Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konspirasi
Dewa bersama Pace dan salah satu rekan mereka yang bernama Gatra, memasuki sebuah kafe. Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Menurut perhitungan Franky, sasaran mereka akan datang kurang lebih lima belas menit lagi. Mereka pun menyeruput kopi, sambil menunggu kedatangan target.
Benar saja, seorang pria berusia lima puluh tahunan bersama wanita muda berpenampilan seksi, memasuki kafe itu. Namanya Bahar Mursalim, kakak kembar Sahar Muzakir. Malam ini, pria itu tampak berpakaian formal, dengan setelan jas hitam serta celana berwarna senada.
Ketiga anggota organisasi rahasia Franky memperhatikan gerak-gerik Bahar. Gatra, seorang pria berusia tiga puluh delapan tahun dengan brewok dan memiliki tubuh yang lebih besar dari dua anggota lainnya, berinisiatif melewati meja Bahar menuju toilet. Diliriknya meja dari pria setengah baya yang sedang berkencan dengan wanita selingannya itu, sembari menguping pembicaraan antara target dan pelayan kafe.
Ketika sudah berada di toilet, Gatra mengirimkan pesan pada Pace mengenai nomor meja dan minuman pesanan Bahar. Pace segera mengerti, lalu melihat-lihat keadaan sekitar. Ia memperkirakan, bahwa pesanan Bahar akan segera siap diantarkan sekitar lima sampai sepuluh menit.
"Dewa, kamu sudah bawa barangnya?" tanya Pace melirik pada Dewa.
Lelaki itu mengangguk, lalu menyerahkan botol kecil berisi racun arsenik pada Pace. "Seharusnya gue yang lakuin, bukan sama lo."
"Tak usah kamu banyak bicara. Saya sudah ahli dalam hal seperti ini. Sebaiknya kamu goda saja kakak yang sedang duduk sama bos besar itu. Sisanya biar saya yang tangani," ujar Pace dengan logat khas Papua-nya.
"Kenapa bukan lo aja, sih? Gue masih anak sekolah, entar dikira doyan tante-tante lagi," sanggah Dewa protes.
"Kalau sama saya, kakak itu belum tentu mau. Kamu tahu, kan, saya sudah ditolak tujuh cewek dalam seminggu ini," dalih Pace. "Mending kamu manfaatkan tampang gantengmu itu. Semangat!" imbuhnya menepuk pundak Dewa.
Dewa memutar bola matanya, kemudian beranjak dari kursinya menghampiri Bahar dan selingkuhannya. Sementara Pace, bergegas menuju tempat memesan makanan.
Gatra yang sudah selesai dari toilet, kembali ke meja sambil melihat dua rekannya yang sedang beraksi. Dari arah tempat pelayan bekerja, terlihat Pace sedang asyik mengobrol dengan para karyawan. Sesekali pria itu berkelakar, mengalihkan perhatian orang-orang.
Di meja Bahar, Dewa begitu canggung menghampiri sepasang sejoli berbeda usia itu. Akan tetapi, demi keberhasilan sebuah misi, ia harus tetap tenang bagaimanapun juga caranya.
"Kak Trisa, ya?" sapa Dewa menunjuk wanita berpakaian minim di depan Bahar.
"Kamu siapa, ya?" tanya wanita bernama Trisa itu menatap Dewa dengan heran.
"Aku teman sekolahnya Marisa, adiknya Kak Trisa. Kebetulan banget kita ketemu di sini," kata Dewa berbasa-basi. Berkat mengetahui beberapa hal penting dari Trisa, ia bisa berpura-pura menjadi orang yang mungkin dikenal oleh saudara ataupun kerabat dari wanita itu.
Trisa tersenyum canggung, sambil sesekali melirik pada Bahar yang tampak sedang panas hati. Muka pria itu begitu masam, sampai-sampai Dewa merasa jijik dibuatnya. Paras Bahar yang tak berbeda jauh dari dalang pembunuh sang ayah, membuat Dewa semakin dongkol saja.
"Kak Trisa, aku boleh ikut duduk bentar nggak?" tanya Dewa sembari menarik kursi dan duduk di sebelah Trisa.
"Aduh! Gimana, ya?" Trisa merasa risih dengan kehadiran Dewa, sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Kamu itu nggak tau etika, ya! Apa kamu nggak lihat kami lagi ngapain? Pergi sana! Ganggu suasana aja," hardik Bahar bersungut-sungut.
"Iya, iya, Pak. Aku pergi. Maaf udah ganggu kalian," ucap Dewa, sambil menggeser kursinya lagi, lalu menoleh pada Trisa. "Kak, titip salam buat Marisa, ya."
Trisa mengangguk, kemudian menatap Bahar seolah membisikkan sesuatu agar tak berbuat kasar pada Dewa. Tanpa disadari oleh Trisa dan Bahar, Dewa telah memasukkan botol kecil ke dalam tas kecil wanita berpakaian minim itu sebelum akhirnya kembali ke mejanya. Pemuda itu melakukannya serapi mungkin, bahkan memakai sarung tangan ketika memasukkan botol itu ke dalam tas Trisa agar sidik jarinya tak diketahui oleh siapa pun.
Sementara itu, Pace diam-diam meneteskan arsenik ke dalam kopi pesanan Bahar saat para pelayan lengah. Sembari berkelakar, pria berkulit hitam itu berpamitan pada karyawan, kemudian berlalu ke kursinya.
