NovelToon NovelToon
Bukan Sekedar Teman Ranjang

Bukan Sekedar Teman Ranjang

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Dokter / Pernikahan rahasia
Popularitas:33.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ayu Lestary

Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?

Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 : Between Us

Sejak pertemuan di kafe hari itu, ada sesuatu yang berubah dari Xavier.

Ia tidak benar-benar menghilang, tetapi kehadirannya menjadi seperti bayangan: ada, tapi tidak terasa. Tidak ada lagi pesan singkat “sudah makan?” atau notifikasi ringan seperti “pulang baik-baik.” Bahkan, tanggapannya terhadap chat Luna menjadi singkat dan formal, hampir seperti kolega, bukan lagi sahabat yang dulu bisa mengobrol sampai larut malam hanya karena topik sepele seperti selai favorit.

Luna menyadarinya, tetapi justru berfikir itu karena Xavier sedang sibuk.

*

Cahaya sore menyusup lembut melalui jendela ruang seni di rumah sakit. Di sana, Luna masih asyik menyelesaikan lukisan ketiganya—seorang suster muda sedang membantu pasien tua duduk di kursi roda. Warna-warna hangat yang ia pilih membuat adegan itu terlihat lebih damai dari kenyataan.

“Sudah ku duga, kau pasti masih di sini,” Zora. Dengan dress santai berwarna krem, dan tas selempang kecil yang tergantung di bahunya. Ia membawa dua gelas kopi.

Luna menyambutnya dengan senyum ringan. “Aku mulai betah di sini. Banyak momen menyentuh yang bisa dituangkan ke kanvas.”

Zora mengangguk, menyerahkan salah satu kopi. Mereka menikmati beberapa tegukan dalam diam sebelum akhirnya Zora membuka suara.

“Sepertinya bantuanmu berhasil.”

Luna menoleh, sedikit bingung. “Bantuan?”

“Ya,” jawab Zora, kali ini dengan senyum penuh makna. “Untuk membuat aku dan Xavier dekat lagi. Kami memutuskan untuk mencoba kembali.”

Luna terdiam.

Untuk sesaat, pikirannya melayang, ketika Xavier mengaku bahwa ia pernah disakiti, dikhianati oleh Zora.

“Bukankah... dulu, kalian berpisah karena kamu... mengkhianatinya?” Suara Luna pelan, tapi tegas.

Zora tampak tidak terkejut. Ia menarik napas, menatap lurus ke lukisan yang baru separuh jadi.

“Ya, itu benar,” ujarnya akhirnya. “Aku mengkhianatinya. Tapi bukan karena aku tidak mencintainya. Justru karena aku ketakutan—Xavier terlalu sempurna. Dan aku, waktu itu, masih terlalu sibuk dengan ambisi dan egoku sendiri.”

Luna memandangi wajah Zora. Tak ada tanda-tanda pembelaan diri. Hanya pengakuan yang tenang.

“Kau yakin tidak akan melukainya lagi?” tanya Luna. Kali ini, nadanya lebih sebagai seorang sahabat. Bukan penilai, bukan penuduh.

Zora mengangguk pelan. “Aku tidak bisa menjanjikan banyak hal. Tapi aku tahu pasti satu hal—aku tidak akan menyerah lagi. Tidak padanya.”

Hening sesaat. Hanya suara kuas Luna yang menyentuh kanvas.

“Aku tidak bermaksud ikut campur,” ucap Luna kemudian. “Tapi kalau dia sampai terluka lagi, aku tidak akan diam saja.”

Zora tersenyum lembut. “Itu karena kau peduli, ya?”

*

Xavier baru pulang saat jarum jam hampir menyentuh angka dua belas. Hujan baru saja reda, menyisakan embun tipis di bahunya dan aroma malam yang lembap.

Ia mengira rumah sudah sunyi. Namun begitu membuka pintu, cahaya televisi menyala redup di ruang tengah. Di sana, Luna duduk dengan hoodie kebesaran, memeluk lututnya di atas sofa, seperti sedang mencari kehangatan dari dirinya sendiri.

Xavier berniat langsung masuk ke kamarnya, berpura-pura tidak melihat. Ia lelah. Bukan hanya karena jam kerja panjang di rumah sakit, tetapi juga karena percakapan-percakapan yang tak pernah ia ucapkan.

Tapi langkahnya tertahan saat Luna membuka suara, pelan, tanpa menoleh.

“Xavier… boleh kita bicara sebentar?”

Ia memejamkan mata sejenak, menimbang-nimbang. Lalu dengan napas berat, ia melangkah pelan dan duduk di sofa, meninggalkan sedikit jarak di antara mereka. Tidak terlalu jauh, tapi cukup untuk menunjukkan sikap hati-hati.

Hening sejenak sebelum Luna mulai bicara, suaranya nyaris seperti bisikan.

“Jadi, kau memutuskan untuk kembali menerima Zora?”

Xavier tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh, menatap wajah Luna yang diterangi cahaya samar dari televisi. Sorot matanya gelap, tak bisa dibaca.

“Aku ikut bahagia jika itu benar. Zora pasti sudah berubah… dan aku pastikan, dia tidak akan berani menyakitimu lagi.” Diiringi senyuman khasnya.

Tak ada balasan dari Xavier. Ia hanya kembali menatap ke depan, rahangnya sedikit mengeras.

"Apa hanya itu yang ingin kau katakan?" suara Xavier terdengar tegas, bahkan sedikit tajam, membuat Luna mengangkat wajahnya dengan kening berkerut.

Ia terdiam sejenak, menelan kekesalan kecil yang hampir naik ke permukaan, sebelum akhirnya berkata, “Sebenarnya aku juga ingin mengajakmu menonton. Kalau kau tidak keberatan.”

