Sekuel dari cerita Jual Diri Demi Keluarga.
Setelah melewati masa kelam yang penuh luka, Santi memutuskan untuk meninggalkan hidup lamanya dan mencari jalan menuju ketenangan. Pesantren menjadi tempat persinggahannya, tempat di mana ia berharap bisa kembali kepada Tuhannya.
Diperjalanan hijrahnya, ia menemukan pasangan hidupnya. Seorang pria yang ia harapkan mampu membimbingnya, ternyata Allah hadirkan sebagai penghapus dosanya di masa lalu.
**"Menjemput Cahaya"** adalah kisah tentang perjalanan batin, pengampunan, dan pencarian cahaya hidup. Mampukah Santi menemukan kedamaian yang selama ini ia cari? Dan siapa pria yang menjadi jodohnya? Dan mengapa pria itu sebagai penghapus dosanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25_Sikap Aneh Adam
"Masuk," ujar Adam sambil membuka pintu depan mobil.
Santi menatap Adam dengan ragu-ragu. Ia merasa tidak enak. Ia bukanlah tipe santriwati yang suka dekat-dekat dengan ustadz muda itu, dan sekarang malah disuruh masuk ke dalam mobilnya.
"Kita mau ke mana, Ustadz?" tanyanya dengan suara lirih. Raut wajahnya memancarkan sedikit ketakutan.
Adam menyandarkan satu tangan ke atas pintu mobil, lalu melirik Santi dengan tatapan jahil, "sudah masuk saja, jangan banyak tanya," ujarnya santai.
Santi semakin merasa gelisah. Tangannya mencengkeram ujung lengan baju gamisnya, ragu-ragu untuk melangkah.
Adam menyeringai tipis, merasa lucu melihat ekspresi takut-takut Santi. Ia memang suka mengerjai santri baru ini. Santi polos, mudah terkejut, dan reaksinya selalu menarik untuk diamati.
"Tapi, Ustadz..."
"Sudah, masuk." Kali ini suara Adam terdengar sedikit lebih tegas.
Santi tidak punya pilihan. Ia pun melangkah masuk dengan langkah kecil, sambil terus meminta perlindungan kepada Allah dalam hati. Begitu ia duduk, Adam menutup pintu dengan satu gerakan ringan, lalu masuk ke sisi kemudi dan menyalakan mesin mobil.
Santi semakin cemas saat mobil mulai melaju. Ia menatap jalanan dengan gugup, kepalanya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk.
"Kita mau ke mana, Ustadz?" tanyanya lagi.
Adam mengangkat sebelah alisnya dan menoleh sekilas, "emm... menurutmu kita mau ke mana?" godanya.
Santi terdiam, menelan ludah.
Adam kembali tersenyum tipis, "sudah, tenang saja. Kita hanya mau ke toko roti, beli makanan untuk santri/wati yang ikut kebersihan."
Santi akhirnya merasa lega. Bahunya yang tadinya tegang mulai sedikit merosot santai.
Setelah beberapa menit berkendara, mereka sampai di depan sebuah toko roti. Dari luar, tampak berbagai kue dan roti tertata rapi di balik etalase kaca yang bersih. Aroma manis khas roti yang baru matang tercium samar dari luar.
Santi hendak membuka pintu untuk turun, tetapi tiba-tiba Adam menahannya.
"Sudah, kamu tidak perlu turun. Tunggu di sini saja," ujar Adam, lalu turun dari mobil tanpa menunggu jawaban.
Santi mengernyitkan dahi, "lah, terus untuk apa saya diajak kalau hanya disuruh duduk di sini?" gumamnya kesal. Ia menatap ke luar jendela, melihat Adam masuk ke dalam toko dengan langkah santai.
Santi menghela napas dan menyandarkan kepalanya ke kursi mobil. Sesekali matanya mengamati orang-orang yang keluar masuk toko, beberapa membawa kantong belanjaan, beberapa lainnya sekadar melihat-lihat.
