NovelToon NovelToon
Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Teen School/College / Gangster
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Caca adalah seorang gadis pemalu dan penakut. Sehari-hari, ia hidup dalam ketakutan yang tak beralasan, seakan-akan bayang-bayang gelap selalu mengintai di sudut-sudut pikirannya. Di balik sikapnya yang lemah lembut dan tersenyum sopan, Caca menyembunyikan rahasia kelam yang bahkan tak berani ia akui pada dirinya sendiri. Ia sering kali merangkai skenario pembunuhan di dalam otaknya, seperti sebuah film horor yang diputar terus-menerus. Namun, tak ada yang menyangka bahwa skenario-skenario ini tidak hanya sekadar bayangan menakutkan di dalam pikirannya.

Marica adalah sisi gelap Caca. Ia bukan hanya sekadar alter ego, tetapi sebuah entitas yang terbangun dari kegelapan terdalam jiwa Caca. Marica muncul begitu saja, mengambil alih tubuh Caca tanpa peringatan, seakan-akan jiwa asli Caca hanya boneka tak berdaya yang ditarik ke pinggir panggung. Saat Marica muncul, kepribadian Caca yang pemalu dan penakut lenyap, digantikan oleh seseorang yang sama sekali berbeda: seorang pembunuh tanpa p

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 26

Kalvaro memasuki ruang kerja ayahnya dengan hati yang berdebar. Dia melihat ayahnya, Kallian, duduk di meja kerjanya dengan ekspresi yang jelas menunjukkan bahwa dia sedang dalam suasana hati yang buruk.

Wajah Kallian terlihat tegang, dengan alisnya yang sedikit terangkat dan bibirnya yang terlipat.

"Berhenti merecoki adikmu," keluh Kallian dengan suara yang sedikit tertekan, menegaskan frustrasinya.

Kalvaro, yang duduk di kursi di depan meja ayahnya, merasa tidak senang mendengar permintaan itu. Dia mencoba menahan kekecewaannya, namun rasa tidak puasnya dengan permintaan ayahnya tidak bisa disembunyikan.

"Aku hanya ingin bermain dengannya," ucap Kalvaro dengan suara lembut, sembari mengepalkan tangan-tangannya di pangkuannya.

Dia merasa terbatas dengan permintaan ayahnya untuk menghentikan interaksinya dengan adiknya. Baginya, bermain dengan adiknya adalah salah satu momen yang paling berharga dan menyenangkan dalam sehari-hari.

Kallian meletakkan beberapa foto di atas meja, membuat Kalvaro semakin merengut.

"Aku kesal pada si Caca Marica itu. Dia pernah..." ucap Kalvaro, namun kata-katanya terpotong oleh interupsi dari Kallian.

"Jangan ungkit hal itu lagi!" ancam Kallian dengan wajah yang serius, menunjukkan ketegasannya.

Kalvaro bisa merasakan bahwa Kallian sangat serius dalam memperingatkan agar dia tidak membahas topik itu lagi.

"Lagian, kenapa kita enggak bunuh dia aja sih?" heran Kalvaro, mengungkapkan rasa frustrasinya.

Namun, Kallian menatapnya dengan kelelahan yang terlihat jelas di matanya.

"Tetap saja, dia yang disukai adikmu," ucap Kallian dengan suara yang lelah, menyiratkan bahwa masalah itu sudah menjadi beban berat baginya.

"Heran deh sama si Kelvin, ngapain sih dia suka sama cewek psikopat kayak dia?" keluh Kalvaro, mengekspresikan keheranannya.

Dia merasa tidak mengerti mengapa saudaranya, Kelvin, tertarik pada seseorang yang dianggapnya sebagai sosok yang berbahaya.

"Asal ayah tahu. Dia tuh bunuh salah satu orangku sampai membabi buta gitu. Matanya aja berkilat-kilat," cerita Kalvaro, mencoba menjelaskan kekhawatirannya kepada ayahnya. Kallian hanya diam, memperhatikan dengan serius setiap kata yang diucapkan oleh Kalvaro.

"Bahkan dia berani nembak aku," tambah Kalvaro, mengungkapkan perasaannya yang terkejut dan terancam atas tindakan yang dianggapnya berbahaya dari Caca.

