Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"EPISODE 29" PERCAKAPAN DI ATAS ROOFTOP
PERCAKAPAN DI ATAS ROOFTOP
Reta memilih untuk mengabaikan semua ucapan Valeri sebelumnya. Dalam benaknya, ia menganggap wajar jika Valeri mungkin belum menyukainya sepenuhnya. Dengan sikap tenang, Reta tetap berusaha menjaga suasana agar tetap aman dan nyaman bagi semua orang yang hadir. Ia tidak ingin ketegangan kecil itu merusak momen kebersamaan mereka.
“Oh, mungkin itu karena adanya rooftop yang selalu memberikan suasana indah di sana,” ujar Reta tersenyum, mencoba mengalihkan pembicaraan dengan nada ceria kepada Valeri. Ia menunjuk ke arah pintu kaca yang menghubungkan ruangan dengan area terbuka di atap apartemen.
Reta pun mengajak mereka ke rooftop. Begitu pintu terbuka, semilir angin langsung menyambut, membawa aroma kota yang khas. Matahari pagi yang cerah memancarkan sinarnya, membuat pemandangan di sekeliling mereka terlihat begitu memukau. Dari ketinggian itu, bangunan-bangunan kota terlihat seperti miniatur, dan langit biru terhampar luas tanpa batas. Tentu saja, Valeri dan Voni langsung mengakui bahwa tempat itu sangat bagus. Mereka terpesona dengan keindahan panorama yang tersaji di depan mata. Valeri segera menemukan tempat duduk yang nyaman dan menatap ke arah langit biru yang jernih, seolah sedang mencari sesuatu di antara gumpalan awan putih.
“Bagus sih view-nya,” ujar Valeri mengakui dengan nada kagum yang tulus. Sebuah senyum kecil terukir di bibirnya.
“Iya, benar banget,” sahut Voni, mengangguk setuju. Ia mengeluarkan ponselnya, berniat mengambil beberapa foto untuk mengabadikan momen itu.
Reta tersenyum tipis, sebuah senyum yang menyimpan sedikit kesedihan dan keberanian. Dengan gerakan perlahan, ia seketika menarik tangan Dion. Reta dan Dion melangkah mendekat ke arah Voni, meninggalkan Valeri yang masih terpaku pada pemandangan langit. Tatapan Valeri yang samar-samar menangkap pergerakan mereka tidak bisa dideskripsikan; ada campuran rasa ingin tahu dan mungkin sedikit kecanggungan yang tak ia pahami sepenuhnya.
“Kalau aku enggak ada lagi, Voni, kamu tolong tetap bersama Dion, ya,” ujar Reta, suaranya terdengar begitu pelan namun penuh dengan permohonan yang tulus. Matanya menatap Voni dalam-dalam, mencoba menyampaikan pesan yang lebih dari sekadar kata-kata.
Voni hanya mengangkat bahunya, bingung. Keningnya berkerut. Apa sih maksud Reta? Pertanyaan itu berputar-putar di benaknya. Sebelum Reta hadir di hidup Dion, memang Voni yang selalu bersamanya. Mereka sudah menjadi sahabat sejak lama, melewati banyak hal bersama. Jadi, mengapa Reta perlu mengatakan hal seperti itu?
“Jujur aku bingung maksud kamu, Reta. Tanpa kamu bilang juga, aku dan Dion memang sahabatan,” ujar Voni menatap Reta, berusaha mencari kejelasan di balik ucapan gadis itu. Ada kebingungan yang jelas terpancar di wajah Voni.
“Yah, aku tahu. Seperti semalam aku bilang ke kamu, Dion pacaran sama aku itu hanya sebagai bentuk kasihan dan hanya untuk memenuhi daftar kehidupanku. Perempuan yang selalu dia cintai itu kamu,” ujar Reta menjelaskan. Sebuah pengakuan yang menyakitkan, namun harus ia sampaikan. Ia ingin Voni tahu kebenarannya, agar tidak ada kesalahpahaman di masa depan. Meskipun hatinya terasa tercabik saat mengucapkan itu, ia merasa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan.
