NovelToon NovelToon
Mantan Pacarku Ternyata CEO Kaya

Mantan Pacarku Ternyata CEO Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Kaya Raya / Fantasi Wanita
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Prolog:

Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 1 Bagian 25 Malam yang Hening

Nadia duduk di balkon kamarnya, membiarkan udara malam yang dingin menyelimuti tubuhnya. Hujan rintik-rintik masih turun, menetes di kaca jendela. Gelas teh hangat di tangannya tak lagi beruap, tapi dia tak peduli. Pandangannya kosong, pikirannya bercabang-cabang, hingga akhirnya dia meraih ponselnya dan menekan tombol panggil.

“May, lagi sibuk?” Suaranya terdengar serak.

Di seberang sana, Maya menjawab dengan lembut, “Enggak, kok. Tumben kamu nelepon malem-malem gini. Ada apa?”

Nadia terdiam sejenak, menggigit bibir bawahnya. “Aku... butuh seseorang buat ngobrol.”

Terdengar helaan napas dari Maya sebelum dia menjawab. “Kamu baik-baik aja, kan? Suaramu berat banget. Cerita aja, aku dengerin.”

“May, aku bingung...” Nadia menunduk, mencoba merangkai kata. “Aku sayang Reza. Aku tahu itu. Tapi di sisi lain, aku takut sama masa depan. Aku nggak tahu kita bakal bisa jalanin ini atau nggak.”

“Takut kenapa?” tanya Maya dengan nada penuh perhatian.

“Aku takut hubungan ini nggak akan bertahan lama. Dia terlalu sempurna, sementara aku… penuh kekurangan.” Suara Nadia bergetar, dan tanpa sadar dia menyeka air mata yang mulai jatuh.

“Aku ngerti perasaanmu,” balas Maya dengan nada lembut. “Tapi kamu harus ingat, nggak ada hubungan yang sempurna. Kalau kamu merasa sayang sama dia, kenapa nggak coba dulu? Jangan terlalu cepat menyerah hanya karena ketakutan.”

Nadia menghela napas panjang. “Tapi, May… aku nggak mau nantinya salah langkah. Aku udah terlalu sering kecewa.”

“Coba dengar hatimu, Nad,” Maya menjeda ucapannya sejenak. “Dengar apa yang hatimu bilang, tapi jangan abaikan logika. Kalau kamu terus-terusan takut, kamu nggak akan pernah tahu apa yang sebenarnya bisa kamu capai.”

Nadia terdiam, membiarkan kata-kata Maya meresap.

“Maya,” gumamnya. “Kalau aku memilih dia, apa aku egois? Apa aku terlalu berharap?”

“Menurutku,” Maya berbicara perlahan, “Cinta itu selalu soal risiko, Nad. Kamu nggak bisa benar-benar tahu hasilnya, tapi kamu punya pilihan. Jalanin atau tinggalkan. Kalau kamu yakin sama perasaanmu, kenapa nggak coba dulu?”

Hening mengisi ruang di antara mereka. Nadia memandang ke luar jendela, menatap rintik hujan yang semakin deras.

“Makasih, May.” Suara Nadia terdengar lebih ringan.

“Jangan terlalu keras sama diri sendiri, Nad. Kalau butuh cerita lagi, aku selalu ada.”

Telepon terputus. Nadia meletakkan ponselnya, menatap langit malam yang kelabu. Kata-kata Maya terus terngiang di pikirannya, seakan membuka pintu yang selama ini tertutup rapat.

Di tengah hujan yang masih turun, Nadia tahu, keputusan apa pun yang diambilnya akan mengubah segalanya. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa sedikit lebih berani menghadapi apa yang ada di depan.

Setelah panggilan berakhir, Nadia menatap layar ponsel yang perlahan meredup. Udara malam semakin dingin, tapi pikirannya yang semula penuh gejolak mulai mereda. Kata-kata Maya masih terngiang, memberinya secercah keberanian di tengah ketakutannya.