Meskipun Kallian hanya diam, tetapi ekspresinya menunjukkan bahwa dia memperhatikan dengan serius setiap kata yang diucapkan oleh Kalvaro, menyiratkan bahwa topik ini adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

\~\~\~

Di ruang tamu rumah Zerea, Yura dan Ririn sedang berkumpul. Mereka terbaring santai di atas sofa, masing-masing sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Yura, dengan tatapan kosong pada layar ponselnya, sesekali menyimak pembicaraan yang sedang berlangsung di antara teman-temannya.

Ririn, yang sedang bermain game teka-teki di ponselnya, tiba-tiba mengungkapkan pikirannya.

"Yur, kok gue ngerasa Caca jadi beda gitu ya," gumamnya, ekspresinya sedikit bingung.

Zerea, yang tengah asyik menjelajahi berbagai unggahan di Instagram, mendengarkan dengan setengah hati sambil tetap fokus pada layar ponselnya.

Yura, yang tampaknya lebih tenang dari biasanya, menjawab dengan santai, "Mungkin efek penculikan, trauma dia."

Komentarnya mencerminkan pemahaman yang dalam tentang kondisi psikologis Caca setelah mengalami peristiwa traumatis tersebut.

"Kasian gimana?" tanya Ririn yang sedang asyik bermain game teka-teki.

"Ya, dia kelihatan takut gitu sama orang. Dia juga sering banget pake jaket, sering kaget, wajahnya aja kelihatan banget kalau dia lagi takut, panik, atau gimana lah," jelas Zerea dengan rinci, memperhatikan setiap ekspresi dan perilaku Caca dengan cermat.

"Gue rasa habis kejadian ini si Caca bakalan milih balik ke ibunya," komentar Ririn, mencoba meramalkan masa depan Caca.

Yura, yang sebelumnya tenang, tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. Pernyataan Ririn membuatnya terdiam sejenak, seolah-olah baru menyadari kemungkinan itu.

Dia tidak pernah memikirkan kemungkinan Caca kembali ke ibunya setelah kejadian yang mengejutkan itu.

"Bagus dong kalau gitu. Itu artinya Yura enggak perlu repot-repot cari cara supaya Caca enggak betah di rumah," ucap Zerea dengan nada lega, menyampaikan pendapatnya dengan tegas.

"Kalian bener," ucap Yura, menyetujui pendapat teman-temannya.

\~\~\~

Caca duduk di meja belajarnya, menatap tumpukan soal-soal di depannya. Dia mencoba fokus pada angka dan rumus, menggunakan mereka sebagai pelarian dari kekacauan emosional yang sedang melanda dirinya.

Baru saja selesai berbicara di telepon dengan ibunya, suasana hatinya menjadi semakin rumit dan tidak menentu. Ia merasa seolah-olah tenggelam dalam lautan perasaan yang tak berujung.

"Akan lebih baik jika aku hanya menjadi suara di otak saja," pikir Caca. Ia merasakan dorongan kuat untuk melarikan diri dari kenyataan dan bersembunyi di dalam pikirannya sendiri.

"Marica, tukeran posisi lagi yuk?" tawarnya dengan lembut, berharap Marica akan mendengarnya dan merespon.

Namun, keheningan yang ia dapatkan sebagai balasan membuatnya tersenyum kecut. Ia menyadari bahwa ia belum sepenuhnya memahami cara berkomunikasi dengan kepribadian lainnya, meskipun mereka berbagi tubuh yang sama.

Caca memiliki Dissociative Identity Disorder (DID), yang sebelumnya dikenal sebagai Multiple Personality Disorder. Kondisi ini ditandai oleh keberadaan dua atau lebih kepribadian yang berbeda dan terpisah dalam satu individu.

Setiap kepribadian atau identitas dapat memiliki ingatan, perilaku, dan pemikiran yang berbeda satu sama lain. Dalam kasus Caca, Marica adalah salah satu kepribadian lain yang ada di dalam dirinya.

Meskipun Caca dan Marica berbagi tubuh yang sama, komunikasi antara mereka sering kali menjadi tantangan. Ketika Marica mengambil alih tubuh, Caca masih bisa berbicara dengannya melalui pikiran, tetapi metode komunikasi ini tidak selalu efektif.

Kadang-kadang, Caca merasa seperti berteriak ke dalam jurang tanpa balasan. Perasaan isolasi dan ketidakpastian ini menambah kompleksitas dan beban emosional yang harus ia tanggung setiap hari.

