Dia adalah gadis yang selalu tenggelam dalam gemuruh pemikirannya sendiri, di penuhi kecemasan, dan terombang-ambing dalam sebuah fantasinya sendiri.
Sehingga suatu teriknya hari itu, dari sebuah kesalahpahaman kecil itu, sesosok itu seakan dengan berani menyatakan jika dirinya adalah sebuah matahari untuk dirinya.
Walaupun itu menggiurkan bagi dirinya yang terus berada dalam bayang, tapi semua terasa begitu cepat, dan sangat cepat.
Sampai dia begitu enggan untuk keluar dari bayangan dirinya sendiri menerima matahari miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma syafitri Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hujan Yang Dingin Mengigit, Menunggu Dalam Gelap dan Terang.
.
.
Sosok itu meniup pelan kepada teh yang masih panas dalam cangkir cantik yang di sediakan khusus untuk dirinya, suasana ruangan ini terkesan lebih gelap di karena cahaya mentari yang kini tertutup oleh awan kelabu yang berjalan pelan dengan kilatnya di atas sana.
Saat dia terbangun, dirinya berada di tempat ini sendirian, tanpa kehadiran sosok pria itu di mana pun iris hitamnya beredar dalam ruangan ini. Sudah lebih dari satu jam setengah dia terbangun, dengan Winda yang entah bagaimana bisa langsung datang, dan memberikan beberapa makanan, camilan dan minuman mahal untuknya.
Tentu dirinya masih enggan untuk benar-benar menghabiskan makanan-makanan mahal itu, bahkan matanya hampir keluar saat mengetahui apa yang Winda bawakan sebagai makan siang dirinya saat itu.
Itu adalah sebuah spageti, yang di lumeri dengan keju yang dia tahu itu keju termahal, dan juga di piring lainnya tertata berisi Steak Wagyu A5.
Dengan berbagai jenis camilan cokelat, ataupun kue cokelat yang terlihat lezat pula.
Tentu rasa lapar yang melanda dirinya, membuat dia tidak bisa menolak untuk memakan makanan mewah itu, dengan perlahan dan begitu kesusahan setiap sedok yang berhasil masuk ke dalam mulutnya terasa begitu asing dan sangat tidak seleranya.
Sungguh makanan mewah bukan berarti makanan yang enak untuknya.
Yuck....
Itu tidaklah terlalu buruk....
Namun tidak terasa enak pula untuk lidah dirinya.
Hah..... dasar orang kampungan!!!
Tidak bisa memakan makanan mahal!
Oi.....
Bukankah kamu sendiri juga memprotes setiap rasa makanan itu, kurang asinlah... kurang pedaslah.... terlalu berlemak dan membuat eneklah....
Ya.... karena semua itu memang benar apa adanya.
Oh.... Revander, jujur saja kamu masih lapar setelah memakan, makanan ‘enak’ itu namun kamu sangat ingin keluar gedung dan pergi ke sebuah kedai makanan di belakang gedung ini untuk menjadi pengantinya bukan?
UUhh.....
Itu.....
Hal yang sudah terencana baik di kepalanya sendari tadi.
Tapi dia juga tahu.....
Melakukan hal sederhana seperti itu, juga tidak sesederhana seperti itu pula adanya.
Karena.....
Dia selalu di awasi oleh pria itu entah dari mana saja.
Uuhh....
Dia kembali menghembus tehnya itu, dan sedikit menyeruputnya perlahan.
Hujan tampak telah turun dengan begitu deras, dengan jam dinding telah menunjukkan angka 16.45.
Lima belas menit lagi adalah waktu jam pulang kerja.
Tapi melihat kondisi cuaca seperti ini, dia benar-benar terasa malas bahkan untuk pulang ke ‘rumah’ itu.
Rumah dengan sebuah amarah besar tengah menunggumu di sana?
Apakah kamu yakin ingin tetap kembali mendengar suara-suara yang memekakkan telinga dan membuat sakit kepalamu itu lagi?
Lalu harus apa lagi dia lakukan hmm...?
Memang itulah yang bisa dia lakukan di mana pun dia berada bukan?
Diam-Diam-Diam-dan-Diam.
Tapi itu adalah hal yang sudah memuakkan!!!
MEMUAKKAN!!!!
Sang gadis meletakkan kembali cangkir itu pada meja di hadapannya, sebelum dia merebahkan setengah badannya pada sofa itu, dengan pandangan mata yang menjadi kosong.
Tentu dia muak untuk terus menjadi seorang yang diam di dalam rumah itu.
