Davina memergoki pacarnya bercinta dengan sahabatnya. Untuk membalas dendam, Davina sengaja berpakaian seksi dan pergi ke bar. Di sana dia bertemu dengan seorang Om tampan dan memintanya berpura-pura menjadi pacar barunya.
Awalnya Davina mengira tidak akan bertemu lagi dengan Om tersebut, tidak sangka dia malah menjadi pamannya!
Saat Davina menyadari hal ini, keduanya ternyata sudah saling jatuh cinta.Namun, Dave tidak pernah mau mengakui Davina sebagai pacarnya.
Hingga suatu hari Davina melihat seorang wanita cantik turun dari mobil Dave, dan fakta mengejutkan terkuak ternyata Dave sudah memiliki tunangan!
Jadi, selama ini Dave sengaja membohongi Davina atau ada hal lain yang disembunyikannya?
Davina dan Dave akhirnya membangun rumah tangga, tetapi beberapa hari setelah menikah, ayahnya menyuruh Davina untuk bercerai. Dia lebih memilih putrinya menjadi janda dari pada harus menjadi istri Dave?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
...Pastikan sudah vote sebelum baca🥰...
Dave menghampiri Davina yang sedang berbaring di ranjang. Dengan raut wajah cemas, Dave menatap lekat wajah Davina.
Harusnya sudah dari 10 menit yang lalu dia pergi ke bandara bersama Farrel untuk menjemput Edwin dan Sandra, tapi setelah mendengar penuturan Farrel bahwa Davina tak bisa ikut lantaran mengeluh sakit perut, seketika Dave tak jadi pergi dan malah menyuruh supir untuk menemani Farrel.
"Kamu sakit.?" Dave bertanya dengan nada bicara yang lembut. Davina bahkan sampai bengong mendengarnya. Ini pertama kalinya dia mendengar Dave bicara selembut itu padanya. Kesan dingin dan ketus yang biasa di tunjukkan oleh Dave, kali ini hilang begitu saja setelah Dave mengeluarkan suara lembutnya.
Ada apa dengan Dave.?
Kenapa tiba-tiba berubah lembut seperti itu.?
Davina masih bengong, dia sampai tidak konsen dengan pertanyaan yang di ucapkan oleh Dave karna lebih fokus pada nada bicaranya.
Dave duduk di sisi ranjang, hal itu membuat Davina ikut duduk dengan bersandar di kepala ranjang. Keduanya saling berhadapan.
Perlahan tangan Dave mengulur, dia menyentuh kening Davina untuk memastikan keadaannya.
"Perutku yang sakit, bukan demam." Ucap Davina datar. Dia bahkan menepis pelan tangan Dave dari keningnya.
Penolakan Davina membuat Dave mengerutkan dahi. Tak biasanya Davina menolak saat ia menyentuhnya. Tapi sekarang.? Bagaimana bisa Davina bersikap acuh padanya.
Dave tidak berfikir jauh tentang perubahan sikap Davina padanya. Dia merasa tak melakukan kesalahan apapun pada gadis itu.
Selama ini dia bersikap wajah padanya, tak merasa melakukan sesuatu yang menyinggung atau menyakiti perasaan Davina.
"Mau pergi ke dokter.?" Tawar Dave. Lagi-lagi suaranya terdengar lembut di telinga Davina.
Kenapa Dave harus berubah seperti itu disaat dia ingin bersikap acuh dan menjauh darinya.?
Davina berada dalam situasi yang membuatnya bingung.
"Nggak mau." Tolak Davina cepat.
"Kenapa Om masih disini.? Bukannya mau ke bandara.?" Davina menatap acuh. Di terlihat tak tertarik lagi dengan pria tampan di depannya.
"Ada supir yang mengantar Farrel."
"Sebaiknya ke dokter kalau masih sakit,," Dave kembali mengajak Davina untuk pergi ke dokter.
Pria itu terlihat sangat mengkhawatirkan kondisi Devina. Meski badannya tak demam, namun wajahnya terlihat sedikit pucat.
"Nggak usah khawatir, aku baik-baik saja."
"Aku hanya perlu istirahat."
"Om boleh keluar kalau sudah selesai." Davina mengusir Dave secara terang-terangan.
Gadis itu tak menyukai keberadaan Dave di kamarnya.
Dia masih saja mempermasalahkannya sikap Dave yang tiba-tiba menyuruhnya pulang dari apartemen.
"Kamu marah sama saya.?" Tanya Dave lembut. Dia juga menatap gadis itu dengan tatapan teduh.
Davina merespon dengan gelengan kepala.
"Aku cuma mau tidur Om." Sahutnya.
Lagipula Davina juga tidak marah pada Dave, hanya saja kesal dan kecewa padanya.
"Baiklah." Dave beranjak dari duduknya, dia bergegas keluar dari kamar Davina.
Membiarkan gadis itu seorang diri disana.
Walaupun Dave tak puas dengan jawaban Davina, namun saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mendesak Davina agar berkata jujur padanya.
...*****...
Davina di minta turun ke bawah untuk menemui Papa dan Mamanya yang baru saja sampai dirumah. Gadis itu terlihat malas beranjak dari kamarnya. Malas bertemu Dave meski sebenarnya tak sabar bertemu dengan Papanya.
"Belum hilang juga sakitnya.?" Farrel menyusul Davina ke kamar lantaran adik tirinya itu tak kunjung turun.
"Sudah. Aku baru bangun karna ketiduran tadi."
