Zyan, seorang agen yang sering mengemban misi rahasia negara. Namun misi terakhirnya gagal, dan menyebabkan kematian anggota timnya. Kegagalan misi membuat status dirinya dan sisa anggota timnya di non-aktifkan. Bukan hanya itu, mereka juga diburu dan dimusnahkan demi menutupi kebenaran.
Sebagai satu-satunya penyintas, Zyan diungsikan ke luar pulau, jauh dari Ibu Kota. Namun peristiwa naas kembali terjadi dan memaksa dirinya kembali terjun ke lapangan. Statusnya sebagai agen rahasia kembali diaktifkan. Bersama anggota baru, dia berusaha menguak misteri yang selama ini belum terpecahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelicikan Barly
"Apa benar kalau saudara Nisa menyerahkan bukti untuk dites pada anda?" tanya Anaya.
"Iya. Dia memberikan sisa sp*rma dan DNA Pak Barly untuk diuji."
"Apa hasilnya cocok?"
"Sama sekali tidak. DNA yang ada di sp*rma adalah milik Amma,bukan Pak Barly. Saya diminta memalsukan hasil tes tersebut."
"Bohong!" teriak Nisa.
"Yang mulia, penggugat sudah menggunakan cara yang tidak benar untuk membuktikan tuduhannya. Saya mohon bukti yang diajukan penggugat untuk ditolak."
"Keberatan yang mulia! Bukti yang kami berikan adalah bukti yang valid," sanggah Farida.
Sang Hakim mengetuk palunya untuk menenangkan jalannya persidangan. Masing-masing pihak bersikukuh kalau pihaknya yang benar. Nisa memandangi Barly yang nampak duduk tenang. Pria itu yakin sekali kalau persidangan kali ini akan dikembangkan olehnya.
"Berdasarkan bukti dan pengakuan saksi, disimpulkan bahwa saudara penggugat tidak bisa membuktikan tuduhannya terhadap tergugat. Karenanya saya membatalkan gugatan cerai penggugat."
Hakim mengetuk palu tiga kali tanda keputusan yang diambilnya sudah final. Nisa serta merta langsung berdiri. Dia segera memprotes keputusan Hakim. Namun protesan wanita itu sama sekali tidak digubris oleh sang Hakim.
"Jika anda tidak menerima putusan ini, silakan ajukan banding."
Setelah mengatakan itu, Hakim keluar dari ruang persidangan. Nisa terduduk di kursinya. Wanita itu sama sekali tidak menyangka gugatannya akan ditolak. Bukti yang dibawanya sudah cukup untuk membuktikannya tuduhannya pada Barly, namun pria itu bisa membalikkan keadaan dengan mendatangkan saksi palsu.
Dengan santai Barly berdiri kemudian mendekati Nisa. Merasa muak pada suaminya, Nisa segera beranjak pergi. Wanita itu bergegas meninggalkan ruangan persidangan. Namun Barly tidak melepaskannya, pria itu mengejar kemudian menarik lengan Nisa hingga langkah wanita itu terhenti.
"Gugatan ceraiku sudah ditolak, kamu masih tetap istriku. Sudah waktunya kamu kembali ke rumah."
"Aku tidak akan pernah kembali ke rumahmu!"
"Aku masih suamimu! Tempatmu tentu bersamaku, di sampingku!"
"Kamu boleh mempertahankan status kita, tapi di hatiku aku sudah tidak menganggapmu suami lagi!"
Merasa kesal dengan apa yang dikatakan Nisa, Barly menarik paksa tangan wanita itu. Keduanya menjauh dari ruang persidangan. Farida yang melihat itu berusaha menyusul Nisa, namun ditahan oleh Anaya. Setelah agak menjauh dari ruang persidangan, Barly melepaskan cengkeraman tangannya.
"Dengar Nisa, selama ini aku masih bersikap sabar padamu. Tapi sepertinya kamu tidak bisa diperlakukan secara baik-baik. Aku perintahkan kamu kembali ke rumah!"
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
"Apa kamu masih ingat kasus santriwati yang bernama Siti? Bukankah dia sempat dirawat di rumah sakit karena gangguan pencernaan? Dokter menemukan racun dalam makanan yang dikonsumsinya."
