Axel Rio terjebak bertahun-tahun dalam kesalahan masa lalunya. Ia terlibat dalam penghilangan nyawa sekeluarga. Fatal! Mau-maunya dia diajak bertindak kriminal atas iming-iming uang.
Karena merasa bersalah akhirnya ia membesarkan anak perempuan si korban, yang ia akui sebagai 'adiknya', bernama Hani. Tapi bayangan akan wajah si ibu Hani terus menghantuinya. Sampai beranjak dewasa ia menghindari wanita yang kira-kira mirip dengan ibu Hani. Semakin Hani dewasa, semakin mirip dengan ibunya, semakin besar rasa bersalah Axel.
Axel merasa sakit hati saat Hani dilamar oleh pria mapan yang lebih bertanggung jawab daripada dirinya. Tapi ia harus move on.
Namun sial sekali... Axel bertemu dengan seorang wanita, bernama Himawari. Hima bahkan lebih mirip dengan ibu Hani, yang mana ternyata adalah kakak perempuannya. Hima sengaja datang menemui Axel untuk menuntut balas kematian kakaknya. Di lain pihak, Axel malah merasakan gejolak berbeda saat melihat Hima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Agreement
Pertemuanku dengan Artemis ini sangat menghebohkan di awal.
Gara-gara si Hani.
Aku akan menceritakannya ke Baron saat ini. Mohon maaf kalau di episode ini lebih banyak diskusinya jadi bikin bosan, ini kebanyakan adalah obrolan para bapak-bapak, walaupun usiaku masih 25, ya tapi kan ‘anakku’ banyak juga loh.
Inilah Penyebab, kenapa aku sampai dikejar-kejar preman.
Tahu kan kalau Hani waktu itu bilang pada kami kalau dia menemukan gedung yang minim penjagaan dengan harta benda teknologi canggih berserakan di dalamnya? Harta karun bagi kami, bisa kami jual lagi ke penadah.
Ternyata gedung itu adalah gedung Praba Grup.
Dan aku sangat bodoh, tidak menyadari Hal ini.
Bagaimana mungkin hal itu terlewat olehku?
Yang lebih menyakitkan lagi... ternyata Hani menjebak kami.
“Jadi Le... kamu ini siapa sebenarnya?” tanya Baron sambil menegak bir dari kaleng. Kami berada area smoking bagian luar cafe. Suasana malam itu ramai dengan orang-orang yang pulang kerja mampir dulu di sekitaran kami memenuhi cafe-cafe lain, sekedar nongkrong santai dengan teman-teman mereka. Banyak juga pekerja yang tampak menunggu Transjakarta di feeder yang penuh sesak.
Pertanyaan Baron tadi... aku berasumsi dia sudah tahu aku ini Axel Rio, pasti informasi mengenai identitasku sudah tersebar.
Aku harus segera minta maaf, dengan cara sesopan yang aku bisa.
“Mohon maaf Gusti,” desisku sambil tersenyum. Kucoba mengambil hatinya sebisa mungkin.
Terdengar decakan Artemis.
Aku tak peduli.
Di sini ada yang pangkatnya lebih tinggi, aku jelas tak menghiraukannya.
Maaf saja, ini masalah bertahan hidup.
“Baron aja, gue nggak suka penjilat.” Desis Baron.
Baiklah, aku akan sesantai mungkin bicara.
“Oke...” desisku. “Sori kalau gue nyusahin lo semua. Gue akan usahain semua barang yang sudah gue jual ke penadah bisa gue kembalikan ke gedung.”
Baron dan Artemis pun diam sambil menatapku.
Kuanggap mereka sedang menunggu kalimatku barusan.
“Kerjaan gue setelah gue buron... adalah menjadi penjaga di kampung itu. Duit yang gue punya nggak cukup buat biaya makan anak-anak terlantar di sana. Jadi pekerjaan apa pun terpaksa gue lakuin. Termasuk... mencuri di gedung punya Devon.”
BRAKK!!
Artemis gebrak meja.
Aku sampai tersentak sebentar, lalu menarik nafas panjang.
Orang-orang yang berlalu lalang menatap kami dengan waspada.
“Lo jadi ngaku ya kalo lo dalang di balik semua pencurian itu?!” Artemis menunjuk hidungku.
“Bukan gue dalangnya. Tapi Hani.”
Artemis ternganga.
Baron hanya terkekeh, entah apa yang ada di pikirannya.
“Lu masih aja... hih!!” Artemis berdesis ingin menyerangku tapi dia mati-matian menahan diri.