Tak lama kemudian, Adam muncul kembali dengan dua kantong plastik besar berisi roti dan snack. Ia membawa belanjaan itu dengan mudah, lalu membukanya sedikit untuk memastikan isinya sebelum memasukkannya ke bagasi belakang mobil.
Santi hanya bisa memperhatikannya tanpa bisa membantu. Ia mendesah pelan.
Saat Adam masuk ke dalam mobil, Santi segera duduk tegak kembali.
"Lalu kita ke mana lagi, Ustadz?" tanyanya pelan.
"Pulang," jawab Adam santai.
Santi mengerucutkan bibir. Rasa kesalnya makin bertambah. Kalau hanya untuk duduk begini, buat apa dia diajak? Seharusnya ia tetap saja di pesantren dan membantu teman-temannya bersih-bersih.
"Lalu fungsi saya dibawa apa, Ustadz? Saya kira tadi Ustadz mau menyuruh saya belanja," ujar Santi, memberanikan diri untuk protes.
Adam menoleh sekilas dengan tatapan tajam. Tatapan elang itu membuat Santi langsung menunduk dalam-dalam.
"Maaf, Ustadz..." gumamnya cepat.
Adam menghela napas, lalu mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih lembut, "tidak apa-apa. Tadinya memang saya mau menyuruh kamu belanja, tapi mengingat waktu sudah semakin siang, jadinya tidak jadi. Tidak apa-apa, kan?"
Santi menggeleng pelan, meski hatinya tetap kesal, "tidak apa-apa, Ustadz," jawabnya lirih.
"Bagus. Kalau begitu, sekarang kita pulang."
Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam. Adam fokus mengemudi, dan Santi fokus menatap jalanan.
Sesampainya di pesantren, Adam memanggil dua santri laki-laki untuk membantu mengangkat kantong belanjaan ke bawah pohon rindang di tengah lapangan.
Santi hanya berdiri di samping, menunggu instruksi.
"Ya sudah, Santi. Ikut dengan mereka, suruh teman-temanmu istirahat dan makan snack ini," ujar Adam.
"Baik, Ustadz," ucap Santi, lalu bergegas menuju teman-temannya.
Di bawah pohon rindang yang teduh, para santri dan santriwati berkumpul, menikmati snack kotak yang tadi dibeli oleh Adam.
"Oh, jadi kamu diajak Ustadz Adam untuk belanja, ya?" tanya Fatimah penasaran.
Santi tersenyum tipis, "ya, begitulah, Mbak," jawabnya pelan.
"Ini makanan sebanyak ini, berapa harganya?" tanya Zahra, mengamati roti di tangannya.
Santi mengerutkan kening. Bagaimana mungkin ia tahu harga makanan ini? Orang yang belanja adalah Adam, bukan dirinya.
"Ini, tadi yang bayarin Ustadz Adam, jadi saya tidak tahu. Saya tadi cuma angkat-angkat barang saja," ujarnya berbohong kecil.
"Ohhh, pasti ini mahal, soalnya enak," celetuk Alea.
Santi hanya tersenyum kecut.
Tak jauh dari mereka, Viona menatap ke arah Santi dengan wajah kesal. Tangannya mengepal, matanya menyipit penuh kebencian.
"Kamu tenang saja, Viona. Dibandingkan santri baru itu, sudah pasti kamu menang. Ustadz Adam mengajak dia karena dia petugas dapur, tidak lebih dari itu. Lagipula, dia hanya disuruh belanja, kan? Bukan yang lain-lain," ujar Syasa, mencoba menenangkan.
"Benar sih," sahut Vivi, "dia diajak karena dia petugas dapur, dan belanja memang tugas petugas dapur."
Viona menghela napas berat. Meskipun kata-kata mereka sedikit menenangkan hatinya, tetap saja rasa gelisah itu tidak sepenuhnya hilang.
Sementara itu, di teras rumah Kiyai Nasir, Adam sedang duduk bersama pamannya setelah menuntaskan urusan belanja.
"Assalamualaikum, Paman," sapanya.
