Leon Harrington seorang hakim yang tegas dan adil, Namun, ia berselingkuh sehingga membuat tunangannya, Jade Valencia merasa kecewa dan pergi meninggalkan kota kelahirannya.
Setelah berpisah selama lima tahun, Mereka dipertemukan kembali. Namun, situasi mereka berbeda. Leon sebagai Hakim dan Jade sebagai pembunuh yang akan dijatuhkan hukuman mati oleh Leon sendiri.
Akankah hubungan mereka mengalami perubahan setelah pertemuan kembali? Keputusan apa yang akan dilakukan oleh Leon? Apakah ia akan membantu mantan tunangannya atau memilih lepas tangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Leon yang masih berada di kantornya larut malam itu tampak serius menatap berkas-berkas kasus yang berserakan di meja. Tatapannya tajam, namun penuh kebingungan dan amarah yang tertahan. Lampu meja menyala redup, menyinari wajahnya yang tampak lelah.
"Siapa pelakunya?" gumam Leon sambil memijat keningnya, mencoba meredakan rasa penat yang terus menekan pikirannya.
Tanpa pikir panjang, ia meraih ponselnya dan langsung menghubungi seseorang. Suaranya terdengar tenang namun mengandung tekanan.
"Selidiki ulang semua kenalan Jane Valencia dan juga lima korban. Lakukan dengan diam-diam. Agar tidak menarik perhatian!" perintah Leon tegas.
"Baik, Tuan!" jawab seorang pria di seberang sana, terdengar sigap menerima instruksi.
Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu.
"Tuan Hakim, kau masih di sini? Sudah larut malam. Seharusnya pulang dan istirahat. Aku berani bertaruh, gadis pujaanmu akan mengajukan banding," ucap Selena sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Leon mendongak, menatap Selena dengan pandangan dalam.
"Dia sudah tahu semua kejadian lalu?" tanyanya pelan, seakan ingin memastikan.
"Menyelamatkan satu nyawa tidak ada salahnya," jawab Selena, suaranya melembut. "Dia putus asa karena kematian kakaknya. Kedua orang tuanya juga berusaha menyembunyikan sifat asli putri mereka. Hanya dengan cara ini, kita bisa menjaga dia tetap hidup."
Selena menatap Leon dengan sorot mata yang tajam namun penuh empati.
"Jangan salahkan aku, Tuan Hakim! Aku hanya tidak suka melihat orang yang tidak bersalah harus dihukum mati. Sementara pelakunya masih berkeliaran di luar sana," lanjutnya dengan nada kesal.
Leon menghela napas panjang. "Jade pasti sangat terluka setelah mengetahui sifat kakaknya."
"Demi mendapatkan dirimu, wanita sialan itu bahkan rela melakukan operasi wajah," ucap Selena, ekspresi wajahnya penuh rasa jijik. "Jade Valencia terlalu polos untuk mencurigai apa pun."
Leon berdiri perlahan, berjalan ke jendela dan menatap keluar. Kota tampak sunyi, seolah ikut menahan napas mendengar kenyataan yang mencengangkan ini.
"Jane tinggal di luar negeri. Jadi Jade tidak akan tahu wajah dan sifat aslinya. Sejak usia 15 tahun, Jane Valencia tinggal di luar negeri dan belajar di sana. Sementara Jade hanya di dalam kota dan bekerja. Karena dia adalah anak angkat, jadi orang tuanya tidak memberi izin untuk mengejar impiannya. Saat kembali, wajahnya sudah mirip dengan Jade agar Jade percaya kalau mereka adalah kembar. Semua itu hanya karena rencananya untuk mendekatiku!" ungkap Leon, suaranya pelan namun penuh kepedihan.
Selena mengepalkan tangan. "Wanita ular itu mengerikan sekali. Dia memang pantas mati. Aku akan membantu menemukan pelakunya," ucapnya mantap.
"Cari tahu informasi selama Jane tinggal di luar negeri!" perintah Selena cepat.
Leon mengalihkan pandangan padanya.
"Apa kau harus ke luar negeri?" tanya Selena ragu.
"Iya," jawab Leon mantap. "Temui juga dokter yang melakukan operasi pada wajahnya. Semua teman dan siapa saja yang dia kenal!"
Selena terdiam sejenak, memikirkan kemungkinan-kemungkinan. "Kau mencurigai dia adalah dalang utamanya? Tapi dia sudah mati? Kenapa bukan cari tahu kenalan lima korban itu?"
Leon berbalik, menatap Selena dengan serius. "Aku tidak bisa percaya pada siapa pun sebelum mendapatkan bukti. Tentu saja semua kenalan lima korban dan Jane harus ditemukan. Kasus ini tidak mudah. Aku ingin tahu lebih banyak tentang Jane, agar bisa membantu mengungkap kasus ini. Walau dia sudah meninggal, tapi kita tidak tahu apa saja yang dia lakukan dulu atau sebelum meninggal."
Keesokan harinya.
Pagi yang cerah tidak mengubah atmosfer serius di ruang kerja Leon. Ia sedang duduk di balik meja, matanya menatap tumpukan berkas dengan penuh fokus ketika Jacob masuk dengan langkah cepat.