Dalam dunia psikologi, DID sering kali berkembang sebagai mekanisme pertahanan terhadap trauma yang sangat parah dan berulang, terutama pada masa kanak-kanak. Pikiran anak yang rapuh dan rentan menciptakan kepribadian alternatif sebagai cara untuk mengatasi dan bertahan dari pengalaman yang menyakitkan dan mengancam.

Kepribadian ini bertindak sebagai pelindung, masing-masing mengambil alih pada waktu-waktu tertentu untuk melindungi individu dari trauma lebih lanjut.

\~\~\~

Dermaga itu penuh dengan aktivitas meskipun malam telah larut. Lampu-lampu besar menerangi area yang luas, memancarkan cahaya kuning yang menembus kegelapan malam.

Suara mesin dan kendaraan yang memindahkan kontainer dan barang-barang lainnya menciptakan latar belakang bising yang tak terelakkan. Angin laut yang dingin dan menusuk tulang berhembus dari arah laut, membawa aroma asin yang khas.

Kelvin berdiri di sisi dermaga, memperhatikan kesibukan yang terjadi di sekitarnya. Para pekerja bergerak cepat dan efisien, mengarahkan truk-truk besar dan forklift yang mengangkat kontainer dari kapal-kapal yang baru saja merapat. Suara klakson dan instruksi yang diteriakkan menambah kekacauan yang teratur di tempat itu.

Di kejauhan, lampu-lampu kapal tampak berkilauan di permukaan air yang gelap, menciptakan bayangan bergerak yang memantul di permukaan laut yang berombak tenang.

Emil berdiri di sampingnya, tampak santai meskipun situasinya penuh dengan tekanan. Kelvin menatap para pekerja dengan mata yang tajam, namun pikirannya jauh dari sana.

"Mil, lo yang manipulasi perekonomian keluarga Galih ya?" tanyanya, suaranya nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk aktivitas dermaga.

Pandangannya tetap terfokus pada pemandangan di depannya, tidak ingin melewatkan satu detail pun.

Emil menoleh sedikit, senyum tipis muncul di wajahnya. "Bukan gue," jawabnya singkat, tetapi cukup jelas.

Kelvin merasakan kejujuran dalam suara Emil, meskipun selalu ada keraguan yang menghantui pikirannya.

"Kalau bukan dia, pasti ulah ayah," batin Kelvin, mencoba mencari logika di balik kejadian yang dialami keluarga Galih.

Sementara itu, di dermaga, para penjaga berdiri di titik-titik strategis, memantau setiap gerakan dengan waspada. Mereka mengenakan seragam hitam dengan logo perusahaan, membuat mereka terlihat mencolok di antara para pekerja yang sibuk. Beberapa dari mereka berbicara melalui walkie-talkie, memastikan bahwa tidak ada yang mencurigakan terjadi di tengah keramaian ini.

"Lebih baik lo pulang aja. Besok kan lo masih ada pertandingan," ucap Emil, mencoba mengalihkan perhatian Kelvin dari kekhawatiran yang membebani pikirannya.

Kelvin menoleh menatap Emil, memikirkan nasihat itu sejenak. Pertandingan besok memang penting, dan dia tahu bahwa istirahat yang cukup adalah kunci untuk tampil maksimal.

Namun, di saat yang sama, Kelvin merasa ada tanggung jawab yang harus ia emban di sini. Dia memandang kembali ke laut yang dingin dan gelap, seolah mencari jawaban di balik cakrawala yang gelap. Gelombang kecil yang menerjang dermaga menciptakan suara gemuruh yang konstan, menambah suasana misterius yang mengelilingi tempat itu.

Dengan berat hati, Kelvin mengangguk pelan. "Oke, gue pulang," katanya akhirnya.Dia tahu bahwa keputusan ini mungkin yang terbaik untuk saat ini.

Kelvin berjalan menjauh dari dermaga, meninggalkan Emil dan keramaian di belakangnya. Langkah-langkahnya terasa berat, tapi dia tahu bahwa dia harus menjaga keseimbangannya antara tanggung jawab dan persiapan untuk pertandingan.

Angin laut yang dingin terus berhembus, mengiringi langkahnya menuju mobil yang menunggu di tempat parkir dermaga.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!