Dia meletakkan gelas teh yang kini benar-benar dingin di atas meja kecil di sebelahnya. Tubuhnya terasa lelah, baik fisik maupun mental, seperti habis berlari maraton tanpa akhir. Namun, setidaknya untuk malam ini, dia merasa tidak sendirian.

Dengan langkah gontai, Nadia masuk ke kamarnya. Tanpa melepas sweater yang dikenakannya, dia merebahkan diri di atas kasur. Pandangannya menerawang menembus langit-langit kamar, hingga matanya perlahan tertutup.

"Hati atau logika," gumamnya pelan sebelum tenggelam dalam tidur yang datang membawa kedamaian sementara. Di luar, hujan masih turun, seakan menjadi melodi yang menemaninya beristirahat di malam penuh dilema ini.

----------

Pertemuan dengan Dian

Pagi Hari.

Matahari mulai muncul di balik awan, memberikan kehangatan setelah malam yang penuh hujan. Nadia terbangun dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Meskipun dilema masih berputar dalam pikirannya, percakapan dengan Maya semalam membuatnya merasa tidak sepenuhnya sendiri.

Siang itu, Nadia memutuskan untuk menemui temannya, Dian. Mereka sudah lama tidak bertemu sejak Dian pindah ke kota lain bersama suaminya. Dian, seorang wanita yang selalu memancarkan keceriaan, adalah teman lama Nadia sejak kuliah. Dia dikenal sebagai sosok yang bijak, meski terkadang cenderung bicara apa adanya.

Dian baru saja kembali ke kota untuk mengunjungi keluarganya, dan Nadia merasa ini saat yang tepat untuk membuka diri.

Nadia tiba di sebuah kafe kecil yang nyaman di sudut kota. Wangi kopi dan suara lembut musik jazz menyambutnya begitu dia masuk. Di salah satu meja di dekat jendela, Dian sudah menunggu sambil menyeruput cappuccino-nya.

“Nadia! Lama banget kita nggak ketemu!” Dian melambai dengan senyum lebar di wajahnya.

Nadia berjalan mendekat, lalu memeluk sahabat lamanya. “Iya, aku kangen banget sama kamu, Dian.”

Mereka duduk, dan setelah memesan minuman, obrolan ringan pun dimulai. Dian tetap seperti yang Nadia ingat, energik dan penuh semangat. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari sahabatnya itu. Raut wajahnya terlihat lebih matang, seolah pengalaman hidup telah membuatnya tumbuh menjadi seseorang yang lebih bijaksana.

Setelah beberapa menit, Dian menatap Nadia dengan pandangan penuh perhatian. “Jadi, kamu pengen ketemu aku ini cuma buat ngobrol santai, atau ada sesuatu yang berat di pikiranmu?”

Nadia menghela napas panjang. “Kamu tahu aku banget, ya.”

“Jelas. Aku kan sahabatmu.” Dian tersenyum kecil. “Ceritain aja. Siapa tahu aku bisa bantu.”

Nadia menggenggam gelas kopinya, mengaduk pelan tanpa tujuan. “Aku lagi bingung banget, Dian. Aku ada di titik di mana aku harus milih: maju terus atau berhenti.”

“Ini soal hubunganmu, ya?” Dian mencondongkan tubuhnya ke depan, penasaran.

Nadia mengangguk. “Aku sayang sama Reza. Dia baik, sabar, dan selalu mendukung aku. Tapi aku takut, Dian. Takut nggak bisa menghadapi masa depan kami bareng.”

“Kenapa kamu takut?” tanya Dian lembut.

“Karena aku merasa nggak cukup baik buat dia. Dia terlalu sempurna, sementara aku punya terlalu banyak kekurangan. Dan aku nggak tahu apakah kami benar-benar bisa bertahan lama.”

Dian terdiam sejenak, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Nadia. Lalu dia tersenyum samar, seperti mengenali rasa yang pernah dia alami.

“Aku ngerti banget perasaanmu, Nad,” kata Dian, mengangkat pandangannya. “Aku pernah ada di posisi yang sama sepertimu.”

“Kamu?” tanya Nadia, terkejut.

