Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Nasi Uduk Porsi Kuli
Ratna keluar dari kamar mandi, mendapati Robin menutupi kepalanya dengan bantal. Ia pun masuk ke dalam selimut yang sama menghadap pria yang entah kenapa bersembunyi di bawah bantal itu.
"Hmmm, ya udah kalau gak mau cerita."
Namun, yang terdengar suara napas teratur yang sedikit teredam oleh bantal. Ratna mengintip dan menemukan suaminya yang telah tertidur dengan pulas.
Ratna turun kembali dari ranjang. Ia teringat pada kejadian saat bertemu dengan Hanza kembali. Lalu, kakinya melangkah menuju lemari, mencari travel bag yang ia bawa dari kontrakan. Dari dalam tas itu, ia mengeluarkan sebuah buku diari. Yang ia tulis semenjak moment kelahiran Hanza.
Di sana, Ratna kembali menumpahkan segala asa menuliskan harapannya kepada putri yang kini memilih untuk menjauh.
Dear gadis kecil Mama ...
Tangannya bergetar, air matanya mulai membasahi halaman pertama.
.
.
.
Keesokan pagi, Ratna sudah berada di dapur menyiapkan sarapan untuk Robin yang telah ke kamar mandi. Dengan penuh semangat, ia menggali kembali kemampuan masak yang telah lama terpendam, semenjak hidup sendiri.
Menu pagi ini yang ia buat adalah nasi uduk. Aroma santan dan bawang goreng memenuhi dapur hingga ke ruang tengah.
Saat Robin telah siap dengan jaket ojek daringnya, matanya terbelalak menemukan hidangan yang telah memenuhi meja makan mereka.
"Wah, kita mau ngadain pesta penyambutan, nih?" ucapnya sambil terkekeh.
Ratna tertawa kecil sambil menyendok nasi uduk beserta topingnya ke dalam piring yang berukuran lebar.
“Ini sarapan, Bang. Kamu pasti membutuhkan tenaga yang besar buat narik penumpang kan? Jadi ya … aku kasih porsi kuli,” ucapnya penuh bangga.
Robin duduk perlahan, menatap piring demi piring. Ada nasi uduk lengkap dengan ayam goreng, telur balado, orek tempe, bihun goreng, sambal kacang, dan dua gelas teh manis panas.
"Ini semua buat aku?" tanya nya kebingungan.
"Ya iya lah." Ratna duduk di sampingnya, tetapi porsi yang ada dalam piringnya sungguh sangat berbeda.
"Kok punyaku bisa setinggi gunung, tapi buat kamu dikit?" protes Robin merasa tidak adil.
"Aku memang segini saja, cukup. Emang kenapa? Abang nggak suka?"
“‘Ini mah kebanyakan untukku, Sayang. Kamu itu menaruh nasi uduk dengan porsi buka puasa untuk satu RT,” gumamnya, masih tercengang.
“Lho, abang gak suka?” Nada Ratna yang tadi penuh semangat, kini menurun karena tanggapan Robin tak sesuai ekspektasinya.
"Bukan nggak suka sih, hanya saja aku—" Robin sejenak memperhatikan air muka Ratna yang mulai berubah.
"Kalau aku makan tapi tak habis, kamu marah nggak?"
Bibir Ratna melengkung ke atas. Ia menghela napas berat. "Enggak, makan aja secukupnya."
Robin pun bangkit menuju dapur. Di dalam lemari rak piring seperti mencari sesuatu.
Ratna mengernyit dengan wajah heran menyusul suaminya ke dapur. "Cari apa?"
"Apa kita tak punya kotak bekal? Aku rasa, aku mau bawa setengahnya untuk bekal ngojek aja."
Ratna mengerutkan keningnya. "Aku nggak tau sih, harusnya aku yang nanya sama Abang. Kan ini rumahmu, harusnya Abang yang tahu di mana letak semua peralatan itu," ucap Ratna sedikit kesal.