"Tuan, akhirnya Nona mengajukan banding. Itu berarti kita punya kesempatan untuk mengungkap lebih jauh kasus ini!" kata Jacob penuh semangat, menyerahkan dokumen pada Leon.
Leon mengangguk perlahan. Matanya menyipit, memikirkan langkah berikutnya.
"Aku akan menemuinya. Umumkan ke media bahwa kasus ini akan dibuka kembali," perintah Leon dengan suara tegas.
Jacob tampak ragu sejenak, lalu bertanya, "Untuk memancing pelakunya?"
"Benar. Kalau pelakunya tahu Jade tidak dihukum mati, maka dia pasti akan muncul," jawab Leon yakin.
"Baik, Tuan!" Jacob mengangguk hormat. "Tuan, saya juga mendapat informasi bahwa keluarga Valencia menemui Nona Jade di penjara."
Leon mendengus pelan. "Jade selama ini terlalu sabar dengan mereka. Tapi dengan sifatnya yang keras dan setelah semua ini terjadi, aku yakin kali ini tidak ada kata sabar," ucapnya dingin.
Penjara Wanita – Ruang Pertemuan
Ruang pertemuan itu dingin dan sunyi. Hanya suara samar-samar dari penjaga penjara yang terdengar di luar. Di balik kaca pemisah, Jade duduk tegak, wajahnya tegas dan dingin. Di seberangnya, duduk pasangan Marcus dan Sammy Valencia—ayah dan ibunya Keduanya tampak gugup dan lelah.
"Jade, Mama dan Papa telah mengajukan banding. Kau harus menerimanya dan melakukan sidang ulang," ucap Sammy hati-hati, berusaha menyentuh sisi lembut putrinya.
Jade menyilangkan tangan di dada, matanya tajam menusuk mereka. "Lalu, apakah aku harus berterima kasih pada kalian?" tanyanya dengan nada sarkastis.
Marcus mencondongkan tubuh ke depan, suaranya agak gemetar. "Jade, jangan main emosi lagi. Kami telah kehilangan Jane. Kami tidak ingin kehilanganmu juga," katanya, nyaris memohon.
Wajah Jade tak menunjukkan belas kasih. "Aku akan mencari tahu siapa dalang semua kejadian ini. Jika ada orang yang sengaja ingin menjebakku, aku tidak akan diam saja!" katanya mantap, penuh tekad.
Sammy mencoba tersenyum lembut. "Jade, percayalah pada Leon. Dia akan membantumu," katanya.
Jade mengangkat dagunya, suaranya dingin namun penuh luka. "Bisakah kalian memberitahu aku alasan sebenarnya, kenapa saat itu kalian mengusirku?"
Pertanyaan itu membuat pasangan Valencia saling berpandangan sejenak. Keduanya tampak gelisah.
"Jade, bukan niat kami untuk mengusirmu. Saat itu kau sedang terluka dan suasana hatimu buruk. Jadi menurut kami, lebih baik kau pergi untuk menenangkan diri," jawab Sammy, berusaha menutupi dengan alasan yang terdengar rapuh.
Jade menatap mereka tajam, seakan ingin menembus kebohongan yang mungkin tersembunyi. "Apa yang kalian sembunyikan dariku? Sebelum aku menemui lima pelaku itu, aku sempat pulang ke rumah. Kalian mengatakan tidak ingin aku tahu tentang Jane. Kalian tak ingin aku membencinya. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Marcus menunduk. Suaranya berat saat menjawab, "Jade, itu semua sudah berlalu. Kakakmu sudah tidak ada. Untuk apa lagi diungkit? Lagi pula... tidak ada hal penting."
Jade mengepalkan tangannya di atas meja. Dalam hatinya, firasat buruk semakin menguat.
"Tidak apa-apa kalau kalian tidak ingin bicara. Aku akan keluar dan membuktikan semuanya sendiri. Jane... walaupun dia adalah kakakku, kalau aku mendapati dia bersalah padaku, jangan salahkan aku kalau aku membencinya," ucap Jade dengan sorot mata yang mulai memerah.
Wajah Sammy berubah muram, matanya berkaca-kaca. "Jade, Jane sudah meninggal... dan dengan cara yang begitu tragis. Apakah kau masih bisa berkata seperti itu? Dia sangat mencintaimu selama ini," ujarnya dengan suara lirih, penuh luka dan harapan.
Namun Jade tak bergeming. Raut wajahnya mengeras. Luka yang selama ini ia pendam, kini berubah menjadi dinding dingin di sekeliling hatinya.
"Aku tidak peduli dengan semua itu. Mulai detik ini, aku hanya akan hidup demi diriku sendiri. Kalian pulanglah. Tidak perlu lagi datang menemuiku!" katanya tajam, lalu berdiri dari kursinya dengan gerakan cepat dan tegas.
Suara gesekan kaki kursi bergema di ruangan yang kini terasa semakin sunyi dan penuh ketegangan. Jade melangkah pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan kedua orang tuanya yang terdiam membisu, terjebak antara penyesalan dan ketakutan akan kebenaran yang mungkin akan terungkap. Namun mereka tidak menyadari bahwa Jade telah mengetahui semua kebenarannya!
ayo katakan yg sebenarnya