NovelToon NovelToon
Happy Story

Happy Story

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Murni
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Riska Darmelia

Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dewa dan Dewi part 1.

“Dewa, Dewi suka kamu, tuh!”teriak Ratih keras, membuatku yang sedang membaca buku menoleh kaget.

Ratih tau dari mana?!

“Ngaco lo! Mana mungkin Dewa mau sama cewek kuper kayak Dewi!”seru Adit, teman Dewa.

Aku melirik Dewa takut-takut. Wajah laki-laki yang kusukai itu terlihat datar saja, seolah-olah tidak peduli. Matanya melirikku sekilas lalu ia mendengus dan kembali focus dengan gawainya yang mahal. Aku menelan ludah. Hatiku kecut. Aku tahu kalau aku bukanlah gadis yang menarik untuk dia pacari, tapi melihat pengabaiannya membuat air mataku menetes perlahan.

Sorakan membahana di kelas.

“Nggak tau diri lo, Dewi! Lo sama Dewa tuh kayak bumi dan langit!”

“Muka kucel. Penampilan nggak menarik. Tapi berani-beraninya naksir Dewa.”

“Cermin di rumahnya pecah kali, jadi dia nggak bisa ngaca!”

Aku terisak mendengar cemoohan teman-teman sekelas. Aku berdiri mengambil tasku lalu berlari keluar kelas. Jam istirahat kedua seperti sekarang biasanya gerbang buka, jadi aku bisa kabur dari hinaan mereka. Aku membawa diriku yang patah hati ke luar dari sekolah, berharap besok hinaan dari mereka akan sedikit mereda.

Aku duduk di halte bus yang sepi. Sambil menyeka air mataku dengan tangan kosong, aku membuka tas untuk mengambil diari yang selalu kubawa kemana-mana. Aku sedikit kaget saat tidak melihat diariku di tas. Perlahan aku mengerti kenapa Ratih bisa tahu perasaanku yang tidak pernah kuceritakan pada siapa pun. Nama Dewa mengisi sebagian besar lembaran kertas diariku. Dengan membacanya saja anak kecil pun akan paham bagaimana menggebu-gebunya perasaanku yang sudah kupendam selama hampir 3 tahun ini.

Aku menutup wajahku dengan telapak tangan, merasa malu karena perasaanku yang tertulis jujur di diariku itu. Membayangkan Dewa membaca isi hatiku di diariku itu membuatku ingin lenyap saja. Rasanya sekarang aku ingin menabrakkan diri pada kendaraan yang lalu lalang di hadapanku untuk menghindari rasa malu ini.

“Dewi, ada teman kamu yang nyari, nih!”teriak Mama. Aku mendengar suara kenop pintu kamarku di putar-putar. “Kok pintunya malah kamu kunci, sih?”

Aku menyeka air mataku cepat-cepat. “Bentar!”teriakku balik. Aku menuang air minum ke tanganku lalu mencuci wajahku yang penuh dengan air mata. Aku lalu bercermin untuk memastikan wajahku tidak terlalu menyedihkan untuk diperlihatkan pada Mama. Aku lalu membuka pintu kamar.

“Temenku yang mana?”tanyaku pada Mama.

“Katanya namanya Dewa. Katanya dia mau nganter barang kamu yang ketinggalan,”jelas Mama.

Deg! Untuk apa Dewa repot-repot ke sini? Kami bahkan tidak pernah bicara di kelas, jadi kenapa dia peduli pada barang yang kutinggalkan di sekolah? Toh besok juga aku ke sekolah lagi.

“Kenapa kaget gitu? Dia bukan teman kamu?”

Aku menggigit bibir. “Dia teman sekelasku. Cuma kami nggak akrab, Ma.”

“Mau nyamperin dia nggak? Kalo nggak mau nanti Mama bilang kalo kamu lagi tidur.”

Aku menggeleng cepat-cepat. “Mau, kok! Tadi cuma heran aja.”

“Ya udah. Samperin, gih. Dia Mama suruh nunggu di bangku teras.”

Aku mengangguk lalu bergegas melangkah menuju pintu depan. Aku mengintip di kaca yang membatasi ruang tamu dan teras. Begitu tirai kusibak, aku melihat punggung gagah Dewa yang tertutup kemeja seragam sekolah. Aku membuang nafas lalu menguatkan hati untuk melangkahkan kakiku untuk menemui laki-laki yang kusuka itu. Aku mendehem, membuat Dewa yang sedang melamun menoleh.

