"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
Di ruang belakang yang sejuk, hanya diterangi sinar matahari yang menembus celah-celah jendela kayu, Resi Wiranggeni duduk dengan punggung tegak. Tatapannya masih mengarah ke pintu, memastikan tak ada telinga lain yang menguping. Argadhanu, yang biasa dipanggil Dhanu, duduk bersila di seberangnya, kedua tangannya bertumpu pada lutut, namun ada ketegangan yang tak mampu ia sembunyikan.
“Dhanu...” bisik Wiranggeni dengan suara dalam, “aku merasa... pemuda itu, Lingga... bukan orang sembarangan.”
Dhanu menyipitkan matanya. Napasnya mengalir pelan, namun hatinya mulai dilanda gelombang gelisah. “Aku pun merasakan hal yang sama, Wiranggeni. Saat menatap matanya tadi... seolah ada sesuatu yang besar tersembunyi di dalam dirinya.”
Wiranggeni hendak melanjutkan, namun langkah ringan terdengar mendekat. Tak lama kemudian, Mitha muncul sambil membawa sebuah nampan anyaman bambu. Di atasnya tersaji teh panas dalam cangkir tanah liat dan sepiring singkong rebus serta kue cucur hangat.
“Ini untuk Ayah dan Resi,” kata Mitha sambil meletakkan nampan di meja kecil di antara mereka. Senyumnya manis, namun matanya sekilas melirik ke arah sang Resi, seperti menyadari percakapan yang sempat terhenti saat kehadirannya.
Dhanu bersandar, mencoba mencairkan suasana yang sempat tegang. “Lho, Mitha... itu Lingga di belakang, apa nggak disuguhi apa-apa?” tanyanya sambil mengangkat alis.
Mitha tersenyum sambil merapikan letak cangkir. “Sudah, Yah. Barusan aku bawakan pisang goreng sama sari buah markisa. Dia lagi duduk santai di kebun.”
Dhanu tertawa pendek dan menggoda, “Wah, berarti Ayah di-nomor duakan ya? Tamu baru malah yang disajikan duluan.”
Mitha tersipu, pipinya bersemu merah. Ia tak berkata apa-apa, hanya menunduk sebentar, lalu segera pamit. “Kalau begitu, aku ke dapur dulu, Yah...” gumamnya pelan sebelum berbalik dan pergi.
Begitu Mitha menghilang di balik pintu, Wiranggeni tak bisa menahan diri untuk berkomentar sambil tersenyum samar. “Hm... sepertinya putrimu itu... tertarik pada Lingga sejak pandangan pertama.”
Dhanu menghela napas panjang, lalu mengangkat bahu. “Entahlah, Resi. Aku dan Mitha baru kenal Lingga hari ini. Kami belum tahu latar belakang anak itu seperti apa. Siapa orang tuanya, dari mana asalnya yang sebenarnya... semua masih misteri.”
Wiranggeni mengusap janggutnya yang mulai memutih. “Kalau sudah jodohnya, Dhanu... mau sejauh apapun, tak akan lari ke mana.”
Dhanu tersenyum getir. “Benar kata Resi. Tapi aku belajar dari masa lalu... Jangan sampai Mitha mengalami seperti aku. Aku dulu dijodohkan... akhirnya, ya begini...” Suaranya merendah, dan ia menunduk, bayangan wajah mantan istrinya melintas di benaknya. “Kini aku dan ibunya Mitha sudah berpisah.”
Wiranggeni menepuk bahu sahabat lamanya itu, memberikan semacam penguatan. “Biarlah Mitha yang memilih jalannya sendiri, Dhanu. Aku hanya berharap... jika Lingga memang bagian dari takdirnya, semoga jalannya dimudahkan.”
Dhanu mengangguk pelan, meski ada bayang-bayang cemas di matanya. Ia tahu, dunia tak pernah sesederhana itu.
Namun suasana ringan itu segera berubah ketika Wiranggeni menghela napas dalam, dan dengan suara rendah namun tegas berkata, “Tapi... ada hal lain yang lebih mendesak, Dhanu. Aku kemari bukan sekadar bersilaturahmi.”
Dhanu mengangkat kepalanya, tatapannya menajam. “Apa itu, Resi?”
Wiranggeni menatap lurus ke mata sahabatnya. “Aku dengar... padepokanmu ini akan digusur oleh pihak kerajaan Wesibuwono.”
Dhanu sontak menegang. Tangannya mengepal di atas lutut, dan wajahnya yang tadi santai kini berubah menjadi campuran antara kebingungan dan kemarahan. “Apa? Dari mana kau dengar kabar itu, Wiranggeni? Siapa yang berani menyebarkan fitnah seperti itu?”
Wiranggeni mengangkat tangan, memberi isyarat agar Dhanu menenangkan diri. “Jangan terbawa emosi dulu, sahabatku. Aku mendengar ini langsung dari salah satu muridku yang bekerja di istana Wesibuwono. Katanya... sudah ada pembicaraan tentang rencana penggusuran padepokan-padepokan kecil di sekitar wilayah perbatasan.”
Dhanu menggeleng keras, wajahnya pucat namun matanya membara. “Tapi kenapa? Padepokanku ini sudah berdiri puluhan tahun. Aku tak pernah mencampuri urusan politik kerajaan. Aku bahkan selalu membayar pajak tepat waktu. Apa aku sudah mengusik mereka tanpa aku sadari?”
Wiranggeni menunduk, menggeleng pelan. “Aku pun belum tahu alasan pastinya. Tapi... biasanya, bila kerajaan bergerak seperti ini... ada sesuatu yang lebih besar yang tengah mereka persiapkan.”
Dhanu mengusap wajahnya, hatinya kini benar-benar cemas. “Kalau benar demikian... aku harus mencari tahu. Aku tak akan biarkan tanah ini, tempat aku mengajar dan membesarkan Mitha, dirampas begitu saja.”
Wiranggeni menepuk bahu Dhanu dengan lebih keras, memberi kekuatan. “Tenangkan pikiranmu, Dhanu. Kita cari tahu bersama. Dan... aku curiga, semua ini... entah bagaimana, ada kaitannya dengan hal 'itu'.”
Dhanu mendongak, menatap Resi Wiranggeni dengan campuran keterkejutan dan kegelisahan. Sementara di luar, angin sore bertiup lebih kencang, seolah alam pun ikut merasakan kegelisahan yang baru saja tumbuh di hati mereka.
"Semoga saja bukan..."
*