Xavier menatapnya beberapa detik, tatapan yang sulit dibaca, sebelum akhirnya menggeleng pelan.

“Tidak. Terima kasih,” ucapnya singkat.

Ia lalu bangkit dari sofa tanpa menambahkan penjelasan atau alasan. Langkah kakinya terdengar berat namun mantap saat ia melangkah pergi, meninggalkan Luna yang masih duduk terpaku di ruang tengah, memandangi bayangannya sendiri di layar TV.

Di balik pintu kamarnya, Xavier berdiri dalam gelap, bersandar pada dinding. Wajahnya tak tenang, seolah diliputi badai yang tak bisa ia redam.

Tangannya mengepal.

Bukan karena marah pada Luna. Tapi pada dirinya sendiri—karena semakin ia menjauh, semakin ia berharap Luna mengejarnya.

Namun ia tahu, Luna tidak akan pernah melakukannya.

Dan mungkin, justru karena itu... ia takut.

*

Aroma telur dan roti panggang memenuhi udara di apartemen itu. Matahari baru saja menyibak tirai langit, menyelipkan cahayanya ke sela-sela jendela dapur. Di tengah ruangan, Luna sibuk di balik meja dapur dengan celemek bergambar alpukat tertawa.

Ketika Xavier melangkah masuk, rambutnya masih acak-acakan, kaus oblong yang dikenakan sedikit kusut, dan kantung mata terlihat jelas di wajahnya yang belum sepenuhnya sadar.

“Halo, manusia pagi yang nyaris punah!” seru Luna riang, tanpa menoleh. “Selamat datang di restoran La Lunita! Hari ini spesial: roti panggang level dewa dan telur orak-arik dengan ekstra cinta!”

Xavier diam di ambang pintu, menatap punggung wanita itu yang bergerak lincah dari kompor ke meja. Tanpa menunggu jawaban, Luna menarik kursi untuknya dan mendorong piring berisi sarapan ke arahnya.

“Sarapan dulu, Dokter Galak. Jangan sampai pasienmu pingsan karena kamu kelelahan.”

Xavier duduk perlahan. Tatapannya masih dingin, tetapi Luna tampak tidak peduli sama sekali. Ia duduk di seberang meja, menyendok yogurt ke dalam mangkuknya sambil terus mengoceh.

“Tadi aku bangun lebih awal karena mimpi dikejar alpaka pakai helm. Entah kenapa, hewannya malah ngajak selfie, tapi aku lupa senyum. Serius, itu mimpi paling aneh minggu ini.”

Xavier hanya memandangi makanannya. Tidak ada senyum, tidak ada respons. Tapi itu tidak menghentikan Luna.

“Aku juga sudah cek jadwal pameran minggu depan. Kuratornya bilang lukisanku yang ‘Suster dan Pasien’ mau ditampilkan. Kau tahu kan, yang aku buat sambil ngomel soal kacang yang kau makan habis tanpa izin?”

Xavier masih tak bersuara. Tapi tangannya mulai menggerakkan garpu, menyentuh sarapannya. Sedikit. Pelan.

Luna mencuri pandang dan tersenyum tipis. “Tuh kan, kamu makan juga akhirnya. Makanan buatan tangan wanita tangguh sepertiku memang sulit ditolak.”

Suasana tetap hening, tapi bukan lagi hening yang menusuk. Luna mengisi kekosongan itu dengan canda dan celoteh, seperti biasa. Tidak ada kepura-puraan, tidak ada kesedihan terselip di balik suaranya.

Seolah kejadian semalam tidak pernah ada.

Seolah ia memang ditakdirkan untuk terus menjadi pelipur lara, bahkan ketika hatinya sendiri tidak sedang baik-baik saja.

Dan Xavier—meski tak membalas satu pun lelucon—makan hingga piringnya nyaris bersih.

Sementara Luna menyuap sesendok yogurt dan bergumam, “Lain kali aku buatkan omelet isi keju, biar hatimu juga ikut meleleh, bukan cuma kejunya.”

Untuk sesaat, Xavier nyaris tersenyum.

Nyaris.

To Be Continued >>>

1
Lin Frie
up lg
Ni made Wartini
lanjut, update nya jgn sedikit ya🙏
Rahmawati
hmm penasaran sm masa lalu zora
Rahmawati
skrg main teror ya zora
Nengsih Irawati
Masa lalu Zora ternyata tidak terduga,,,ayolah ceritakan luna
Nengsih Irawati
Semakin berani meneror
Moh Zaini Arief
semoga kalian ber dua baik2 saja cukup dengarkan xavier luna dan percayalah
Ni made Wartini
lanjut, makin seru nih
Nengsih Irawati
Keren km Xavier,,, selalu Gercep kalo itu menyangkut Luna🥰
Nengsih Irawati
Dasar kompor,,, berbagai cara pasti dilakukan Zora,moga aja Luna g terpengaruh
Nengsih Irawati
Zora emang keterlaluan,,, wanita paling egois
Moh Zaini Arief
bagus xavier.... jangan biarkan prasangka dan praduga
Syah Rara
superrrrrrrr /Drool//Drool//Drool//Drool//Drool//Drool//Drool//Drool/
Ayu_Lestary: Terima kasih 💐
total 1 replies
Syah Rara
bagussss
Syah Rara
Sepertinya seru..
Rahmawati
zavier km luar biasa, rela menempub perjalan jauh utk menemui lun
Rahmawati
Luna jgn terpengaruh sm bualan zora
Rahmawati
makin muak sm zora😡
Rahmawati
hahahah, udah tau gk di inginkan masih aja maksa
Rahmawati
kek gini aja terus, jgn hiraukan zora itu, Xavier kl bisa tunda dulu pernikahan sm zora
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!