Aku melanjutkan pembelaan diriku. “Hani yang mengusulkan kami untuk mencuri di sana. Gue asumsikan, untuk balas dendam. Adiknya meninggal dipukulin Asep dan Ical. Sementara gue memakamkan Farid tanpa bilang-bilang. Gue janji buat ngobatin Farid, tapi duit yang gue punya nggak cukup. Setelah gue dapet duitnya, Farid udah keburu meninggal.”
“Farid... adiknya? Hani Sutjandra adalah anak tunggal Adam Sutjandra dan Hana Sasaki.” Kata Baron.
“Hana Sasaki?’ Tanyaku.
“Ibunya, yang lo gorok terus lo perkosa!” Tuduh Artemis padaku. “Terus bangsatnya, lo bawa anaknya! Entahlah tuh Hani udah lo apain aja, pantes aja dia mau balas dendam ke elo!” seru Artemis.
“Hani bilang itu semua ke elo?” gerutuku. Sakit banget dadaku dituduh begitu.
“Bukan Hani yang bilang, tapi asumsi kita dari semua bukti yang ada.” Kata Baron.
“Bukti ya... gue juga pingin liat yang itu. Biar kita telaah sama-sama.” Kataku sambil tersenyum. “Hana Sasaki... orang Jepang ya? Hani bukan keturunan China ya ternyata, gue pikir karena Adam Sutjandra jadi dia...”
Nama wanita pujaanku, yang lehernya hampir putus itu...
Hana Sasaki.
Bahkan dalam kondisi seperti itu dia sangat cantik.
Kalau kami bertemu dalam keadaan hidup... mungkin dia sudah kugoda habis-habisan dan kurebut dari suaminya.
Mungkin... bidadari memang tidak seharusnya hidup di bumi.
“Heh? Ngayal aja kerjaan lo.” Gumam Artemis.
Aku meliriknya, lalu was-was.
Barusan... di dengar isi hatiku?
Atau mulutku bicara sendiri.
Tapi melihat wajah Baron yang menunduk menahan tawa sih, sepertinya otomatis kata hatiku tertransfer ke mulutku.
Aku tarik nafas panjang.
Malu banget sumpah.
“Jiah muka sampe merah gitu, bangsat banget...” aku mendengar Artemis menggerutu lagi.
Astaga, mukaku me-merah?
Langsung kuambil tisue dari atas meja dan kulap wajahku.
“Jackson, apa yang terjadi?” tanya Baron sambi menegak birnya. “Kami ingin tahu dari sudut pandang lo.”
Aku menarik nafas panjang.
“Lo berdua harus tahu kalau gue ikhlas-ikhlas aja seandainya Hani ingin balas dendam ke gue, karena memang gue terlibat ke penghilangan nyawa kedua orang tuanya. Tapi kalau masalah Farid, gue tekankan sekali lagi kalau gue juga sayang anak itu. Farid itu bayi buangan, yang dianggap adik oleh Hani. Dari mulai dia bayi hampir dibunuh anak-anak dan warga kampung gara-gara tampangnya dianggap aneh, dibilang anak Jin, sampai dia gue rawat, dan nyatanya dia bisa menyembuhkan Hani dari depresinya. Makanya gue berusaha menjaga Farid. Ya tapi yang namanya ditengah-tengah banyak orang, gue akuin ada hal-hal yang nggak bisa gue atur. Mereka punya hukumnya sendiri... yang lemah akan ditindas, walau pun bekingannya gue. Karena yang membunuh Farid ya anak asuh gue juga. Mereka sama-sama anak gue.” Aku berusaha menjelaskan dengan singkat, kuharap mereka percaya padaku.
“Lalu masalah pencurian itu... lo nggak tahu siapa yang punya gedung itu?!”
“Itulah.” Desisku sambil menunduk. “Gue nggak cari tahu. Pikiran gue dipenuhi oleh kondisi Farid.”
“Lo bahkan nggak tahu kalau Hani udah kerja di sana seminggu?”
Aku pun menggeleng, “Gue nggak tahu Bang.” Aku mengangkat wajahku. “Gue juga punya kesibukan sendiri, kerja di cafe sambil kuliah. Belum urusan nyari duit tambahan. Anak yang lain juga butuh gue, bukan Cuma Hani doang. Dan Hani udah usia remaja, di usianya bahkan lebih muda lagi, gue udah terlibat pembunuhan. Jadi kalau dia bertingkah laku aneh ya wajar kalo nggak ke kontrol. Nggak mungkin gue ikutin kemana-mana Bang, gue bukan pengawalnya.”
