NovelToon NovelToon
CINDELOKA

CINDELOKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Dunia Lain / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Roh Supernatural
Popularitas:311
Nilai: 5
Nama Author: teguhsamm_

Raden Cindeloka Tisna Sunda, seorang bocah laki laki berparas tampan dari Klan Sunda, sebuah klan bangsawan tua dari Sundaridwipa yang hanya meninggalkan nama karena peristiwa genosida yang menimpa klannya 12 tahun yang lalu. keberadaannya dianggap membawa sial dan bencana oleh warga Sundari karena ketampanannya. Suatu hari, seluruh warga Sundari bergotong royong menyeret tubuh kecil Cindeloka ke sebuah tebing yang dibawahnya air laut dengan ombak yang mengganas dan membuangnya dengam harapan bisa terbebas dari bencana. Tubuh kecilnya terombang ambing di lautan hingga membawanya ke sebuah pulau misterius yang dijuluki sebagai pulau 1001 pendekar bernama Suryadwipa. di sana ia bertemu dengan rekannya, Lisna Chaniago dari Swarnadwipa dan Shiva Wisesa dari Suryadwipa yang akan membawanya ke sebuah petualangan yang epik dan penuh misteri gelap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teguhsamm_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ujian Fase Pertama; Kertas Filsafat

Suasana ruang ujian yang tadinya tenang berubah penuh tekanan ketika seorang panitia berkumis tipis berdiri di depan, membawa papan pengumuman.

“PERHATIAN,” serunya lantang.

Semua peserta langsung menegakkan punggung. Ujian Filsafat akan dibimbing oleh seorang Senopati (Taruna Spesialis), Agustus Firman yang mengenakan seragam silat putih khas Padepokan Sarasvati dengan sabuk hitam yang menandakan bahwa ia Taruna sekaligus Senopati dari Sarasvati.

Firman mulai membacakan tata tertib:

“Satu: Ujian ini berlangsung tiga puluh menit dan dilakukan secara tim.”

Para peserta mengangguk.

“Dua: Siapa pun yang ketahuan mencontek akan didiskualifikasi di tempat.”

Beberapa peserta langsung saling melirik—tegang, tapi tak ada yang berkomentar.

Lalu…

“Tiga… jika salah satu anggota tim mendapatkan nilai nol, maka seluruh tim dianggap gugur.”

Ruang ujian langsung meledak.

“Apa? Gila saja itu!”

“Tidak adil!”

“Nilai nol satu orang bisa bikin satu tim mati?”

Lisna, yang duduk tepat dua langkah di belakang Cindeloka, langsung mendesis dalam batinnya pelan seperti ular seolah sedang melakukan telepati dengannya.

“Cindeloka…”

Suaranya rendah, tapi cukup untuk menusuk tulang.

“Kalau kamu bikin tim gugur… aku buat kamu tidur di luar padepokan selama setahun.”

Cindeloka langsung pucat pasi mendengar suara hatinya.

“He-hee… nggak akan, Lis… doain saja…”

Di sisi kanan Cindeloka, Jannah Padusi—yang duduk rapi tenang—menepuk lengannya.

“Jangan tegang begitu, Cindeloka. Tarik napas… kamu pasti bisa.”

Pipi Cindeloka langsung panas dan bertingkah sangat aneh.

“I-iya…”

Ujian dimulai

Gong dipukul sekali.

Panitia berkata pendek:

“Mulai!”

Semua peserta membuka kertas soal.

Beberapa detik kemudian…

“APAAN INI?!”

teriak Cindeloka dalam hati.

Pertanyaan pertama saja sudah seperti ujian profesor:

‘Jelaskan hubungan antara tragedi, karma, dan kehormatan dalam filosofi Silat Nusantara.’

Anak berusia 12 tahun mana yang bisa menjawab begitu?!

Cindeloka menatap kertasnya seperti menatap masa depan yang suram.

Lisna dari belakang sedang berusaha keras memecah soal filsafat yang kompleks dan rumit seraya mengkhawatirkan Cindeloka yang berada 2 langkah di depan.

