NovelToon NovelToon
Mahar Untuk Nyawa Ibu

Mahar Untuk Nyawa Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Romansa
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Asmabila

Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.

Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.

Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.


Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????

Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 25

Lorong lift kantor itu lengang, hanya terdengar langkah sepatu yang beradu pelan di lantai marmer. Cahaya lampu putih menerpa dinding abu-abu, memantulkan bayangan dua sosok perempuan yang bertolak belakang.

Raina mengenakan atasan kasual panjang berwarna hijau sage dengan potongan oversized yang trendi. Celana cargo hitam yang ia pakai sedikit menggantung di pergelangan kaki, memperlihatkan sneakers putih yang tampak sudah sering menemaninya ke mana-mana. Rambutnya diikat santai ke belakang. Penampilannya seperti gadis-gadis drama Cina modern—simple, nyaman, tapi tetap berkarakter.

Kotak makan siang tertenteng di tangan kirinya. Hari ini ia datang untuk mengantar makan siang seperti biasa. Bukan pekerjaan glamor, tapi dilakukannya dengan hati yang tenang.

Pintu lift terbuka dengan bunyi ting, dan dari dalam muncullah Bu Melisa. Perempuan itu tampil mencolok seperti biasa—setelan jas krem dari brand mahal, kacamata hitam di tangan, dan parfum mahal yang tercium bahkan sebelum sosoknya terlihat.

Tatapan mereka bertemu. Hanya sepersekian detik.

Raina menahan napas sejenak, lalu tersenyum sopan dan sedikit membungkuk.

"Ibu, apa kabar?"

Bu Melisa tak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat satu alis, menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki Raina seolah sedang menilai potongan harga di rak obral.

Bu Melisa tidak menjawab. Ia hanya menatap. Tatapannya datar, dingin, tapi tajam seperti ujung jarum—cukup untuk menusuk tepat di titik rapuh yang Raina sembunyikan.

Tak ada kata,.Hanya sepasang mata yang bicara lantang: “Kau tidak pantas berdiri di sini.”

Kemudian Bu Melisa melangkah keluar dari lift. Langkahnya teratur dan penuh wibawa, tidak terburu-buru, tapi seolah dunia memberi jalan hanya untuknya. Tanpa sepatah kata pun, tanpa menoleh.

Raina tetap berdiri. Tubuhnya kaku. Meski tak satu pun kalimat kasar diucapkan, ia tahu betul pesan yang baru saja ditinggalkan: “Ingat dari mana kau berasal.”

Dan seperti biasa, Bu Melisa tidak perlu bicara banyak.

🍒🍒🍒🍑🍑🍑🍑

Raina tidak terlalu memikirkan sikap Bu Melisa. Hatinya tidak tersentuh. Sejak awal, ia memang tak pernah benar-benar merasa dekat, apalagi mengenal sosok ibu mertuanya itu. Ada dinding tebal yang tak pernah ia coba tembus—dan rasanya, dan rasanya untuk saat ini mungkin belum waktunya.

Yang membuat langkah Raina tetap ringan hari itu, hanyalah satu alasan: Aditya.

Setibanya di depan pintu kaca berlapis tulisan CEO – Aditya Prawira, ia menarik napas dalam, lalu tersenyum. Senyum itu bukan pura-pura, tapi senyum seorang istri yang tahu: suaminya sedang menanggung beban besar, dan ia tak ingin menjadi tambahan luka.

Pintu terbuka otomatis. Ruangan luas itu langsung disambut cahaya matahari sore yang menembus jendela setinggi langit-langit. Di sana, berdiri sosok Aditya. Punggungnya tegak namun tampak berat, berdiri menghadap dinding kaca. Pandangannya kosong, menatap hiruk-pikuk kota Jakarta di bawah sana.

Ia menoleh pelan. Saat melihat Raina, bibirnya tersenyum—lembut tapi murung. Ada kabut dalam matanya, dan Raina tahu: belakangan ini terlalu banyak badai yang datang. Bahkan untuk bernapas pun, Aditya terlihat seperti sedang berjuang.