Menjadi seorang yang mengalah, kepada hal yang tidak salah untuknya.
Dan dari awal dia tidak pernah salah.
Itu kesalahan mereka!!!!
Mereka yang salah!!!
Mereka yang salah!!!
Dan dia yang harus diam.
Kenapa....?
Seketika sang gadis itu bangkit lagi, dengan salah satu kaki bagian kirinya kini terangkat lurus pada sofa itu, menarik pelan celana kain miliknya itu.
Menunjukkan sebuah luka hitam yang begitu jelek terukir di sana.
Matanya tetap kosong, seperti sebuah lubang hitam yang tidak berdasar dan tidak terbaca pula.
Ahhhh....
Ya luka ini....
Luka yang menjadi tanda jika.....
Ini semua salahnya bukan?
Luka dari sebuah kejadian yang mereka terus berkata ‘jika saja’ dan ‘jika saja’ kepada dirinya. Lalu itu berubah menjadi sebuah bisikan-bisikan kata dan terus mengalir menjadi sebuah kata ‘jika dialah yang salah’.
Dan karena itu pula, hal-hal yang selalu di katakan kepada dia secara berulang.....
Membuat dia percaya jika dialah yang salah, dan dialah yang harus diam.
Karena diam adalah jalan terbaik untuk bertahan di dalam rumah itu.
Dan kamu tahu...
Jika kamulah yang tidak salah di sana, jika merekalah yang telah gagal untukmu....
Suasana yang semakin menggelap dan dingin berhasil membuat tubuhnya terasa lemas, dan menggigil. Efek dari cuaca di luar dan kondisi ruangan ber AC di tengah hujan, adalah suatu kombo yang tidak dia sukai.
Dia menurunkan kembali bagian celana yang dia tarik.
Tubuhnya bergetar pelan, sebelum kembali terbaring miring pada sofa itu. Mengatur nafasnya yang terasa melambat, dan perlahan pula rasa lelah luar biasa kembali menghadangnya.
Uuuhhh....
Dia kembali merasakan kantuk ini.
HHHaaaaa............
Tubuh itu kembali menggigil kedinginan.
Dia menutup iris hitamnya dengan perlahan, merasakan debaran jantungnya pula ikit memelan.
Dia....
Dia.... begitu lelah.....
Mungkin..... sedikit.... memejamkan mata.....itu....tidak masalah bukan?
.
.
.
Kamu tahu bukan....
Jika saja di antara mereka saat itu......
Ini tidak akan.......
Maka semua perkataan itu.......
.
Dan rasa sakit yang kamu dan mereka buat tidak seburuk ini....
Dan kamu tidak harus diam-diam dan diam.......
Dan mungkin saja....mungkin saja.....
.
.
.
Flauza mengetuk salah satu jari telunjuknya itu pada meja kayu di hadapannya itu, dengan tangan lain miliknya menopang dagunya pada sandaran tangan pada kursi kebesaran berbahan kain.
“So.... You said that the girl's father was the reason she couldn't rest peacefully last night?” Iris cokelat menggoda milik sang pria itu menatap malas namun tajam kepada pria pirang yang telah mengikutinya bahkan sejak mereka masih kecil.
“Oh my lord, today when I picked up Miss from her residence, I had time to listen to several screams, and then her father also seemed to 'chase' Miss Revander as she came out of her residence."
Flauza mendengus kecil dan ketukan jemarinya kepada meja kayu itu.
“and what have you said to that man Tobito?"
“I am only saying that I am a messenger from Miss's friend who was sent to escort and pick up Miss, my Lord. Does that sound too much for you my Lord?”
Entah kenapa mendengar jawaban dari sang tangan kanannya itu, berhasil membuat pria itu tersenyum atau seringai lebar.
Begitu lebar sampai-sampai seorang Tobito, dapat merasakan dingin yang menusuk dari arah pria di hadapannya itu.
“Hhhmmm...”
“My Lord?”
Keheningan terjadi di antara kedua pria itu dengan ketukan jemari pada meja menjadi latar belakang dari suasana dingin di ruangan itu.
“To be honest Tobito.... I'm a little disappointed in what you said to that man you said was the ‘Father' of my Revander.” Gumam Flauza dengan nada yang di buat-buat kecewa.
“My apologize my Lord, I didn't mean to disappoint you .”
“Hhmmm.... I wish you would say, to that man if, his daughter already belongmine.” lanjut Flauza tanpa begitu peduli dengan hal-hal di sekitarnya. “And whatever is mine, no one else has the right to make her feel anything, if it is not from myself...?”
