Salma menatap Biru.
"Hilya? Untuk siapa? Untuk...," Biru langsung mendapatkan lemparan bantal dari Salma.
"Jangan bilang untuk Abi! Tentu saja untuk kamu, Gus." geram Salma.
"Tapi Biru tidak suka dengan Hilya, Umi. Biru sudah menganggap Hilya seperti adik, bagaimana bisa Biru...,"
"Hilya itu suka sama kamu, Gus! Jangan pura-pura tidak tahu!"
"Biru juga suka dengan Hilya, Umi. Tapi sebagai..."
"Adik!" sela Salma. "Memangnya Hilya mau jadi adik kamu?" Salma menatap tajam Biru.
"Umi, kita tidak bisa memaksa Gus." Mail menengahi perdebatan itu.
"Abi! Hilya itu calon istri dan calon menantu yang cocok dan pantas untuk keluarga kita." tegas Salma.
"Itu menurut Umi," sahut Biru.
"Memangnya ada yang lebih pantas dari Hilya? Atau kamu..."
"Ya, Biru sudah memilih calon istri Biru. Dan yang pasti itu bukan Hilya," ucap Biru yakin dengan perkataan nya. Bilal yang mendengar itu hanya tersenyum, karena Bilal sangat tahu siapa yang dimaksud Biru.
"Benarkah? Siapa?" tanya Salma antusias. Salma tidak pernah melihat Biru dekat dengan wanita lain selain Hilya. Karena Biru kebanyakan menghabiskan waktunya di pesantren Darul Hikmah.
"Biru minta waktu dua bulan lagi." ucap Biru menatap Salma dan Ismail bergantian.
"Baiklah, semoga wanita itu lebih baik dari Hilya." sahut Salma masih sangat terobsesi menjadikan Hilya sebagai menantunya.
"Umi..." ucap Mail dan Biru bersamaan.
"Seperti apapun dia, Biru sudah memilihnya. Biru harap, Abi dan Umi bisa menghargai pilihan Biru." pinta Biru, lalu beranjak dari duduknya dan pergi ke luar.
"Abi minta, Umi bisa menghargai pilihan Biru dengan menekan ego, Umi." ucap Mail. Istrinya memang selalu mengutamakan bibit bebet bobot dalam segala hal. Termasuk calon menantu.
"Ckk, Umi hanya ingin yang terbaik untuk anak-anak Umi. Memangnya itu salah?" kesal Salma.
"Yang terbaik menurut Umi, bukan berarti baik menurut anak-anak." sahut Mail. Bilal manggut-manggut mendengar pembicaraan orang tuanya.
"Bilal! Kamu tahu siapa wanita itu?" tanya Salma dengan tatapan penuh selidik.
"Emmm, Bilal udah janji gak akan kasih tahu siapa-siapa." ucap Bilal menatap Salma dan Ismail. "Termasuk Abi dan Umi," sambungnya, pria berusia 25 tahu itu beranjak dan mengikuti Biru keluar dari rumah.
"Ckk," decak Salma kesal karena gagal mengorek informasi dari Bilal.
"Sudahlah, sebaiknya Umi istirahat. Abi mau melihat anak-anak dulu di pesantren." Mail juga beranjak hingga meninggalkan Salma seorang diri.
"Nasib kalau dalam keluarga cuma satu wanitanya." gumam Salma memilih masuk dalam kamarnya.
...
Hagia memasang seat belt di car seat Hasya dengan hati-hati. Hari ini, Hagia akan membawa Hasya bertemu dengan Heru. Sebab sudah lebih dari tiga bulan gadis cilik itu tidak bertemu dengan ayahnya, terhitung sejak Heru mengembalikan Hagia pada Malik, hingga keduanya resmi bercerai.
Ayah satu anak itu tidak pernah datang menemui putrinya, atau sekedar menelepon dan menanyakan kabar. Yang lebih menyakitkan lagi soal nafkah, Heru sama sekali tidak pernah mengirimkan uang nafkah untuk Hasya. Baik itu nafkah Iddah, nafkah mut'ah, atau nafkah madhiyah.
Meski begitu, Hagia tidak mempermasalahkannya. Mengingat saat masih menjadi istri Heru, Hagia jarang mendapatkan nafkah yang memadai. Hagia lebih sering menggunakan uangnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Duduk yang manis, bunda nyetir ya." ucap Hagia membelai lembut pipi chubby Hasya. Gadis cilik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya sambil memegang boneka kelinci favoritnya.
"Seharusnya Mas Heru ada dirumah, ini hari minggu." gumam Hagia mulai melajukan mobilnya. Hagia sendiri terakhir bertemu Heru, saat putusan pengadilan. Bahkan saat pengambilan akta cerai, Heru di wakilkan oleh pengacaranya.
Setelah mengemudi selama 55 menit, Hagia menghentikan kendaraan roda empat itu di halaman rumah mantan mertuanya. Dari luar, terlihat sangat ramai karena beberapa kendaraan terparkir rapih dihalaman.
"Sepertinya sedang ada acara." gumam Hagia keluar dari mobil, dan langsung membuka sabuk pengaman Hasya.
"Yey... Hasya ketemu ayah." sorak Hasya dengan wajah berseri dalam gendongan Hagia.
"Nanti kalau Bunda ajak pulang, Hasya jangan menangis, ya." ucap Hagia pelan. Wanita itu memang hanya berjanji akan membawa Hasya bertemu dengan ayahnya, tapi tidak dengan menginap.
"Sepertinya memang sedang ada acara keluarga." ucap Hagia pelan, melihat deretan mobil yang berjejer adalah milik saudara Heru. Ya, Hagia masih ingat saat melihat platnya.
Hagia menghentikan langkahnya ketika melihat hiasan balon berwarna biru, dan ornamen lainya, belum lagi suara nyanyian yang samar-samar terdengar. Hagia kembali melangkahkan kakinya hingga suara nyanyian itu semakin terdengar jelas di indera pendengarannya.
Deg....
Hagia terpaku, tanpa sadar mengeratkan tangannya yang sedang menggendong Hasya. Pemandangan di depan matanya membuatnya merasa sakit hati. Semua orang terlihat bahagia, mereka tersenyum lebar tanpa beban atau rasa bersalah. Mata Hagia memanas, rasa sakit dan kecewa memenuhi hatinya.
*
*
*
*
*
TBC
🍁Jangan lupa tinggalkan kritik dan saran 🍁