Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Bikin Cemburu Bagian 3.
Hujan sudah mulai reda, langit mendung masih menghiasi kota. Membuat semua orang enggan pergi ke manapun.
Namun, tidak bagi Joseph. Setelah membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh Marsha, ia langsung menuju tempat tujuan. Padahal, putra semata wayangnya baru saja keluar dari rumah sakit hari itu.
Ternyata sebesar itu ya, rasa peduli Joseph terhadap Marsha. Akankah keduanya bersatu di masa depan? Entah, siapa yang tahu.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit lamanya akhirnya ia sampai juga di halaman vila. Matanya mengedar, seperti terkejut sekaligus takjub saat pertama tahu ternyata kakaknya memiliki Vila tanpa sepengetahuan keluarganya.
Di bawa gerimis, Joseph sempat beradu argument dengan dua penjaga di sana. Tetapi, melihat Marsha berlari mendekat, akhirnya penjaga itu memperbolehkan Joseph memarkirkan mobilnya di sana.
"Biarkan dia masuk! Dia adik kandung suami saya!" seru Marsha sambil menata napasnya yang masih memburu karena baru berlari menuruni tangga.
"Ya, Mbak. Maaf," sahut salah seorang penjaga.
Joseph mengulas senyuman di wajahnya, meskipun senyum itu terlihat tegang. Setidaknya, ia sudah berada di tempat itu.
"Ada apa, Sya?" tanya Joey dengan kening berkerut.
"Bawa aku pergi dari sini, kakakmu selingkuh. Kau tahu, dia membawa perempuan lain di kamar kami. Apakah itu pantas?" Marsha berbicara dengan suara bergetar, matanya pun dipenuhi embun.
Kening Joseph berkerut, ada rasa tak percaya. Setahu dia, selama ini memang banyak perempuan datang mendekat, tetapi kakaknya itu tidak pernah tertarik pada satupun di antara mereka.
"Bisa antar aku menemuinya?" tanya Joseph ingin memastikan jika hal itu salah.
"Gak perlu, Joey. Kita sebaiknya pergi saja sekarang. Aku akan urus surat perceraian. Biar papaku tahu, pilihannya salah!" desis Marsha, emosi.
"Kalau kamu mau cerai harus dapat bukti. Ayo, aku mau lihat dulu apa yang sebenarnya dilakukan kakakku. Antar aku ke kamar kalian!" Mata Marsha membola, setelah itu akhirnya ia berjalan melangkah dan masuk lebih dalam ke ruangan.
Kakinya sempat ragu ketika menaiki anak tangga, tetapi Joseph bersih keras memaksanya.
Tepat di ambang pintu Marsha masih memilih mematung. Sedangkan Joseph, ia sengaja menerobos masuk dan membuat beberapa orang di dalamnya terkejut.
Mereka saling menatap satu sama lain. Beberapa orang di dalam ternyata sedang sibuk. Sebelumnya, Marsha bilang suaminya sedang berdua dengan seorang perempuan, kenyataannya tidak. Apakah dia sedang salah paham?
Sebelah alis Joseph terangkat sempurna, sebelum akhirnya ia menghampiri Marsha yang bersembunyi di balik tembok.
Tergambar raut kecewa tak terkira dari air muka perempuan cantik itu. Wajahnya merengut, tak ada senyum sedikitpun yang tampak.
"Marsha, sepertinya kamu salah paham. Apakah kamu sudah tahu, mengenai beberapa pekerjaan sampingan kakakku selama ini?" Joseph berjalan mendekati Marsha seraya berkata.
Gadis itu langsung mengangkat wajahnya. Seolah ekspresinya tak percaya sekaligus bingung mengenai argumentasi adik tirinya.
Marsha menggeleng cepat sebagai jawaban.
"Sepertinya, kalian butuh banyak waktu untuk saling mengenal. Kakakku juga seorang model. Apa katamu sebelumnya? Ko Gio hanya mengenakan handuk mini dan sedang diperiksa area perutnya?"
Lagi, Marsha mengangguk sebagai jawaban. Tapi bedanya kali ini anggukannya setengah tertahan, ragu? Mungkin.
Marsha langsung berjalan cepat sambil tangannya digenggam oleh Joseph. Pria itu memang cinta mati pada Marsha. Tapi ia juga tidak mau kakaknya dipersalahkan.
Setelah masuk ke kamar, betapa terkejutnya Marsha. Ia melihat suaminya sedang dipotret oleh seorang kameramen. Ada juga salah seorang dari mereka yang mengabadikan lewat video.