"Wa'alaikumussalam," jawab Kiyai Nasir, "pulang belanja?" tanyanya santai.
"Iya, Paman. Saya beli snack untuk para santri dan santriwati. Kasihan mereka kerja bakti tanpa sedikit reward," ujar Adam.
Kiyai Nasir mengangguk pelan, "bagus. Paman suka dengan rasa kepedulianmu yang tinggi," pujinya.
Adam hanya tersenyum, tetapi senyumnya menghilang saat Kiyai Nasir melanjutkan.
"Oh ya, tapi kenapa kamu harus bawa Santi?" tanyanya tajam.
Adam mengerjapkan mata, mencari alasan yang rasional, "itu, Paman... Saya suruh Santi yang belanja, jadi saya hanya jadi supir saja," ucapnya.
Kiyai Nasir menatap Adam lama, "belanjaanmu kan tidak banyak, hanya snack saja dari satu toko. Seharusnya kamu bisa belanja sendiri, tidak perlu membawa santriwati," ujarnya tegas.
Adam menunduk, "baik, Paman."
"Biar bagaimanapun, santriwati di sini bukan mahrammu. Tidak baik jika laki-laki dan perempuan yang bukan mahram bepergian berdua. Kalau mau bawa teman, bawalah santri laki-laki saja," lanjut Kiyai Nasir.
Adam mengangguk paham, "insyaAllah, Paman. Lain kali saya tidak akan mengajak santriwati lagi."
"Bagus," ujar Kiyai Nasir, "jaga marwah pesantren ini."
Adam mengangguk mantap. Ia mengerti, dan kali ini ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
tqpi kenapa ia cuek gtu..
apa yg membuatnya begitu..
atau emang orangnya gak mau gr..
klo gtu..
fahri harus swgera nembak.
biar Ros tau kalo fahri suka ama Ros..
❤❤❤❤❤❤
Fahri harusnya sat set cari no wa Ros..
bisa tanya Adam kan..
kenapa Ros punya firasat gak enak..
aoa dia jga ada rasa ama Fahri ...
klao iya..
kenapa kesannya dia cuek seolah gak ibgat mereka pernah temenan saat SMA..
Adam..
Adam..
kok gak muncul2..
kangen ini..
😀😀❤❤❤❤
Adam amna Adam.
kok gak munvil..
kangen ini..
❤❤❤❤❤
biar abi dan umimu pergi melamar Ros...
❤❤❤❤❤❤
klao sampai ketahuan gmna ya..
aoa mereka akan langsung dinikahkan?
apakah adam tidak kecewa saat tau santi gak perewan???
❤❤❤❤❤
fahri bisa salah paham.
pasti ros yg dikira mau dijodohkan ama dia..
pasti fahri langsung terima..
atau ris yg akhirnya sadar ada rasa ke fahri saat tau fahri mau dijodihka ama sahabatnya...
penasarannn....
❤❤❤❤❤
kok lama gak up..
kangen ama adam dan santi...
❤❤❤❤❤❤❤
jgn asal nyosor..
bahaya donk..
kan udah jadi ustad..
😀😀😀❤❤❤❤❤
myngkin saja ada yg lihat mereka lagi ambil vairan pel atau saat nuang di lantai..
❤❤❤❤❤
halalin aja.
😀😀😀❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤❤
dingin..
menghanyutkan..
❤❤❤❤❤❤😉
pasti Adam.paham Santi punya daya tarik pemikat..
mudah2an..
Adam.mau halalin Santi lebih dulu...
❤❤❤❤❤
mudah2an karena sama2 pendosa..
jadi sama2 mau neryonat dan menyayangi..
❤❤❤❤❤
Santi jadi gak kuat..
😀😀😀❤😉❤
atau jgn2 Dam pernah tau Santi sblm mereka ktmu di bus.
mungkinkah hanya Adam yg tulus mau nikahi Santi..
mengingat ibu Adam kan udah meninggal.. .
jadi gak ada yg ngelarang seperti ibu Fahri..
❤❤❤❤❤❤