Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Devan tersenyum, kenangan indah pertemuan kedua mereka muncul kembali di benaknya. Namun, senyum itu malah membuat Nara semakin penasaran.
“Di mana pertemuan keduanya, Dev?” tanya Nara, suaranya sedikit mendesak.
Wanita itu menggoyang-goyangkan lengan Devan dengan lembut, ketidaksabarannya terlihat jelas. Nara yakin, pertemuan kedua mereka pasti terjadi di klub Heaven, saat ia mabuk dan terus mengoceh, memaki Endra dan Renata.
Devan memegang tangan Nara, menenangkan istrinya yang mulai tidak sabar. “Iya, iya. Sabar!” katanya, suaranya terdengar lembut.
Pria itu terdiam sejenak, tatapannya intens, menatap Nara dalam-dalam. Ia merapikan rambut Nara yang tadi diacak-acaknya. Sentuhannya terasa lembut dan penuh kasih sayang.
“Pertemuan kedua kita di hotel,” kata Devan, suaranya pelan, menciptakan rasa penasaran yang semakin membuncah di hati Nara yang kini mengerutkan kening. “Di hari pernikahan Endra dan Renata. Waktu itu aku nggak sengaja lihat kamu sendirian di … rooftop hotel. Kamu lagi nangis.”
Nara mengerutkan kening, mencoba mengingat. Kemudian, kilasan ingatan muncul. Ia memang bertemu seorang pria di rooftop hotel di hari pernikahan Endra dan Renata. Ia tidak mengenali wajahnya karena pria itu mengenakan topi dan masker.
“Aku ingat kamu berdiri di tepi, menatap lampu-lampu kota yang bersinar indah malam itu, berbeda dengan kamu yang terlihat sangat rapuh, dan hancur. Aku mendekat, tapi tidak berani mengganggumu. Aku hanya mendengarmu berbisik, menumpahkan kesedihanmu karena ditinggal menikah oleh tunanganmu sendiri, dan juga adik kandungmu. Mungkin saat itu,kamu merasa seperti dunia runtuh di hadapanmu. Aku ingin menghiburmu, tapi aku tak tahu harus berkata apa. Akhirnya, aku hanya berdiri di dekatmu, menawarkanmu air mineral, dan kamu menerimanya.”
Nara langsung ingat kejadian yang dimaksud Devan saat itu. “Aku ingat, waktu itu kamu bilang sesuatu, tapi karena suara di sana cukup bising, aku nggak dengar jelas.”
“Waktu itu aku bilang, ‘Aku tahu ini sangat menyakitkan. Tapi percayalah, kamu akan melewati ini. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.’”
Devan menatap Nara dengan mata yang penuh pengertian. “Kata-kataku mungkin nggak banyak membantu saat itu, tapi saat itu aku berharap kehadiranku sedikit memberikanmu kekuatan.”
Senyum Nara mengembang, sebuah kehangatan memenuhi hatinya. Ia tak menyangka pria yang pernah menghiburnya di masa terpuruk adalah Devan, suaminya sendiri. Rasa haru memenuhi dadanya, ia memeluk Devan erat-erat.
“Aku nggak nyangka ternyata itu kamu,” bisik Nara, suaranya bergetar karena emosi.
Devan membalas pelukan Nara, memberikan kecupan lembut di puncak kepalanya. “Sekarang kamu ingat, ‘kan? Heaven itu tempat pertemuan kita yang ketiga, tapi itu benar-benar nggak sengaja,” kata Devan, suaranya lembut dan penuh kasih sayang.
Nara melepaskan pelukannya, menatap Devan lekat-lekat. Banyak hal yang belum ia ketahui dan membuat rasa penasarannya membuncah.
“Jadi … malam itu …” kata Nara, suaranya sedikit ragu-ragu.
“Itu kebetulan aja. Aku lagi cari hiburan sama Dio, dan ternyata kamu ada di sana sama Anya,” sahut Devan, menjelaskan semua.
Ingatan Devan melayang ke malam tak terlupakan itu. Jantungnya berdebar kencang saat melihat Nara berjalan ke arahnya, wajahnya memerah karena mabuk. Nara merampas minumannya, sebuah tindakan yang membuat Devan terkejut sekaligus bahagia.
“Hei, itu minumanku!” Devan masih ingat protesnya kala itu, tatapannya tak lepas dari Nara yang asyik menghabiskan minumannya.
Nara malah semakin mengoceh, memaki Endra dan Renata, meluapkan emosinya. Hal itu membuat Devan menahan senyum dan semakin mengagumi Nara.
Namun, tiba-tiba Anya muncul, terlihat mabuk dan sempoyongan. Tubuhnya yang hampir ambruk, berhasil dipegangi Dio. “Pak Devan, bolehkah saya titip teman saya? Saya nggak kuat ngurusin dia,” kata Anya saat itu yang cukup mengejutkan Devan.
