Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08
Saat jam istirahat tiba, Raya menyendiri di pojok taman sekolah. Ia duduk di bangku kayu yang terletak di bawah pohon besar, tempat biasanya ia dan Dava bertukar cerita.
Tangannya kembali menyentuh perutnya. Masih rata. Perasaan mual masih menggantung seperti awan hitam yang tak mau pergi. Ia harus tahu. Tak bisa hanya mengandalkan firasat. Tapi bagaimana? Ia tak punya uang, apalagi keberanian untuk membeli tes kehamilan sendiri. Ia bahkan takut untuk memikirkan apa yang mungkin akan ditunjukkan benda itu.
“Kalau kamu diam terus, aku bakal khawatir banget, tahu nggak?” suara Dava memecah lamunannya.
Raya menoleh cepat, lalu menunduk. “Maaf… aku cuma… butuh waktu sendiri.”
Dava duduk di sampingnya, tanpa memaksa Raya untuk bicara. Ia tahu Raya butuh waktu, tapi ia juga tahu bahwa meninggalkannya sendiri bukan pilihan.
“Kamu nggak harus cerita sekarang,” ucap Dava pelan. “Tapi kapan pun kamu siap, aku di sini.”
Raya mengangguk pelan. Kehadiran Dava memang menenangkan, tapi rasa takut dalam dirinya belum siap untuk terbuka sepenuhnya. Ia hanya bisa berharap waktu akan membantunya mengurai simpul luka yang makin menjeratnya.
Beberapa hari berlalu, dan gejala yang Raya rasakan makin nyata. Mual di pagi hari, tubuh lemas, dan emosi yang semakin tak stabil. Ia berusaha menyembunyikannya, tapi tubuhnya makin sulit diajak kompromi. Ketika Bik Asih menyadari perubahan kecil pada pola makan dan raut wajah Raya, naluri keibuannya mulai waspada.
Suatu malam, saat suasana rumah mulai tenang dan hanya suara jam dinding yang terdengar, Bik Asih masuk ke kamar Raya membawa segelas susu hangat.
“Nduk… kamu kelihatan makin pucat akhir-akhir ini. Makanmu juga nggak seperti biasa. Kamu sakit?” tanyanya hati-hati.
Raya terdiam. Tangannya mengenggam gelas erat-erat, menahan gemetar.
“Aku cuma… capek aja, Bik,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.
Namun, Bik Asih belum sepenuhnya percaya. Tatapannya lekat menelusuri wajah Raya yang tampak sedikit membengkak, dan gerakan tangan gadis itu yang tanpa sadar sering menyentuh perutnya. Ada keresahan dalam sorot matanya saat ia menarik napas panjang, lalu berkata dengan lembut,
“Kalau kamu butuh sesuatu, bilang saja sama Bik asih. Apa pun itu... Bik asih pasti bantu, Nduk. Kamu tahu itu, kan?”
Raya mengangguk pelan, meskipun hatinya tahu ia belum siap menceritakan semuanya. Rasa malu dan takut masih mengunci bibirnya rapat-rapat.
“Bik…” panggilnya lirih.
Bik Asih menoleh cepat, menatap Raya dengan perhatian yang tak pernah pudar.
“Apa, Nduk?”
“Apa Raya boleh… meminjam uang sedikit?” suaranya hampir tak terdengar.
“Untuk beli obat. Raya merasa nggak enak badan.”
Bik Asih memicingkan mata, mencoba membaca lebih dalam di balik kata-kata itu. Tapi ia tak ingin mendesak. Ia hanya mengangguk pelan dan mengusap kepala Raya dengan lembut.
“Tentu boleh. Bik asih ada simpan sedikit. Nanti Bik asih ambilkan, ya. Tapi janji, kalau kamu butuh apa-apa, jangan dipendam sendiri.”
Raya mengangguk sekali lagi. Kepalanya menunduk dalam. Ia tahu Bik Asih tulus, tapi ada sesuatu yang menghalanginya untuk membuka semuanya. Terlalu berat. Terlalu menyakitkan.
Tak lama kemudian, Bik Asih kembali dengan selembar uang lusuh di tangan, lalu menyelipkannya ke telapak tangan Raya dengan hati-hati.
“Jangan lupa makan, Nduk. Obat apa pun nggak akan bisa bekerja kalau perutmu kosong.”