Ia terlihat kaget saat menatap wajahku.

“Kamu habis nangis?”tanyanya.

“Mana barangku yang ketinggalan?”tanyaku langsung.

Dewa mendesah. “Maaf. Aku nggak bermaksud bersikap kayak tadi. Jangan nangis karena aku,”katanya, terdengar merasa bersalah.

Aku mengangguk. “Nggak usah dipikirin. Toh bukan kamu yang mulai masalah,”kataku tegar.

Dewa menatap lama wajahku. “Kamu cantik kalo nggak pakai kacamata,”pujinya.

Aku tidak bisa menahan diriku agar tidak bersipu-sipu. Aku melihat Dewa tersenyum tipis, membuat wajah tampannya terlihat semakin tampan. Aku menggigit bibir, menahan rasa malu yang timbul karena pikiranku mengenai wajahnya.

Dewa tertawa. “Kamu selalu gitu kalo malu. Gigit bibir merah kamu sambil nunduk.”

Mataku melebar. Kenapa dia bisa tahu?

“Nggak usah kaget gitu. Aku memang sering perhatiin kamu.”

Aku malah semakin kaget. Dewa memperhatikanku? Kenapa? Apa dia menaruh perhatian padaku? Aku menggeleng-geleng cepat, berusaha menghapus harapan yang muncul di pikiranku. Aku tidak semenarik itu sampai laki-laki tampan seperti Dewa bisa memperhatikanku.

“Kok geleng-geleng? Nggak percaya?”

Aku mengangguk. “Nggak usah ngasih aku harapan.”

“Kamu berharap karena omonganku?”

Ya Allah! Aku keceplosan! Wajahku menghangat karena menyadari hal itu.

Dewa terkekeh. “Wah, aku baru kali ini liat cewek blusing! Bikin tambah cantik, loh, ternyata.”

“Udah! Bilang aja kamu mau nganterin apa! Jangan ejek aku terus!”omelku.

Dewa berdehem lalu mengeluarkan benda dari tasnya, membuatku kaget. Diariku ada di tangan orang yang namanya berada di setiap lembar buku! Aku panik, langsung merampas diariku dari tangannya. “Kamu nggak baca isinya, kan?!”tanyaku panik.

Dewa terlihat bersalah. “Maaf,”sesalnya.

Mati aku!

“Tapi nggak semua, kok.”

Itu tidak membuatku lega sedikit pun karena lembar pertamanya saja sudah berisi namanya!

“Aku nggak marah, kok, kalo kamu memang suka aku.”

Aku berlari meninggalkannya, memilih membanting pintu kamar lalu menguncinya. Rasanya aku ingin sekali pindah sekolah. Hidupku sudah berakhir di sekolahku yang sekarang. Cuma akan membawa derita kalau aku nekat masuk kelas.

Aku mengabaikan teriakan Mama karena meninggalkan Dewa sendiri di teras dan terus menangis tanpa suara.

Jam dinding menunjukkan kalau malam sudah semakin larut. Aku tidak merasakan kantuk sedikit pun karena rasa takut dan sedih membuat mataku segar. Mama sudah tidak mengganggu dengan teriakan menyuruhku makan karena mungkin Mama sudah tidur sambil memeluk Papa. Aku mengusap-usap mataku yang terasa gatal lalu bangkit untuk mandi. Aku tidak akan bisa tidur kalau tidak mandi. Selalu begitu sejak aku bisa mengingat.

Aku membuka pintu kamar, lega saat tidak melihat siapa pun di ruang keluarga. Aku berjalan menuju kamar mandi lalu menutup pintu. Selama beberapa saat pikiranku kosong lalu aku memutuskan untuk membuka pakaian dan menyalakan keran shower. Aku menyabuni tubuhku dengan tekun, meski mata mulai terasa panas lagi karena air mata yang siap mengalir. Di bawah guyuran air yang dingin aku mulai menangis lagi, menyesali keteledoranku yang membuat hidupku berada di keadaan yang terlalu mengerikan untuk aku hadapi.

Suara ketukan di pintu kamar mandi membuatku menghentikan tangis. Aku mendehem untuk menetralkan suara. “Siapa?”tanyaku.