Devan melihat Nara yang masih asyik minum. Melihat ini sebagai kesempatan, ia meminta Dio mengantar Anya pulang, sedangkan ia akan mengurus Nara.
Malam itu, Devan menemani Nara minum hingga mabuk berat, lalu memutuskan untuk mengantarnya ke hotel terdekat karena tak tahu alamat rumahnya.
Sepanjang perjalanan dari klub menuju hotel, keadaan Nara semakin parah. Ia terus memeluk Devan erat-erat, hingga akhirnya muntah di baju Devan. Bau muntahan memenuhi mobil, tapi Devan tak keberatan. Ia justru merasa terharu melihat Nara yang begitu membutuhkannya.
Setelah muntah, bukannya tenang, Nara malah semakin menjadi-jadi. Di tengah mabuknya, ia memuji ketampanan Devan tanpa henti, bahkan berani mencium Devan berkali-kali.
Lalu, ada momen saat Devan hampir bertengkar dengan seorang tamu hotel yang mabuk berat dan salah kamar. Emosi Devan benar-benar naik, tubuhnya mendidih karena amarah. Namun, pelukan Nara—yang masih erat memeluknya—menenangkan amarahnya. Ciuman Nara yang tiba-tiba mendarat di bibirnya, membungkam amarahnya. Rasanya seperti angin sejuk yang menerpa jiwanya yang panas.
Di antara kesadaran dan mabuknya, Devan merasakan bahwa Nara adalah perisai yang melindunginya dari sesuatu yang buruk, sesuatu yang mungkin akan meledak jika Nara tidak ada di sisinya. Pelukan Nara, ciuman Nara, menjadi penahan yang kuat bagi emosinya yang tak terkendali. Malam itu, di tengah kekacauan, Devan menemukan kedamaian yang tak terduga dalam dekapan Nara.
“Kamu kenapa senyum-senyum?” tanya Nara, tatapannya tajam dan penuh curiga.
Devan tersentak dari lamunannya, mengembalikannya dari ingatan indah malam itu yang masih terasa hangat. Pria itu mencium bibir Nara dengan lembut, lalu menjawab, “Nggak apa-apa, aku cuma mau bersyukur aja sekarang kamu udah jadi istriku.”
Nara masih belum puas mendengar jawaban Devan. “Kamu kerjasama sama Anya, ‘kan, malam itu?” tuduh Nara, sambil kembali memeluk Devan erat-erat. “Kamu harus belikan dia tas karena membantuku kerja di perusahaanmu.”
Devan tampak terkejut, dan melepas pelukan mereka sebentar. “Tapi aku sudah minta Dio kasih dia hadiah tas sebelum kita menikah,”bantah Devan.
“Oh, jadi beneran kalian kerjasama?” Nara mendekatkan wajahnya, matanya berbinar, tetapi senyumnya mengembang.
Devan menahan tawa, memeluk Nara yang sudah naik ke atas tubuhnya. "Aku kasih hadiah karena udah nitipin bidadari pujaanku," bisiknya, suaranya menggoda.
“Kalian kerja sama, ‘kan?” Nara mendesak, wajahnya semakin dekat.
Devan tak bisa menghindar lagi. Ia mendekatkan wajahnya, mencium bibir Nara dengan penuh gai rah. “Intinya dia yang membantu hubungan kita, Sayang … ah, sakit.” Devan mengernyit, merasakan ujung bibirnya yang masih terasa perih karena pukulan Endra.
“Emang dasar si Anya. Dia dapat tas dari kamu, masih minta bagian dariku juga. Padahal dia yang mendorongku sampai bisa tidur sama kamu,” oceh Nara, sambil mengolesi salep luka di bibir Devan.
“Tapi berkat dia kita bisa menikah. Aku bisa menikahi gadis yang aku cintai, meskipun cintanya masih belum sepenuhnya diberikan padaku,” kata Devan yang kemudian mengangkat tubuh Nara ke dalam gendongan. Ia tersenyum, tatapan matanya penuh cinta. “Ayo, kita mandi dulu!”
Nara terdiam, mencerna kata-kata Devan. Ia sendiri masih belum sepenuhnya yakin akan perasaannya pada Devan. Namun, satu hal yang pasti: ia ingin menemani Devan melewati semuanya, melewati masa-masa sulit dan menemukan kebahagiaan bersama.
Nara memeluk Devan erat-erat, namun tatapannya kosong. “Dev, aku ... aku masih belum yakin,” bisiknya, air mata mulai membasahi pipinya.
Devan menatapnya, jantungnya berdebar kencang, tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
***
buat meramaikan suasana 😂
emang mau hajatan😂😂😂