Davina menghampiri Farrel yang hanya berdiri di depan pintu. Keduanya lalu turun bersama untuk bergabung di ruang keluarga.
"Mah, Pah,," Davina langsung memeluk mereka bergantian. Terakhir memeluk sang Papa dengan mendekapnya erat dan tak mau melepaskannya.
Davina tetaplah Davina. Walaupun dia sudah pandai berbohong dan berani melakukan hal di luar batas, dia tetaplah gadis yang manja dan masih seperti anak kecil di depan Papanya.
"Ada apa sayang.?" Tanya Edwin lembut. Dia membelai rambut putrinya.
Bukan seorang ayah jika Edwin tak bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi pada putranya.
Davina menggelengkan kepalanya, tak mungkin dia berkata jujur pada sang Papa. Semua itu hanya akan menimbulkan masalah jika sang Papa tau tentang kedekatannya dengan Dave.
"Aku kangen Papa." Tuturnya sendu.
Davina menahan air matanya sekuat tenaga. Tangisnya hampir saja pecah. Sesuatu yang ia pendam dalam dada, terasa ingin meledak.
Sejak kepergian sang Mama, Davina hanya membutuhkan sosok Edwin yang selalu ada di sampingnya dan bisa menggantikan peran sebagai seorang ibu.
Satu-satunya orang yang mampu membuatnya tenang setiap kali dirundung kesedihan adalah sang Papa tercinta yang tak pernah membuatnya terluka.
"Papa rasa kita perlu bicara berdua nanti." Kata Edwin pada putrinya. Saat ini dia hanya bisa membalas pelukan Davina dan memberikan usapan lemput di kepala.
"Ya ampun, aku pikir anak gadis, nggak taunya anak Papa." Ledek Farrel.
Ulahnya itu langsung mendapat teguran dari Sandra.
"Aku memang anak Papa." Sahut Davina sembari melepaskan pelukannya. Dia kemudian duduk di samping Sandra.
Dave terus menata Davina sejak gadis itu datang. Sayangnya, Davina tak melirik sedikitpun padanya.
Bagaimana Dave bisa yakin kalau Davina tidak marah padanya, sedangkan sikap Davina seperti itu padanya.
"Kamu jadi pergi ke LA Dave.?" Tanya Sandra.
Adik laki-lakinya itu mengangguk tegas.
"Sudah terlalu lama dia mengulur waktu." Kata Dave dengan sorot mata penuh kekesalan.
"Kamu harus hati-hati Dave, jangan gegabah."
"Sebaiknya pikirkan lagi niatmu, jangan sampai mengorbankan masa depan dan kebahagiaan kamu sendiri." Tutur Sandra menasehati.
Tentu saja dia tak mau melihat satu-satunya saudara yang ia miliki menjalani hidup dalam perasaan dendam.
"Jangan khawatir, aku tau apa yang harus aku lakukan." Ujar Dave yakin.
Edwin yang mendengar percakapan istri dan adik iparnya, memlih untuk tak memberikan komentar meskipun ia tau duduk permasalahan dalam keluarga mereka.
Edwin sadar dia tak punya hak untuk melarang apa yang menjadi keputusan adik iparnya demi membalas luka dan penderitaan di masa lalu.
Sementara itu, Farrel dan Davina hanya menatap bingung. Mereka berdua sama sekali tak tau apapun dengan apa yang dibicarakan oleh Dave dan Mama Sandra.
...*****...
Suasana rumah seketika sepi begitu semua orang masuk ke dalam kamarnya masing-masing untuk istirahat.
Termasuk Davina yang justru pamit ke kamarnya lebih dulu. Padahal saat ini mereka masih mengobrol dan sesekali bercanda hingga membuat hubungan keluarga baru itu terlihat semakin dekat.
Tapi agaknya Davina masih enggan berlama-lama di hadapan Dave.
Suara ketukan pintu memaksa Davina turun dari ranjang untuk membukanya. Padahal dia sudah bersiap akan tidur.
"Om,,??"
Davina terkejut melihat Dave datang ke kamarnya.
Dia pikir, Dave tak akan berani datang padanya karna ada Papa Edwin dan Mama Sandra.
Tapi Dave malah mengetuk pintu kamarnya dan berdiri santai disana tanpa memperlihatkan rasa takut sedikitpun.
"Cepat masuk.!" Tegas Dave sembari menyelonong masuk dan meminta Davina untuk menutup ointu.
Davina segera menutup pintu dan menguncinya, bukan karna menurut dengan perintah Dave, tapi Davina tak mau ada orang lain yang melihat Dave masuk ke kamarnya.
"Om mau apa.? Sebaiknya keluar dari kamarku, jangan sampai Papa dan Mama melihat Om ada disini." Usir Davina datar.
Dave cuek saja. Dia malah naik ke atas ranjang dan berbaring disana.
"Jangan banyak bicara, cepat tidur.!" Titah Dave.
"Lagipula mereka berdua sedang sibuk di kamarnya, mana sempat untuk datang ke kamar kamu.!" Ada nada kekesalan dalam ucapannya.
Bagaimana Dave tidak kesal karna pengantin baru itu tak memikirkan orang lain di sekitarnya. Mungkin merasa kalau hanya mereka berdua yang tinggal di rumah ini.
Sudah 2 kali Dave mendengar jeritan dan suara menyesatkan itu.
Dia jadi menyesal karna mau di tempatkan di kamar sebelah mereka.
Pantas saja kamar yang biasa dia tempati, diberikan untuk Davina.
Karna akan lebih menyeramkan kalau sampai Davina yang mendengar suara itu.