"Kamu yang melakukannya?" mata Nisa nampak membulat.
"Itu hanyalah peringatan untuk kalian. Aku bisa melakukan hal yang lebih buruk lagi. Kalau kamu tidak mau kembali ke rumah, maka bersiaplah. Ummi, Husein dan semua penghuni pondok akan berada dalam bahaya. Jangan kamu pikir Zyan bisa melindungi semuanya. Dia sudah jelas akan menjadi target utamaku. Pikirkan keselamatan mereka semua. Kamu sudah melihat apa yang bisa kulakukan pada Amma dan Siti. Menyakitiku kalian lagi bukan hal sulit bagiku."
"Dasar biadab!"
"Makilah aku sesukamu. Tapi aku mau kamu kembali ke rumah hari ini juga. Kalau tidak, kamu akan melihat semua orang yang kamu sayangi menjadi korban keegoisanmu."
Setelah melemparkan ancamannya, Barly segera meninggalkan Nisa. Tangan Nisa langsung menyentuh dinding di dekatnya untuk menopang tubuhnya yang tiba-tiba terasa lemas. Wanita itu tentu saja tidak ingin sesuatu terjadi pada keluarga dan semua penghuni pondok. Sudah cukup Amma yang menjadi korban, dia tidak mau ada korban lain yang jatuh.
***
Sepulang dari pengadilan, Nisa hanya mengurung diri di kamar. Setelah memikirkan secara matang, wanita itu memutuskan untuk kembali ke rumah. Dia tidak mau mengambil resiko ada korban lain yang jatuh akibat ulah Barly. Selian untuk melindungi orang di sekitarnya, Nisa juga ingin mengumpulkan bukti lebih banyak dan akurat agar bisa lepas dari Barly. Wanita itu berencana mengajukan banding untuk gugatan cerainya.
Mendengar Nisa yang sudah kembali dari pengadilan agama, Zyan bermaksud menemui wanita itu. Namun dia terkejut ketika melihat Nisa keluar dari kamarnya seraya menggeret kopernya. Dengan cepat Zyan menghalangi langkah Nisa.
"Kamu mau kemana?"
"Aku akan pulang ke rumah."
"Kenapa kamu pulang ke rumah? Bagaimana persidangan tadi?"
"Gugatan ceraiku ditolak. Barly sudah mempersiapkan semuanya. Dia menyanggah bukti yang kulakukan dengan menghadirkan saksi palsu di persidangan."
Zyan terdiam sejenak. Bukti yang dibawa Husein tempo hari memang berhasil didapat oleh Barly lewat orang bayarannya. Pasti pria itu sudah mengira kalau Nisa akan menggunakan hasil tes DNA dirinya sebagai bukti perselingkuhannya dengan Revina. Karenanya dia langsung membuat langkah antisipasi dengan menghadirkan saksi palsu.
"Gugatanmu mungkin ditolak tapi bukan berarti kamu harus kembali ke rumahnya. Dia itu berbahaya dan kamu tahu itu."
"Aku harus kembali ke rumah. Bukankah Abang bilang untuk menghadapi Barly yang licik, aku harus memiliki strategi untuk menghadapinya. Aku pulang bukan berarti aku menyerah atau mengakui kekalahanku. Percayalah, Bang. Aku akan menemukan cara untuk lepas darinya."
"Tunggu di sini."
Belum sempat Nisa menanggapi, Zyan langsung berlari keluar dari rumah. Sambil menunggu Zyan, Nisa berpamitan lebih dulu pada Ummi. Walau berat, akhirnya Ummi mengijinkan Nisa kembali ke rumah Barly. Biar bagaimana pun status mereka masih suami istri. Usai berpamitan dengan Ummi, Nisa kembali menggeret kopernya keluar rumah. Bertepatan dengan itu Zyan sampai lagi ke dekatnya.
"Bawa ini. Aku ingin terus memantau keadaanmu. Jika kamu berada dalam bahaya dan tidak bisa menjangkau hapemu, tekan liontin kalung ini dan aku akan datang menyelamatkanmu."