Raya tersenyum tipis, meski senyumnya tak sampai ke mata.
“Iya, Bik. Terima kasih...”
Saat Bik Asih meninggalkannya sendiri, Raya menggenggam uang itu erat-erat. Ini langkah pertama. Langkah menuju kebenaran yang selama ini ia takutkan. Ia harus membeli tes kehamilan. Ia harus tahu. Dan apa pun hasilnya nanti... ia tahu hidupnya tak akan pernah sama lagi.
***
Keesokan harinya....
Sore itu, Raya melangkah keluar rumah dengan langkah pelan dan gugup. Di saku jaket yang ia kenakan, uang dari Bik Asih terasa begitu berat, seolah mewakili beban keputusan yang harus ia ambil. Hatinya berdebar keras saat menyusuri trotoar menuju minimarket kecil yang letaknya tak jauh dari gerbang perumahan elit yang ia tinggali. Ia memilih waktu saat matahari mulai turun, berharap tak banyak orang yang mengenalinya di sana.
Langkahnya sempat terhenti di depan pintu minimarket. Ia memandangi kaca etalase yang memantulkan bayangan dirinya. pucat, lelah, dan dipenuhi kecemasan. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengumpulkan keberanian.
“Cepat. Ambil, bayar, lalu pergi,” gumamnya dalam hati.
Ia melangkah masuk, disambut dinginnya udara dari pendingin ruangan. Matanya menelusuri rak demi rak, hingga menemukan rak kecil di bagian belakang yang berisi perlengkapan kebersihan dan kesehatan. Tangannya gemetar saat meraih satu kotak kecil berwarna putih-biru. Tes kehamilan.
Ia memeluk kotak itu erat-erat, lalu berjalan cepat ke kasir. Petugas kasir adalah seorang perempuan muda yang tampak sibuk memeriksa ponselnya. Ketika melihat barang yang dibawa Raya, perempuan itu hanya melirik singkat tanpa berkata apa-apa.
Raya meletakkan uang di atas meja dan menerima kembalian tanpa suara. Ia hanya mengangguk kecil, lalu buru-buru keluar dari minimarket dengan napas tertahan. Udara sore terasa menyesakkan saat ia melangkah pergi, menyembunyikan kotak itu dalam tas kecilnya seolah itu adalah benda terlarang.
Setibanya di rumah, ia tidak langsung masuk. Ia duduk sejenak di teras belakang, memandangi langit yang mulai menggelap. Tangan kirinya meraih kotak itu dari dalam tas. Ia membolak-baliknya, membaca petunjuk di belakang kemasan meski pikirannya terlalu kabur untuk memahami.
“Kalau dua garis… berarti positif,” bisiknya, suara itu bergetar. “Kalau satu… mungkin aku masih punya waktu untuk sedikit bernafas.”
Ia tidak bisa menunda lagi.
Perlahan, ia masuk ke dalam rumah dan menyelinap menuju kamar mandi. Ia mengunci pintu, lalu menatap bayangannya sendiri di cermin. Gadis itu tampak ketakutan. Tapi tak ada jalan kembali.
Dengan tangan gemetar, ia membuka kotak itu. Prosedurnya sederhana, tapi rasanya seperti tantangan terbesar dalam hidupnya.
Beberapa menit kemudian, Raya duduk di lantai kamar mandi, menatap alat kecil di tangannya. Waktu menunggu terasa seperti selamanya. Jantungnya berdegup kencang, peluh dingin mengalir di pelipisnya. Ia memejamkan mata, tak sanggup melihat hasilnya.
Tapi akhirnya, ia membuka mata perlahan.
Dua garis merah. Jelas.
Dunia seakan berhenti berputar. Suara di luar kamar mandi menghilang. Yang tersisa hanya detak jantungnya sendiri dan rasa hampa yang begitu pekat.
Tangannya gemetar saat menjatuhkan alat itu ke lantai. Napasnya memburu, tubuhnya lemas.
Ia hamil.
Air mata yang sudah lama tertahan akhirnya jatuh juga, mengalir tanpa suara. Bukan hanya karena ketakutan. Tapi karena kenyataan bahwa tubuhnya telah benar-benar menjadi saksi dari neraka yang ia alami selama ini.