“Iya.” Dian mengangguk. “Dulu, sebelum aku dan Ardi menikah, kami sempat putus selama hampir setahun. Waktu itu, aku merasa dia nggak cukup serius dan nggak bisa diandalkan untuk masa depan. Aku putuskan buat mengakhiri semuanya.”

Nadia mendengarkan dengan saksama. Ini adalah sisi dari Dian yang belum pernah dia tahu sebelumnya.

“Setelah kami putus, aku mencoba jalan sendiri. Aku berpikir itu keputusan terbaik, karena aku nggak mau terjebak dalam hubungan yang nggak pasti. Tapi, seiring waktu, aku sadar kalau aku nggak benar-benar memberi Ardi kesempatan buat berubah. Aku terlalu cepat menghakimi dia, tanpa memberi ruang untuk kami berdua berkembang.”

Nadia mengernyitkan dahi. “Lalu apa yang kamu lakukan?”

Dian tersenyum kecil. “Aku memberinya kesempatan kedua. Kami bertemu lagi secara nggak sengaja setelah hampir setahun nggak ada kontak. Saat itu, aku lihat dia sudah banyak berubah. Dia lebih dewasa, lebih bisa diajak bicara soal masa depan. Kami mulai pelan-pelan lagi, dan ternyata, itu keputusan terbaik yang pernah aku buat.”

Nadia terdiam, mencoba mencerna cerita Dian. “Tapi, kamu nggak takut gagal lagi?”

“Takut, tentu saja. Tapi aku sadar, hidup ini penuh risiko. Aku cuma bisa berusaha, dan hasilnya biar waktu yang menentukan.” Dian menatap mata Nadia dengan serius. “Kalau kamu benar-benar sayang sama Reza, jangan menyerah sebelum kamu coba. Jangan biarkan ketakutanmu mengalahkan cinta yang kamu punya.”

Kata-kata Dian menembus hati Nadia. Dia menatap keluar jendela, melihat orang-orang berlalu lalang di bawah sinar matahari sore.

“Kadang aku merasa, kalau aku melangkah, aku terlalu egois. Tapi kalau aku berhenti, aku malah nyakitin diriku sendiri,” gumam Nadia.

“Itu karena kamu terlalu keras sama dirimu sendiri, Nad,” jawab Dian. “Nggak ada salahnya untuk mencoba, selama kamu tahu apa yang kamu mau.”

Nadia menghela napas panjang. “Dian, aku takut aku nggak cukup kuat kalau nanti ada masalah besar di depan.”

Dian tersenyum, lalu menggenggam tangan Nadia. “Hubungan itu bukan soal siapa yang kuat, tapi soal bagaimana kalian saling menguatkan. Kalau kamu dan Reza benar-benar saling sayang, masalah apa pun bisa kalian hadapi bareng.”

“Menurutmu, aku harus gimana?”

“Menurutku, kamu harus beri kesempatan untuk dirimu sendiri dan dia. Bicara dari hati ke hati. Jangan terlalu banyak asumsi. Kadang, ketakutan kita hanya ada di kepala.” Dian melepaskan genggamannya dan bersandar. “Ingat, Nad. Kadang, kesempatan kedua bisa mengubah segalanya. Aku adalah bukti nyatanya.”

Setelah percakapan panjang, mereka pun berpisah. Dian memeluk Nadia erat sebelum pergi, menyelipkan kata-kata terakhir yang penuh makna. “Apa pun keputusanmu, aku yakin kamu akan baik-baik saja. Percaya sama dirimu sendiri.”

Dalam perjalanan pulang, pikiran Nadia terasa lebih jernih. Meski masih ada keraguan, cerita Dian memberinya secercah harapan. Mungkin, seperti yang Maya dan Dian katakan, dia hanya perlu mendengarkan hatinya dan memberi dirinya kesempatan.

Ketika Nadia sampai di apartemen, dia tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, dia merasa ada cahaya di ujung lorong gelap yang selama ini dia jalani. Dia tahu, keputusan ada di tangannya, dan apa pun yang dia pilih, itu akan menjadi langkah yang membawanya menuju masa depan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!