Zyan menaruh kalung dengan liontin berbentuk bulatan di tangan Nisa. Selain itu, dia juga memberikan dua buah kamera kecil dan alat penyadap pada wanita itu. Untuk sejenak Nisa memandangi peralatan yang diberikan oleh Zyan.
"Taruhlah kamera di tempat yang dirasa tepat olehmu. Begitu juga dengan penyadap ini. Aku akan terus memantaumu. Berhati-hatilah Nisa. Jaga dirimu dengan baik. Sehelai saja Barly menyentuh rambutmu, aku tidak akan memaafkannya."
"Terima kasih, Bang. Aku titip Ummi, Bang Husein dan semua santri di sini. Tolong jaga mereka."
"Kamu tenang saja."
Kepala Nisa mengangguk pelan. Wanita itu memasukkan batang pemberian Zyan ke dalam tas lalu melanjutkan langkahnya. Supir yang dikirimkan Barly untuk menjemputnya sudah tiba. Zyan membukakan pintu bagian belakang untuk Nisa. Kendaraan roda empat tersebut langsung melaju setelah Nisa masuk ke dalamnya.
Waktu yang dibutuhkan Nisa untuk sampai ke rumah yang ditinggalinya bersama Barly tidak sampai satu jam. Ketika tiba di rumah, Barly masih belum kembali ke kantor. Hal tersebut dimanfaatkan oleh Nisa untuk menaruh kamera pemberian Zyan. Wanita itu menaruh kamera kecil di kamar pribadinya dan Barly, sedang kamera tersisa ditaruh di ruang kerja suaminya bersama dengan alat penyadap.
Ketika Nisa keluar dari ruang kerja Barly, ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal masuk ke ponselnya. Untuk sesaat Nisa hanya memandangi deretan nomor yang tidak dikenalnya itu sampai akhirnya dia memutuskan untuk menjawabnya.
"Halo."
"Halo Nisa, ini aku Hana. Kamu masih ingat aku kan?"
"Oh iya. Ada apa?"
"Apa aku bisa meminta alamat di mana Asma tinggal?"
"Apa kamu mau menemuinya?"
"Iya, sikap Asma terlihat janggal. Aku yakin ada sesuatu yang membuatnya melayangkan tuduhan pada Amma. Siapa tahu saja dia mau terbuka padaku."
"Baiklah aku akan kirimkan alamatnya padamu."
"Terima kasih."
Panggilan keduanya berakhir. Nisa segera mengirimkan alamat di mana Asma tinggal. Wanita itu berharap semoga saja Hana bisa membuat Asma berkata jujur dan nama baik Amma bisa dipulihkan secepatnya.
***
Usai mendapatkan alamat dari Nisa, Hana bergegas keluar dari kantor. Rumah orang tua Asma masih berada di Desa Pagar Anam hanya saja lokasinya cukup jauh dari pondok. Dengan menggunakan sepeda motornya, wanita itu segera menuju kediaman Asma. Sejak keluar dari pondok, Asma terus tinggal di rumah orang tuanya.
Empat puluh lima menit kemudian Hana sudah tiba di kediaman orang tua Hana. Nampak Ibu Hana sedang berada di depan rumah. Wanita itu sedang menjemur jagung hasil panen. Selama ini kedua orang tua Asma bekerja sebagai buruh tani di ladang jagung milik salah satu tetangganya. Setelah memarkirkan motor dan menaruh helmnya, Hana segera mendekati wanita itu.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Ibu Asma yang bernama Halimah nampak tertegun melihat kedatangan Hana. Sebelumnya dia belum pernah bertemu dengan wanita itu. Hana langsung menyalami wanita di depannya. Dia segera mengeluarkan kartu nama dari dalam tasnya.
"Selamat siang, Ibu. Saya Hana dari Global Net. Apa saya bisa bertemu dengan Asma?"
"Ada keperluan apa?"
"Saya mau mewawancarainya."
"Lebih baik anda pulang saja. Asma tidak mau bertemu dengan siapa pun. Sudah beberapa wartawan datang kemari tetapi selalu ditolak oleh Asma."
Asma yang diyakini sebagai salah satu korban pelecehan Amma tentu saja menjadi buruan awak media. Dari empat santri yang mengaku sebagai korban Amma, hanya Asma saja yang tidak mau ditemui apalagi diwawancara. Gadis itu hanya mengurung diri saja di kamar setelah kembali ke rumahnya.