“Mas…” suara Raina pelan, tapi hangat. Ia mendekat sambil menenteng kotak makan. Senyumnya mengembang, seperti matahari yang pelan-pelan menyusup di balik awan.

“Aku bawain makanan kesukaan kamu. Yuk, kita makan dulu,” katanya, setengah membujuk.

Ia tak langsung bertanya. Tak mengusik beban. Ia hanya duduk di sisi sofa panjang yang biasa Aditya gunakan untuk istirahat, membuka perlahan bungkusan makanan yang disiapkannya sendiri tadi pagi.

Raina tahu, Aditya bukan pria yang mudah terbuka. Tapi ia juga tahu satu hal: lelaki itu akan melepas semua lapisannya, jika merasa cukup aman. Dan di hadapan Raina—di dalam ketenangan yang ia bawa—Aditya menemukan ruang itu.

"Cukup bisa lihat kamu makan dengan tenang, tahu kamu masih bisa tidur nyenyak, itu udah cukup buat aku bahagia,” bisik Raina sambil menatapnya dengan mata teduh.

Aditya hanya menatapnya dalam diam. Tapi di sana, di matanya yang mulai menghangat, ada jawaban yang tak terucap: Terima kasih, karena kau tetap di sini, bahkan ketika dunia sedang tak memihaknya.

Saat ia duduk di samping Raina dan mengambil sumpit dari tangan istrinya, mereka tak butuh banyak kata. Cinta mereka tidak selalu harus riuh. Kadang, cukup dalam sunyi dan sesendok nasi hangat, segalanya terasa lebih kuat dari apapun.

Dan saat sisa makan siang telah habis. Aroma nasi hangat dan lauk kesukaan Aditya masih tersisa di udara. Raina membereskan kotak-kotak makanan dengan cekatan, membungkusnya kembali seperti biasa. Tangannya sigap, matanya lembut mengawasi setiap gerakan, seolah mengemas bukan hanya bekas makan—tapi juga kasih sayang.

Aditya, yang sejak tadi duduk di sofa sambil memperhatikan Raina, tiba-tiba berdiri. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah pelan ke arah istrinya, lalu meraih tubuh mungil itu ke dalam pelukannya.

Pelukan itu singkat, tapi penuh arti. Satu lengan melingkar di pinggang Raina, sementara tangan satunya dengan santai mengacak poni istrinya yang rapi. Gerakannya begitu ringan, tapi cukup untuk membuat jantung Raina berdebar kecil.

Raina terkekeh pelan. “Poni aku rusak, tuh…”

Aditya hanya tersenyum simpul, matanya masih teduh menatap wajah istrinya. Tapi ia tahu, waktu tak bisa berhenti di situ saja.

“Sebentar lagi selesai. Tunggu, ya. Setelah ini Mas ajak kamu ke suatu tempat,” ucapnya lirih namun jelas, dengan nada penuh janji.

Raina langsung menegakkan tubuh dan matanya membulat sedikit, semangat.

“Benar, ya? Wah… baiklah kalau begitu. Semangat!!! Cepat selesaikan pekerjaanmu, Mas. Aku akan menunggu sambil nonton drakor dulu, hehe…” godanya sambil menjulurkan lidah manja.

Aditya tertawa pelan,. Momen sederhana itu seolah menjadi celah kecil tempat ia bisa bernafas dengan lega, di antara tekanan dan tumpukan masalah yang terus menggelayutinya belakangan ini.

Ia kembali ke meja kerjanya, duduk tegak sambil menarik napas dalam-dalam. Saat tangannya menyentuh keyboard laptop, ia menoleh sekali lagi ke arah Raina yang sudah duduk di sofa dengan ponsel di tangan.

Tatapan mereka bertemu. Tak ada kata.

Tapi senyum yang terukir di wajah Aditya kini benar-benar lepas.

Dalam diam, ia tahu: pulang bukan soal rumah. Pulang adalah Raina.

......................

Pintu ruangan CEO kembali terbuka dengan bunyi pelan klik, setelah tombol akses ditekan.