“Ini abang,”kata suara yang kukenali sebagai suara Bang Ali, saudaraku satu-satunya.

“Aku lagi mandi. Mau apa?”

“Cuma mau ngomong. Abang tungguin di meja makan, ya. Mau coklat panas nggak?”

“Mau.”

“Ya udah, abang bikinin. Cepetan mandinya.”

“Iya.” Aku membuang nafas. Pasti Bang Ali sudah mendengar sesuatu tentang Dewa dari Mama. Aku merasa pembicaraan kami nanti tidak akan menyenangkan. Bang Ali selalu tidak suka kalau aku dikunjungi laki-laki. Apa lagi jika laki-laki itu menyebabkan masalah dalam hidupku.

Aku membuang nafas mematikan keran lalu membungkus tubuhku dengan handuk. Aku melewati Bang Ali yang sedang membuat coklat panas di dapur. Aku mengambil piama teratas di tumpukan kain di lemariku, lalu memakainya cepat-cepat. Saat aku kembali ke dapur, Bang Ali sudah duduk di meja makan dengan 2 mug beruap terhidang di hadapannya. Aku menarik kursi di seberang Bang Ali. “Yang mana buatku?”tanyaku.

“Pilih aja,”katanya.

Aku mengambil mug terdekat lalu menghirup aroma coklat yang menenangkan sebelum meneguk cairan hangat yang sangat harum itu. Aku meringis. “Pahit, Bang!”protesku. “Lupa dikasih gula atau gimana?”

Bang Ali tersenyum. “Pahit coklat bisa kamu omongin ke abang tapi kisah cinta kamu yang pahit nggak?”tanyanya.

Aku mendesah. Bang Ali selalu begini, memilih menyindir dengan cara halus yang sudah ia rancang agar aku memahami maksudnya. “Aku bukannya gagal, Bang. Sejak awal aku emang nggak punya harapan sama Dewa. Ini bukan jenis pahit yang bisa diselesaiin dengan ngasih gula atau gimana. Pahitnya kisah cinta aku ini bakalan bikin kehidupan sekolahku ikutan pahit juga.”

“Kamu itu sejak awal udah menjauh dari kehidupan pertemanan di sekolahmu. Jadi apa yang kamu takutin? Bukannya biasanya kamu nggak peduli sama apa kata mereka?”

“Dulu mereka nggak punya alasan buat ngejek aku karena aku selalu diam. Sekarang mereka punya. Aku nggak mau sekolah di sana lagi. Mending home schooling aja, Bang. Biasanya diacuhin mereka bikin aku ngerasa hidupku hambar. Sekarang ejekan mereka akan bikin aku nangis setiap hari, Bang. Aku yakin.”

Bang Ali menatapku lama, membuatku menatapnya dengan teguh. Bang Ali harus tahu kalau aku serius kali ini. Tapi Bang Ali malah memutus kontak mata kami lalu menyeruput coklat panasnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman. “Kamu selalu takut mencoba. Itu masalahmu dari dulu. Apa karena abang selalu ngelarang cowok buat dekat sama kamu yang bikin kamu takut buat berusaha buat kisah cintamu?”

Aku mengangguk. “Aku inget pesan abang. Kata abang perempuan harus pintar jaga harga diri biar nggak dikira kegatelan. Aku percaya sama omongan abang, karena itu aku selalu menerapkan pesan abang buat hidupku.”

“Jadi nggak mau buka hati?”

Aku tersenyum kecut. “Sejak awal di sana udah ada dia. Jadi aku perlu buka hati buat siapa lagi? Buatku dia nggak tergapai, Bang. Karena itu aku nggak mau berharap.”

Bang Ali mendesah. “Kamu harus tetap pergi sekolah. Sebentar lagi UAS. Nggak baik loh, bolos sekolah.”

Aku mengangguk walau rasa takut kembali menguasai hatiku. “Iya. Aku patuh.”

###

1
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓
Hai ka.....
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka
Riska Darmelia
〤twinkle゛
Terima kasih sudah menghibur! 😊
Riska Darmelia: sama-sama/Smile/
total 1 replies
Tiểu long nữ
Suka dengan gaya penulisnya
Riska Darmelia: makasih.
total 1 replies
🍧·🍨Kem tình yêu
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
Riska Darmelia: terima kasih karena sudah membaca.😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!