Dion yang berdiri di samping Reta, mendengar setiap kata itu, merasa sedikit tersentak. “Aku sayang kamu kok, Re. Yah, memang aku selalu membawa Voni dalam pembahasan kita dan aku minta maaf,” ujar Dion menyangkal, sedikit panik. Ia tidak ingin Reta berpikir bahwa ia tidak peduli. Perasaannya terhadap Reta memang bukan cinta romantis yang menggebu-gebu, tetapi ia sangat menyayangi Reta sebagai seorang teman yang berharga. Kata-kata Reta yang mengatakan bahwa ia hanya dikasihani, sedikit melukai hatinya.
“Re, kamu enggak usah minder kali. Aku dan Dion itu pure cuma sahabatan. Dengar itu ucapan Dion, Dion enggak pernah sebelumnya mengakui sayang di depan orang lain,” ujar Voni tersenyum, mencoba menenangkan Reta. Voni sebenarnya merasa lega mendengar pengakuan Dion, tetapi ia juga merasakan sedikit tusukan di hatinya ketika Dion mengatakan "sayang" kepada Reta.
Ucapan yang dilontarkan Voni sedikit menusuk hati Dion. Kenapa ini? Mengapa Voni mengatakan itu? Apakah Voni tidak suka jika Dion mengatakan sayang kepada Reta, meskipun hanya sebagai teman? Dion bingung dengan reaksi Voni yang terasa ambigu. Ia merasakan sebuah ketegangan tak terlihat di antara mereka.
Valeri, yang tadinya asyik dengan pemandangan, kini menghentikan aktivitasnya. Ia memperhatikan percakapan ketiga orang di depannya. Pikirannya masih menelaah ucapan-ucapan yang baru saja ia dengar. “Apakah Kak Voni enggak cemburu sama sekali?” batin Valeri heran. Ia melihat ekspresi Voni yang terlihat tenang, bahkan senang. Ini sedikit aneh bagi Valeri, mengingat betapa dekatnya Voni dan Dion selama ini.
“Ternyata kamu dan Dion itu memiliki kesamaan, yaitu sama-sama keras kepala,” ucap Reta tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. Ia menatap Dion dan Voni secara bergantian, seolah membenarkan pengamatannya sendiri.
“Tunggu, Kak Reta, Kakak sama Kak Dion memang pacaran kan ya?” tanya Valeri yang masih sedikit bingung. Ia ingin memastikan status hubungan mereka, karena percakapan tadi membuatnya sedikit confused.
“Iya, cuma kejadiannya itu sebenarnya aku punya daftar keinginan sebelum aku pergi. Salah satunya, aku ingin banget pergi ke gereja bareng pacar aku. Dan waktuku hanya sebentar lagi,” Reta memulai penjelasannya dengan tenang. “Karena Dion kasihan, jadi dia mau mengikuti itu.” Suaranya terdengar pasrah namun tulus. Ia tidak ingin menyembunyikan kebenaran dari Valeri, meskipun itu terasa berat untuk diungkapkan.
Dion, sekali lagi, ingin mengelak. Ia ingin mengatakan bahwa perasaannya lebih dari sekadar kasihan. Namun, dia takut malah salah langkah, takut memperburuk situasi atau membuat Reta merasa tidak enak. Ia memilih untuk diam, menelan kata-katanya sendiri. Sedangkan Voni, entah apa yang dipikirkannya, tetapi dia merasakan desiran lega yang tipis di hatinya, bercampur aduk dengan rasa simpati yang mendalam untuk Reta.
“Ya sudah kalau gitu kita habiskan waktu bersama Kakak, bukan membahas Kak Dion dan Kak Reta. Kita buat lembaran yang menyenangkan,” ujar Valeri, mencoba memberi jalan keluar dari percakapan yang mulai terasa berat itu. Ia ingin suasana kembali ceria dan positif.
“Yah, aku mau seperti itu, tapi aku enggak mau egois. Aku enggak mau, aku pergi malah meninggalkan luka,” ujar Reta, matanya menerawang jauh, memandang ke arah langit seolah sedang berbicara dengan takdirnya. Ia tidak ingin kepergiannya nanti menyisakan kesedihan yang mendalam bagi orang-orang yang ia sayangi. Ia ingin mereka bahagia, bahkan setelah ia tiada.