"Aduh! Bagaimana ini jangan sampai Cindeloka mendapat nilai nol" gumam Lisna dengan wajah cemas seraya memegang pensil dengan gemetar.

Shiva di sebelah kanan masih tenang, membaca soal tanpa ekspresi.

Tapi bahkan ia mengerutkan dahi sekilas menoleh ke arah Cindeloka.

"Jangan-jangan Cindeloka nggak bisa jawab ujian ini!!" gumam Shiva dalam batin dengan wajah cemas.

Sementara, Cindeloka pun tersenyum dan pantang menyerah bahwa ia bisa mengerjakan soal tersebut, ia dengan sangat saksama.

"Aku pasti bisa! Aku akan buktikan kepada seluruh orang bahwa saya bisa lulus ujian ini?" gumamnya dalam hati.

Namun hingga menit ke-20

Waktu tinggal sepuluh menit.

Cindeloka… masih menatap soal pertama.

Kosong.

Pikiran mati.

Ia menunduk dalam-dalam.

Jannah mencondongkan tubuh, berbisik:

“Kalau kamu mau… aku bisa kasih satu dua jawaban. Pelan-pelan saja, tidak ketahuan.”

Cindeloka tersentak, ia tidak menyangka akan berbuat senekat itu, tapi ia tidak percaya dengan gelagat Jannah mengingat ia adalah Tim Nawa, ia berpikir Taro dan Puadin menyuruh Jannah untuk melakukan ini hanya untuk menjebaknya, ia pun bertanya dengan nada pelan.

"Lis! Kenapa kamu melakukan ini?"

Dengan wajah menunduk, alisnya melengkung ke atas, tatapan teduh, dan nada lembut, ia menjawab;

"Itu..Karena...Aku....tidak....mau..kau..gagal dalam ujian ini" seraya menatap Cindeloka kemudian segera berbalik ke depan.

"Hmm...Begini saja kita tak punya banyak waktu...Ayolah...Cindeloka! Seraya memohon kepadanya wajah menunduk dan memainkan pulpennya. Ia pun melanjutkan

"Kau harus tahu, aku tulus membantumu, aku tak punya niat jahat sekalipun" katanya dengan nada lembut yang membuat Cindeloka tersentuh. Ia pun akhirnya melihat isi jawaban dari Jannah. Baru 2 soal, ia sudah dihujam oleh keris yang sebenarnya meluncur ke arah sisi kiri Cindeloka yang ternyata ia adalah peserta dari Padepokan lain yang ketauan mencontek.

"Aduh! Hampir saja" seraya menghela napas dengan lega.

Dari kejadian itu, ia bertekad di hadapan Jannah dengan suara pelan.

“Nggak.”

Ia menggenggam pensilnya.

“Kalau aku gagal, biarlah gagal karena aku. Bukan karena curang.”

Jannah menatapnya lama—terharu sekaligus cemas.

“Tapi kau akan—"

“Ini harga diri, Jannah.”

“Harga diri bisa ditunda. Hidupmu tidak.”

Cindeloka nyaris terbatuk mendengar itu, pipinya makin merah.

*

Tak jauh dari gedung utama, di luar kelas yang sepi dengan semilir angin, Mbah Kunto berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku celana. tetapi sorot matanya tajam seperti paruh burung elang. Ia memandang ke arah balairung dengan wajah yang tak pernah terlihat seserius hari itu.

Angin membawa suara sayup dari dalam balairung—suara gong, langkah kaki, dan tarikan napas yang ditahan.

Mbah Kunto memegang tangan di dagu berjalan mondar mandir dengan wajah penuh gelisah.

“Tim Sapta… Tim Sapta…” gumamnya. “Anak-anak ini memang berbakat, tapi keberbakatannya membawa bayangan yang besar… terlalu besar.”

Ia melihat ke arah gerbang timur, seakan-akan berharap seseorang muncul. Namun tidak ada siapa-siapa.

“Cindeloka itu… ia menyimpan sesuatu yang ia sendiri belum pahami. Lisna… ah, gadis itu bisa menghancurkan dirinya sendiri demi membuktikan sesuatu pada dunia. Dan Shiva…”

Ia mendesah panjang.