Dika, asisten pribadi Aditya yang sudah bertahun-tahun bekerja di bawahnya, melangkah masuk dengan membawa setumpuk dokumen yang baru saja selesai ia rangkum dan verifikasi. Wajahnya tenang, langkahnya rapi, namun matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat bibirnya terangkat sedikit tanpa sadar.

Aditya tengah duduk di balik meja, wajahnya lebih hidup dari biasanya. Senyum yang barusan tersisa di wajahnya belum sepenuhnya pudar. Di sisi lain ruangan, Raina tengah duduk santai di sofa, satu kaki dilipat sambil menonton drama Korea di ponselnya. Earphone tersambung, ekspresinya serius menatap layar—kadang tertawa kecil, kadang mengerutkan dahi karena tokohnya sedang patah hati.

Tak ada interaksi saat itu, tak ada pelukan atau canda tawa. Tapi kehadiran mereka berdua di ruangan yang sama menciptakan aura yang tak bisa dijelaskan. Hangat. Tenang. Seolah dunia luar bisa runtuh, tapi keduanya tetap kokoh berdiri berdampingan.

Dika berjalan mendekat dan meletakkan dokumen di meja kerja Aditya dengan sikap sopan.

“Ini dokumen tender yang tadi diminta, tuan,” ujarnya singkat.

Ia hendak menarik diri, seperti kebiasaannya selama bertahun-tahun bekerja di bawah Aditya Ramadhan—bos muda yang cerdas, tapi dikenal tak banyak bicara, apalagi basa-basi.

Tapi hari itu berbeda.

Aditya menatapnya sejenak, lalu berkata pelan namun jelas, “Terima kasih, Dika.”

Sejenak, Dika terdiam. Matanya membelalak sepersekian detik. Bahkan langkahnya sempat tertahan.

Itu... pertama kalinya.

Selama bertahun-tahun bekerja bersama, Aditya biasa memberi anggukan kecil, atau cukup dengan kontak mata untuk menunjukkan persetujuan atau penghargaan. Kata-kata seperti "terima kasih" terasa terlalu... personal, terlalu hangat untuk seorang pria seperti Aditya.

Namun hari ini, kata itu meluncur begitu saja. Ringan, tapi nyata. Dan di tengah ruangan yang penuh ketegasan bisnis, kata itu terdengar seperti nada baru—nada yang muncul sejak kehadiran Raina mengisi ruang-ruang kosong dalam hidup atasannya.

Dika menunduk cepat untuk menutupi senyum kecil yang tak bisa ia tahan.

“Sama-sama, tuan” balasnya singkat, lalu melangkah keluar.

Begitu pintu tertutup di belakangnya, Dika menghela napas pelan. Bibirnya masih tersenyum.

Ibu Raina... Anda benar-benar membawa perubahan. Bahkan untuk satu kata sederhana dari pria yang selama ini hanya bicara dalam perintah dan angka.

Dika sempat melirik Raina sekilas, lalu kembali pada tugasnya. Namun dalam hatinya, ia tak bisa menahan rasa lega dan bahagia yang pelan-pelan tumbuh sejak beberapa waktu terakhir.

Ia masih ingat saat dulu, awal kehadiran Raina sering dipenuhi keraguan dan bisik-bisik. Terlalu sederhana, terlalu berbeda dari standar keluarga besar Ramadhan. Tapi hari ini… semua itu seakan tak penting lagi.

Raina telah menjadi rumah bagi Aditya. Dan kini, semua orang di sekitar mereka bisa melihatnya dengan jelas.

Saat hendak keluar dari ruangan, Dika menunduk sedikit sopan. Dalam hatinya, diam-diam ia menyisipkan doa yang tulus: Semoga kebersamaan ini selalu dilindungi. Semoga bahagia mereka terus tumbuh, meski diam-diam dan pelan-pelan…

1
☠⏤͟͟͞R𝕸y💞𒈒⃟ʟʙᴄHIAT🙏
suamimu mulai jth cnt raina
Asma Salsabila: Terimakasih sudah mau mampir di karya receh saya, jangan lupa tinggalkan Like, comen& vote yah 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!