"Sya, sini. Aku jelasin." Giorgio melambaikan tangan ke arahnya.
Mendung masih menggantung menyelelimuti wajah cantik gadis itu. Kakinya melangkah ragu menapaki ubin keramik kamarnya.
Betapa terkejutnya ketika ia melihat handuk mini terlilit di pinggang suaminya, dan sebuah alat terpasang di bagian perutnya. Terlihat terus bergetar dengan beberapa kabel yang masih tertancap.
Sementara itu, di sisi ranjang. Seorang perempuan berparas cantik, yang memakai pakaian serba mini, sedikit mengekspos bagian tubuh area dadanya, tampak sibuk memeriksa layar yang terhubung dengan alat itu.
Debaran jantung Marsha semakin berdetak tak karuan iramanya. Bulir matanya nyaris mencelos jika saja Joseph tidak berdiri di belakangnya sambil memberikan elusan halus di punggungnya.
"Ko, kenapa kamu lakukan ini?" tanya Joseph dengan nada penuh penekanan.
Rahangnya mengeras. Jelas ia sedang marah saat ini.
"Apa maksudmu, Joey? Tuduhan macam apa lagi ini? Aku kakakmu! Tidakkah kamu bisa menghormati sedikit saja? Kamu menuduhku seolah-olah aku laki-laki hina di depan istriku. Padahal kamu juga sudah tahu ini hanya bagian dari pekerjaanku," terangnya, panjang lebar.
Giorgio tidak bisa bergerak karena beberapa alat yang masih terpasang di atas handuk yang melilit tubuhnya. Sementara beberapa kru, terlihat menghentikan aktivitas mereka setelah mendengar kemarahan Joseph.
"Ya, aku memang tahu semua tentang kamu, Ko! Tapi dia, istrimu, perempuan yang baru saja kamu nikahi ini ... sudah kamu buat menangis dan hancur hatinya karena kamu menciptakan suasana yang membuatnya cemburu, apakah itu adil?"
Marsha langsing membalikkan badan ingin pergi, air matanya tumpah. Mungkin bagi Giorgio ini adalah situasi biasa, tetapi bagi Marsha ... ini adalah aib.
Bagaimana mungkin seorang pria terpandang, sengaja membagikan area sensitif tubuhnya untuk diekspos? Itu melanggar norma bagi gadis terse.
"Sya, jangan langsung pergi. Sudah kubilang ini hanya salah paham. Tunggu aku setengah jam lagi. Aku sedang malas berolahraga, itu sebabnya, otot perutku harus dikencangkan dengan alat ini untuk membuang letaknya. Aku diendorse sama Merry, untuk memperkenalkan alat ini," terangnya.
Marsha mengurungkan niatnya untuk melangkah. Kemudian ia memberanikan diri membalikkan badannya lalu menatap lekat suaminya.
"Kau bahkan sangat dihormati, seorang Presdir di tiga perusahaan keluarga sekaligus. Itu bukan jabatan yang main-main, Mas. Lalu, kenapa kamu bisa merendahkan diri kamu? Aku bahkan tidak pernah menyentuh perutmu, dan kamu membiarkan wanita lain menjamahmu. Aku menunggumu, kita selesaikan semuanya sekarang!" desis Marsha.
Setelah selesai berbicara, akhirnya gadis itu melangkah keluar kamar. Ia bahkan berjalan melewati Joseph.
Suasana hatinya benar-benar panas. Di luar kamar, ia menangis sejadi-jadinya.
Lalu, Joseph menghampirinya.
"Marsha, jika situasi dan kondisi kakakku telah membuatmu kecewa, lalu kenapa kamu malah menangisinya? Bukankah ini yang kamu harapkan? Mencari alasan untuk bercerai?"
Mata Marsha terbelalak mendengar penuturan Joseph. Entah mengapa, ucapan pria yang dicintainya terasa menikam? Sakit, perih.
Seharusnya Marsha bahagia, karena dengan begitu ia memiliki alasan untuk bercerai dengan suami yang baginya hanya pernikahan pura-pura itu. Tetapi kenyataannya, ia merasa sesak.
Ia mengabaikan Joseph, yang ia lakukan justru menangis hebat. Tubuhnya ambruk terduduk di lantai depan kamar.
Suaranya bahkan telah berubah parau, membuat Joseph bingung harus bersikap apa atas kejadian itu.
Perempuan yang dicintainya ternyata sedang dilema. Mungkinkah perasaannya telah goyah? Benarkah Giorgio benar-benar mampumembuatnya secemburu itu?
Bersambung....