“Tapi kewajiban lo kan menjaga Hani.”
“Gara-gara cari dia, gue nggak sempat merhatiin Farid yang kondisinya lebih butuh kasih sayang dibanding Hani. Dan lo tahu Hani dimana? Nginep di rumah Devon!” Seruku langsung emosi.
Baron dan Artemis terbelalak melihatku.
“Mereka enak-enakan cinta-cintaan di rumah mewah di kasur anget, gue pontang panting nyariin berkilo-kilo nyusup ke kampung-kampung, ke tempat pembuangan sampah, ke area preman semaleman, takut dia diculik! Di saat yang bersamaan, Farid lagi digebukin anak-anak! Terus gue harus apa sekarang?!”
Tak kusadari nada suaraku meninggi.
Ternyata aku sampai meneriaki eksekutor Praba Grup!
Lancang sekali mulutku ini.
Astaga, aku kan berniat minta maaf, malah kelepasan.
“Sori Bang...” gumamku sambil kembali duduk.
Jantungku berdebar kencang.
Aku meneriaki malaikat maut.
Entah akan jadi apa aku semenit lagi. Perkedel kah? Dendeng kah? Atau daging cincang dibikin rendang kali.
Kutunggu beberapa saat, Artemis tak bereaksi, hanya melihatku.
Tapi tatapannya melembut.
Sementara Baron kembali menegak birnya.
Karena tak mungkin kami diam-diaman begini, mau tunggu sampai subuh? Ngantuk lah aku.
Akhirnya kulanjutkan penjelasanku.
Tenggorokanku kering, kutegak sekali isi kaleng bir.
“Gue... sadar gue lalai, Bang. Gedung sebesar itu tak mungkin tanpa penjagaan. Dan ternyata bukannya tak ada penjaga. Tapi memang sudah ada CCTV di setiap sudutnya. Dan penjaga hanya beraktivitas di waktu siang. Hani membawa anak buah gue ke sana dengan tujuan agar kami semua kalian tangkap. Agar dia bisa kabur untuk memulai hidup barunya. Dia sudah tahu seberapa berpengaruh kalian, kalau kami ambil satu saja barang dari gedung itu, taruhannya nyawa. Dan kami ambil banyak. Hani sudah bisa memperkirakan semua kekacauan ini.”
Baron mengangguk membenarkan penjelasanku.
Aku pun melanjutkan kembali. “Tanpa dia tahu... kalau selama ini gue bohong Bang. Gue nggak pernah bakalan menjual dia Bang. Keperawanannya gue jaga bukannya mau gue jual, tapi biar dia punya harga diri sebagai wanita! Gue pukulin Paijo biar Hani punya identitas baru, biar dia bisa cari kerja! Salah gue... nggak jujur di awal, jadi dia salah paham.”
“Oke, stop.” Artemis mengangkat tangannya ke depan hidungku. “Gue udah paham.”
Baron hanya terkekeh.
“Jadi gini, kampret...” geram Artemis padaku. “Kita berdua ke sini karena diminta Devon.”
Aku berpikir. Sepenting apa sih sebenarnya posisi Devon sampai nih dua orang algojo mau aja disuruh-suruh dia.
“Katanya lo cari-cari Bapak.” Kata Artemis.
‘Bapak’ yang dimaksud, aku asumsikan sebagai Damaskus Prabasampurna.
“Ya.” jawabku singkat.
“Kami perkirakan, lo mau ketemu bapak karena ingin jadi bagian dari kami.”
“Ya.” Aku akui hal itu.
“Lo memang... punya apa?” tanya Artemis menantangku. Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku dan tersenyum sinis.
“Apa untungnya gue bilang ke lo?” aku balik menantang.
“Akses langsung ke bapak. Kalau tidak ke bapak, ke keluarga Ranggasadono. Kita lihat sepenting apa lo nanti sampai dengan pedenya lo bisa jadi bagian dari kami.”
Aku menarik nafas panjang.
Inilah yang akan kuungkapkan.
Kartu Asku.
Gimn kabar Hani thor?
Selamat hari rays idul fitri madaaammm 😍😍😍🙏🏼🙏🏼🙏🏼
kau kan liat Hana Sasaki pas ada luka g0r0k di lehernya... himawari keadaan baik baik saja...
jelas beda lah Jakson
mksih sdh rajin update teruuusss...
terima kasih up nya Thor séhat selalu 🙏🏻🙏🏻🥰