“Kalau bocah itu jatuh ke tangan yang salah, bukan hanya Sarasvati… seluruh Suryadwipa yang akan menanggung akibatnya.”

Seekor burung gagak melintas, sayapnya mengibaskan angin dingin yang membuat dedaunan gemerisik seperti bisikan arwah.

Mbah Kunto mengetukkan kakinya ke tanah, mencoba mengusir firasat buruk yang sedari tadi memeluk mata kanannya yang ditutupi kain penutup.

“Duh, Dewata… lindungi anak-anakku. Karena ujian hari ini… bukan sekadar ujian. Ini adalah awal dari sesuatu yang… yang bahkan para Mahaguru pun tak siap menghadapinya.”

Kabut semakin pekat. Suara gong dari balairung menggema—tanda bahwa ujian telah dimulai.

Dan hati Mbah Kunto, yang biasanya setegar batu gunung, bergetar untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun terakhir.

*

Sementara itu…

Hampir seluruh ruangan berubah menjadi pasar gelap kecurangan.

Lisna dengan sekuat hati dan pikirannya menjawab soal tersebut tanpa menggunakan kekuatan mata Angaraksanya.

Shiva berpura-pura membaca soal, seraya mengaktifkan mata kuning Kalaraksa-nya untuk melihat dan memantulkan jawaban peserta lain.

Hana Hosang dari Tim Asta yang melihat Lisna dari belakang sangat terkesan dengan kecerdasannya.

"Kelihatannya.. Lisna tak ingin menggunakan Angaraksanya di situasi seperti ini.. Melihat kepandaian dan kecerdasan, aku lumayan salut!"

Wajahnya berubah sinis, senyumnya menyungging dan nadanya sedikit angkuh.

"Karena itu.... Menyerahlah, kau akan menjadi target jurus Kanuragan khas Wehea, Lihat saja!" kata Hana dengan membentuk tangan seperti pistol ke arah Lisna dan merapalkan jurus.

"Aji Rega Sukma"

Seketika sukma Hana meluncur masuk ke tubuh Lisna tanpa ia sadari. Dari kejauhan, Yoyo dan Kiki yang melihatnya tertegun.

"Nampaknya! Hana mulai menggunakan ajiannya" ujar Yoyo dalam hati.

"Melihat instingnya, aku tak menyangka ia akan menggunakan ajian itu.." gumam Kiki.

Dalam tubuh Lisna, sudah dirasuki oleh Sukma Hana seraya mengendalikan tubuhnya dan membaca jawabannya segera sebelum sukma Lisna menemukannya dan ketahuan oleh pengawas ujian.

"Lisna! Aku mohon sebentar saja aku masuk kedalam tubuhmu, ayo! Kita lihat jawabannya secara cepat kalau tidak aku bakal ketauan" ucapnya dengan tubuh Lisna yang dirasuki Hana.

Puadin dengan ekspresi dingin yang berada di seberang kiri, menyonteknya dengan menyuruh dua laba laba kecil, satunya melihat jawaban dari peserta lain di depan, satunya lagi menangkap sinyal dari laba laba di depan dan menulis jawabannya.

Taro menyuruh ayam Cemaninya, Cemcem untuk melihat jawaban peserta lain di atas kepalanya.

"Kokok! Kok kok!" ujar Cemcem

"Bagus! Cemcem lalu untuk no 3 apa jawabannya" ujar Taro dengan melihat Cemcem memberitahukan jawabannya.

Beberapa peserta mengaktifkan aksajian minor—dari telepati halus sampai ilusi kertas.

Ada yang mulus.

Ada yang langsung ditarik panitia seperti tikus ketahuan mencuri.

“KAMU, KELUAR!”

“Dua orang di pojok sana, diskualifikasi!”

Ricuh.

Gaduh.

Ruangan seperti perang dingin yang penuh bisikan terlarang.