Robin menggaruk kepalanya, karena ia sendiri tak tahu apa-apa tentang semua isi di rumah ini. "Mungkin aku lupa," ucapnya lagi kembali ke meja makan.
"Huuffftt ...." Ratna menghembuskan napas berat. "Nanti aku belikan deh," ucapnya. Lalu ia mencari sesuatu dan setelah mendapatkan benda yang dibutuhkan, langsung dibawa ke meja makan.
"Untuk sementara, Abang mau nggak pakai kantong plastik ini?"
Robin tersentak melihat kantong plastik es yang ukurannya cukup besar. "Itu untuk apa?"
"Masa nggak tahu sih? Abang nggak pernah memasukan makanan ke dalam ini?" Ratna memindahkan setengah isi piring Robin ke dalam plastik itu.
Robin menggeleng cepat. "Ini untuk pertama kali," ucapnya menatap tindakan istrinya dengan wajah heran.
Setelah isi berpindah, ia tambahkan lagi nasi uduk dan memisahkan semua isiannya. "Biar nggak cepat basi," terangnya lagi.
Setelah itu semua kantong diikat dan dimasukan ke dalam kresek dan diserahkan kepada Robin. "Nih, bawa buat bekal."
"Lalu, gimana cara makannya?"
Ratna menepuk jidat dengan rasa heran yang semakin besar. "Masa gini aja nggak tau?"
.
.
.
Setelah sedikit cek cok masalah sarapan, pasangan paruh baya ini tengah perjalanan menuju warung kopi milik Ratna. Ternyata, para driver ojek daring telah nongkrong di sana.
"Waaah, sepertinya pengantin baru kita sudah buka warung lagi nih?" ucap salah satu driver yang menjadi saksi moment pernikahan sederhana mereka.
"Iya dong, masa libur mulu? Kalau libur, gimana caranya membeli token listrik?" celetuk Ratna membuka rolling dor warungnya.
Robin memperhatikan para pria yang memakai seragam ojek tersebut. Sejenak, kepalanya menggeleng kecil.
"Yang, aku nelpon dulu sebentar ya?" ucap Robin kepada sang istri. Ratna hanya menjawab dengan anggukan dan segera masuk ke dapur menyalakan api untuk merebus air.
"Dih, denger tuh? Si Bapak, udah ayang-ayangan sama si Ibuk," goda driver yang lain lagi.
"Iya lah, namanya juga pengantin baru," timpal yang lain.
"Emangnya elo? Jomblo ngenes yang nggak punya pacar," tambah yang lain.
"Halah, lo tau nggak sih? Cewek zaman sekarang nggak ada yang mau sama tukang ojek!" balas si jomblo dengan nada getir.
"Ck ck ck ... Kasihan," celetuk rekan lain prihatin menepuk pundaknya beberapa kali.
.
.
Sementara itu, dari sudut jalan, Dirli mengamati dari kejauhan. Ia sedikit lega karena hari ini bisa menuntaskan tugas untuk hari kedua. Gajian sudah dekat, dan ia tak ingin gajinya benar-benar dipotong hanya karena tugas yang belum rampung.
Dirli melihat gelagat Robin yang sedikit aneh menuju pojok luar warung. Sesekali ia menelengkan kepala, seakan takut ada yang mendengar obrolannya dengan seseorang di dalam telepon.
Diam-diam Dirli mendekat menguping pembicaraan Robin, yang kemarin membuat ibunya uring-uringan hingga malam karena batal mendapat sepasang jam mahal dari butik jam terkenal.
"Wirya!"
Kening Dirli mengerut mendengar suara lantang Robin pada sebuah nama yang begitu dia hapal.
"Kok dia bisa kenal dengan Pak Wirya? Terus kenapa dia memanggilnya dengan cara tak sopan begitu?" gumam Dirli makin penasaran. Lalu ia mendekat sedikit lagi agar bisa mendengar lebih jelas.