Tobito kembali terdiam mendengar semua gumaman Sang Tuan di hadapannya.
“But.... if I act too excessively with all of this, it will only scare her of me, isn't that how Tobito?"
Pria pirang itu tidak menjawab apapun dari pertanyaan sang Flauza.
“how disappointing indeed....But, it also makes a tiny bit creak...---“ Flauza menghentikan sejenak perkataannya. “ahhh... not a hole, wide enough for me to get into it”
“What will you want to do in the future, my lord?"
Ketukan jemari Flauza berhenti, lalu dia menyandarkan tubuhnya kepada kursi itu dan memutarnya dengan perlahan menghadap dinding kaca yang menampilkan gelapnya hari efek awan kelabu di luar sana.
Hujan sudah mulai turun.
Apa yang harus di lakukannya?
“I could see it Tobito, the girl wanted to untie the chains wrapped around her wings.” Mata cokelat itu terus memandang lurus sana. “Oh... I could see and feel it if, she wanted to untie the chains from her wings, whether it was from them or from me. But......----
But she didn't break of the chain, for fly free, no...! not to fly freely Tobito. And it make want more.... and more to bind her, because she did not seek freedom.
So I have to wait, Tobito....
If what you're saying, is what's going on, I'll just have to wait until she's flying back to me, and I'll lock her up in a place that's comfortable for her.”
Tutup Flauza kini menolehkan kepalanya kepada Tobito, masih dengan senyuman itu, dan juga kini iris cokelat itu mengilat-kilat berbahaya penuh dengan makna.
Diantara rasa serakah yang kuat....
Ingin memiliki....
Dan....
Sesuatu yang begitu tidak Tobito sangka dapat dia lihat dari sesosok Flauza Evangrandene.
Sesuatu yang bisa di katakan sebuah cinta?
Tapi apakah cinta itu seperti ini?
Tobito yakin ini bukanlah cinta biasa.
“Ahhh... lihatlah sudah jam berapa ini! Sudah waktunya untuk kembali, bukan?” Kini Flauza bangkit dari kursinya itu, merapikan sedikit pakainya yang masih tampak rapi itu, lalu melangkah keluar dari meja kayu menuju pintu ruangan itu. Flauza masih tersenyum lebar pada wajah tampannya itu. “sebaiknya aku segera kembali, atau tidak dirinya akan kebingungan mencari keberadaanku.” Dia melangkah dengan tenang melewati Tobito yang masih berdiri diam bak patung di sana.
“Aku tidak ingin dia menunggu terlalu lama untukku.”
Langkah Flauza bergema di ruangan itu dengan begitu elegannya, membuka pintu itu dalam diam, dan menutup pintu itu pelan pula.
Setelah beberapa detik dari perginya keberadaan sang Tuan Evangrandene itu dari ruangnya, terdengar Tobito menghembuskan nafasnya cukup kuat, seakan berusaha menenangkan tubuhnya yang sendari menegang akan kehadiran Tuannya itu.
Sedikit menggerakkans kepalanya ke kiri dan ke kanan menghilangkan rasa tegang pada area sekitar lehernya.
Pekerjaannya tentu belum selesai, seharusnya dia segera menyiapkan kendaraan untu mengatar Nona Revander kembali ke rumahnya.
Namun untuk beristirahat beberapa menit itu bukanlah sebuah masalah kan?
Ya itu bisa sedikit menunggu, karena dia tahu jelas Tuannya itu pasti ingin menghabiskan waktu sedikit lebih lama kepada sang gadis berambut hitam miliknya itu.
Menunggu ya....
Pria berambut pirang itu terduduk di sofa ruangan itu dengan pandangannya menatap ke atas ruangan.
Menunggu gadis itu terbang kembali kepada sang Tuan?
......
Dia tidak yakin akan hal itu.
.
.
.
Bagaimanapun dirinya melihat di antara keduannya, orang yang tidak bisa menunggu itu adalah seorang yang lebih besar cahayanya di ruang gelap di sana.
Sedangkan bayangan itu sendiri.....
Hanya diam tidak bergerak, ataupun berpindah sedikitpun untuk melawan cahaya yang terus-terus membakar di sana.
.
.
.
Tobito kembali menghembuskan nafasnya dengan kuat.
Dia begitu yakin....
Sangat yakin....
Jika Flauza Evangrandene.....
Tidak akan bisa menunggu untuk gadisnya itu.