Menit terakhir

Cindeloka memejamkan mata, ingat nasihat Mbah Kunto:

“Jika kau tak tahu jawaban dunia… jawab dengan suara hatimu.”

Ia mulai menulis.

Bukan jawaban akademik.

Bukan.

Tapi makna.

Hanya itu yang ia punya.

Waktu habis

Panitia memukul gong.

“Pensil diletakkan! Kertas maju ke depan!”

Dengan pasrah, Cindeloka mengumpulkan kertasnya.

Lisna menatapnya seperti ingin melemparnya dari balkon.

Shiva hanya menatapnya sekilas—dingin—tapi entah kenapa, ada sedikit kekhawatiran.

Pengumuman

Setelah beberapa menit ketegangan, panitia kembali.

“Total peserta yang gugur karena kecurangan…

…ada 50 orang.”

Suasana langsung tegang.

“Yang tersisa dan lolos ke fase kedua… 50 orang.”

Para peserta yang tersisa termasuk Tim Sapta, Nawa, Asta, dan Dasa dari Suryajenggala bersorak kecil karena dinyatakan lolos.

Beberapa langsung terduduk lega.

Namun, Cindeloka bingung dengan ucapan dari panitia padahal salah satu dari 50 orang yang lolos termasuk dari timnya sendiri ketauan mencontek.

"Pak! Kenapa yang sisanya lolos? Padahal kan salah satu dari mereka ada yang mencontek?" tanya Cindeloka dengan mengangkat tangan ke udara kepada panitia yang membuat seisi kelas dibuat gaduh dan penuh dengan gunjingan.

"Ngapain pake nanya!"

"Itu si bocah Sunda! Malah membongkar aib"

"Dasar pembawa kutukan!"

"Itu bocah ngapain ngomong"

Sementara Lisna dan Shiva terdiam menatap dan mendengar gunjingan dari para peserta. Panitia pun menenangkan situasi.

"DIAMMM!!!!!!" Bentak Firman yang membuat seisi kelas terdiam.

"Pertanyaan bagus! Kenapa kami membiarkan kalian mencontek!" serunya yang membuat seluruh peserta kebingungan.

"Alasannya adalah dalam Dunia Silat, kita bukan hanya menyerang musuh secara kontak langsung, melainkan lewat gerak senyap dan juga para pendekar dituntut untuk mencari dan mengumpulkan informasi sebanyak banyaknya dari suatu kelompok tanpa ketauan seperti di era kerajaan kerajaan Nusantara di masa lampau yang menggunakan Tatarucingan sebagai media penyebar informasi kerajaan lain.

"Tatarucingan?" gumam salah satu peserta dengan ekspresi bingung.

"Tunggu sebentar! Jadi ujian ini diselenggarakan untuk menguji kemampuan peserta dalam mencari dan mengumpulkan informasi dengan mencontek tanpa ketauan!" sela Lisna.

"Tepat sekali gadis manis! Ujian ini dilakukan semata mata untuk melihat potensi kalian dengan bergerak secara senyap untuk mengumpulkan informasi" seru Firman.

Semua peserta seolah tidak mau mendengarkan semua penjelasan yang ada, yang penting mereka semua lolos ke fase berikutnya.

"Silakan! Untuk seluruhnya segera meninggalkan ruangan dan mempersiapkan diri menuju fase kedua yang akan diadakan lima hari lagi".

Para murid serentak mengangkat tubuhnya dari bangku dan beranjak meninggalkan ruangan.

Cindeloka menghembuskan napas lega seperti habis diselamatkan dari jurang.

Lisna menepuk kepalanya dari belakang.

“BERUNTUNG KAMU SELAMAT.”

Shiva berdiri dan berjalan, tanpa melihatnya, tapi menyampaikan satu kalimat pendek:

“Jangan lakukan itu lagi.”

Cindeloka mengerjap.

“Lakukan… apa?”

Shiva menatapnya sepersekian detik.

“…Berjuang sendirian.”

Cindeloka terdiam lama.

Untuk pertama kalinya, ia tak bisa membalas apa-apa.

Ujian pertama usai.

Namun ujian sebenarnya baru dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!