Mendengar suara-suara di depan rumah, pelan-pelan Asma membuka sedikit jendela kamarnya. Dari balik jendela dia bisa melihat Hana yang sedang berbincang dengan Ibunya. Gadis itu ingat betul siapa Hana. Dia satu-satunya wartawan saat itu yang memberikan pertanyaan menyudutkan pada Revina dan tiga santri lainnya. Asma bergegas keluar dari kamarnya.
"Bisa saya bertemu sebentar dengan Asma?" bujuk Hana.
"Lebih baik anda pulang. Tidak ada gunanya."
"Baiklah. Tapi kalau Asma berubah pikiran, tolong hubungi saya."
Kepala Halimah mengangguk. Hana melihat sejenak ke bangunan rumah sederhana di depannya. Dia sedikit kecewa karena tidak bisa menemui Asma. Hana yakin kalau Asma tahu kejadian yang sebenarnya atas kasus yang menimpa Amma. Mau tidak mau wanita itu terpaksa kembali dengan tangan kosong. Baru saja Hana hendak menaiki motornya lagi, Asma keluar dari rumah.
"Tunggu!"
Melihat Asma yang datang menyusul, harapan terbit di hati Hana. Wanita itu segera meninggalkan motornya dan menghampiri Asma.
"Apa kamu bersedia di wawancara?" tanya Hana bersemangat.
Hanya anggukan kepala saja yang diberikan oleh Asma. Gadis itu meminta Hana mengikutinya. Dia mengajak Hana berbicara di kamarnya. Halimah segera mengikuti anaknya namun Asma menolak ketika Ibunya hendak ikut dalam pembicaraan. Gadis itu menutup pintu kamar dan menguncinya. Walau kesal, namun Halimah tidak bisa berbuat apa-apa. Dia kembali ke depan melanjutkan pekerjaannya tadi.
Hana melihat-lihat isi kamar Asma. Di dinding kamarnya tergantung foto kebersamaan dirinya dengan teman-temannya di pondok. Bahkan ada pula foto dirinya bersama Amma dan semua keluarganya. Foto itu diambil saat lebaran tahun kemarin.
"Ternyata kamu masih menyimpan foto bersama Amma dan keluarganya. Rasanya aneh saja kamu masih menyimpan foto orang yang sudah melecehkanmu dan membuat masa depanmu hancur."
"Apa tujuanmu ke sini?"
"Tentu saja untuk mewawancarai mu."
"Aku akan mengatakan apa yang mau kamu dengar tapi kamu harus janji jangan menerbitkan hasil wawancara kita."
"Kenapa? Aku menemuimu karena aku butuh bahan untuk beritaku."
"Kalau begitu lebih baik kamu pergi."
"Apa ada hal yang tidak boleh dipublikasikan? Apa ini soal Amma?"
Masih belum ada jawaban dari Asma. Gadis itu hanya diam tanpa bereaksi apapun. Tubuh Asma terlihat lebih kurus dari terakhir Hana melihatnya di pondok. Sepertinya gadis ini mengalami tekanan batin yang begitu hebat, wajahnya juga nampak kuyu dan tidak ada semangat hidup terpancar di wajahnya.
"Baiklah, aku tidak akan mempublikasikan apa yang kamu ceritakan hari ini. Anggap saja aku temanmu dan kita sedang berbagi cerita."
Asma mendudukkan dirinya di sisi ranjang. Hana ikut duduk di samping Asma. Diam-diam dia menyalakan alat perekam tanpa sepengetahuan gadis di sebelahnya.
"Sekarang bisa kamu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Apa benar Amma sudah melecehkanmu?"
"Amma adalah orang yang baik. Amma sama sekali tidak pernah melecehkanku. Semua itu hanya fitnah."
"Lalu kenapa kamu menuduhnya?"
"Aku diancam."
"Siapa yang mengancammu?"
"Pak Barly."
Tangis Asma langsung pecah ketika menyebut nama Barly. Gadis itu langsung teringat ancaman yang diberikan pria itu hingga membuat dirinya mau melakukan apa yang diperintahkan pria tersebut.
***
Barly lagi😂