“Kalau gitu tenang saja, Re, aku enggak bakalan terluka dan aku tahu apa yang kamu maksud. Tenang saja, aku bakalan tetap ada untuk Dion,” ujar Voni, suaranya tegas namun lembut. Ia mulai paham sepenuhnya maksud Reta. Ia mengerti bahwa Reta tidak ingin Dion merasa sendirian setelah kepergiannya, dan Reta ingin Voni tetap ada di sisi Dion, sebagai sahabat yang setia.
Yah, maksud Reta itu adalah, saat dia pergi nanti, Voni tolong jangan menjauh dari Dion hanya karena Dion selalu menghabiskan waktu bersama pacarnya. Reta juga mau menjelaskan kalau hati Dion yang sebenarnya dan yang disayang hanya Voni, sedangkan dirinya hanya untuk dikasihani. Sebuah pengorbanan yang tulus dan mulia dari Reta.
“Makasih, Von,” ujar Reta, matanya berkaca-kaca. Tanpa ragu, ia memeluk Voni dengan erat, sebuah pelukan perpisahan yang terasa begitu dalam dan sarat makna.
Valeri, yang menyaksikan semua itu, merasakan gelombang emosi. Ia merasa sedih dan bersalah karena dia sudah ketus kepada Reta sebelumnya. Ia menyadari bahwa Reta tidak seburuk yang ia bayangkan, justru Reta adalah sosok yang sangat tulus dan peduli terhadap kebahagiaan orang lain, bahkan di tengah kesulitannya sendiri.
“Kak Reta, aku minta maaf ya kalau sebelumnya sudah jahat ke Kakak dengan ucapanku,” ujar Valeri, suaranya sedikit bergetar karena rasa bersalah yang menusuk. Ia menatap Reta dengan mata berkaca-kaca.
“Iya, enggak apa-apa kok, aku paham, Leri,” ujar Reta tulus, mengusap lembut rambut Valeri. Sebuah senyum ikhlas terukir di bibirnya.
Valeri pun memeluk Reta, dan Voni pun ikut nimbrung dalam pelukan itu. Sebuah pelukan hangat yang menunjukkan ikatan persahabatan dan rasa saling memiliki yang baru saja terjalin. Dion merasa bingung dengan percakapan mereka. Apa yang salah dari Valeri kepada Reta? Apa yang dipahami Voni dari kata-kata Reta? Ia merasa ada sesuatu yang tidak ia ketahui, sebuah rahasia yang tersembunyi di antara para gadis itu, sesuatu yang hanya mereka yang bisa memahami.
KONDISI RETA MEMBURUK
Setelah beberapa saat menikmati kebersamaan dalam pelukan hangat itu, tawa dan obrolan ringan kembali memenuhi rooftop. Namun, kehangatan suasana itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, senyum di wajah Reta memudar. Tangannya terangkat, memegangi kepalanya, mengeluh sakit yang semakin menjadi-jadi. Wajahnya yang tadinya ceria kini berubah pucat pasi, seperti kertas. Beberapa detik kemudian, cairan merah pekat mulai mengalir perlahan dari hidungnya. Darah. Reta mengalami mimisan yang cukup parah. Rasa panik mulai menjalar di mata Voni dan Valeri.
Pandangan Reta mulai kabur, tubuhnya limbung. Sebelum Dion sempat bereaksi sepenuhnya, Reta kehilangan kesadaran dan pingsan. Tubuhnya jatuh lemas ke dalam pelukan Dion yang sigap menangkapnya.
Dion langsung panik. “Leri, panggil pengasuh Reta!” teriaknya, suaranya tercekat oleh kekhawatiran yang mendalam. Tanpa menunggu sedetik pun, Dion segera mengangkat Reta dengan hati-hati ke dalam gendongannya. Ia bergegas menuruni tangga dari rooftop, diikuti oleh pengasuh Reta, Valeri, dan Voni yang panik. Mereka berlari secepat mungkin menuju mobil. Suasana yang tadinya ceria berubah menjadi penuh ketegangan dan kepanikan. Mereka semua berharap Reta baik-baik saja dan dapat segera mendapatkan pertolongan medis.