Untuk sesaat, mereka memperhatikan gerak-gerik Bahar. Kopi yang diracuni sudah diminum oleh sang target. Kini, kematian politikus korup yang kerap lolos dari hukuman negara itu tinggal menunggu waktu saja.
Suasana kafe yang ramai membuat siasat mereka sulit terendus. Ketiga lelaki itu pun meninggalkan tempat itu, untuk segera melaporkan pada Franky bahwa misinya telah selesai dilaksanakan.
***
Karmina merasa tenang, Zahra tak masuk sekolah hari ini. Setidaknya ia tidak perlu khawatir akan diintimidasi oleh gadis yang sedang terbakar cemburu akibat ulahnya dan Dewa. Menurut kabar yang beredar, keluarga Zahra sedang berduka atas kepergian Bahar menyusul adiknya ke alam baka.
Kendati demikian, gadis berambut pendek itu tidak serta merta bisa bersantai begitu saja. Kilas balik peristiwa Dewa dan dua orang lain saat melihat Zahra kemarin, membuatnya perlu mencaritahu untuk memastikan firasatnya. Sebelum jam pelajaran dimulai, Karmina bergegas menuju kelas Dewa.
Ditelusurinya koridor sekolah, sambil melihat-lihat ke sekitar. Ketika hendak melewati ruang OSIS, Karmina tak sengaja melihat Dewa begitu tergesa-gesa keluar dari sana. Dari tangannya, jatuh sebuah botol kecil menggelinding ke kaki Karmina.
Alih-alih memanggil sang ketos, Karmina memungut botol kecil itu. Matanya memicing, seakan mencurigai sesuatu.
"Botol apaan, nih? Kok ada gambar tengkoraknya? Jangan-jangan ... ini racun. Mau ngeracunin siapa si Dewa?" gumam Karmina meneliti botol itu dengan saksama.
Seketika, sebuah kilas balik peristiwa pembunuhan Bahar melintas di mata Karmina. Bayangan pria yang mirip Sahar Muzakir, seorang wanita muda bergaun merah pendek, dan secangkir kopi, seakan menjadi kisi-kisi dari penerawangannya. Saat menutup mata, ia dapat menyaksikan dengan jelas kronologi diteteskannya racun hingga kematian Bahar Mursalim.
Saat membuka mata, Karmina segera memasukkan botol kecil itu ke saku rok, kemudian berlalu menuju kelasnya. Baginya, tak boleh ada yang tahu soal ini kecuali dirinya dan Dewa. Apa jadinya jika sampai sekolah ini gempar gara-gara perilaku sang ketos yang di luar nalar?
Sementara itu, di kantor kepolisian, Farhan bersama tim mengecek CCTV kafe, tempat terakhir Bahar Mursalim berkencan. Dalam rekaman video itu, tampak Trisa sedang duduk sembari merogoh tas kecilnya saat Bahar pergi ke toilet. Pada beberapa detik kemudian, wanita itu kelihatan mengeluarkan sesuatu dan memasukkan benda yang tak diketahui wujudnya itu ke dalam cangkir kopi Bahar, kemudian mengaduknya.
"Apa mungkin dia pelakunya?" cetus temannya Farhan.
"Sebentar, kita coba putar lagi videonya," ujar Farhan, menyaksikan video itu dengan saksama.
Video diputar mundur, hingga muncul sosok Dewa berada di sana. Lelaki itu hanya sekadar berbasa-basi, lalu pergi. Tayangan kemudian melaju hingga berakhir saat Bahar datang kembali ke meja setelah dari toilet.
"Gimana?" tanya temannya Farhan.
"Kumpulkan barang bukti dan bawa wanita bernama Trisa itu ke ruangan saya," ujar Farhan.
Tanpa menunggu waktu lebih lama, Farhan segera membuat berita acara peristiwa di mejanya. Barang bukti yang diperoleh seperti botol kecil dan peralatan rias milik Trisa sudah ada di mejanya. Satu benda yang paling disorot oleh Farhan adalah botol kecil berwarna cokelat tua.
Tak lama kemudian, Trisa datang bersama dua anggota polisi lainnya. Wanita itu tertunduk lesu, merasa tak siap ditanyai. Akan tetapi, jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa tak melakukan perbuatan jahat sedikit pun pada pria pencetak uangnya.
"Baiklah, Saudari Trisa. Saya mau tanya. Apa yang Saudari tuangkan ke cangkir Pak Bahar malam itu?" tanya Farhan menatap tajam pada Trisa.
"Saya cuma meneteskan obat kuat pada Pak Bahar. Saya nggak suka kalau dia mainnya cuma sebentar," dalih Trisa.
Farhan mengambil botol kecil di dalam plastik dan menunjukkannya pada Trisa. "Apa ini yang kamu sebut obat kuat?"
"Iya, Pak," jawab Trisa.
"Saudari benar-benar nggak tahu atau pura-pura nggak tahu? Dari hasil forensik yang kami dapatkan, di dalam tubuh Pak Bahar terdapat racun arsenik. Dan, botol ini isinya racun, bukan obat kuat!" ungkap Farhan dengan menekankan nada bicaranya.
Seketika mata Trisa terbelalak. "A-Apa?! Racun? Nggak mungkin, Pak! Saya yakin! Itu cuma obat kuat!" tegasnya.
"Bicara jujur atau Saudari akan mendapatkan hukuman yang lebih berat," ucap Farhan menatap tajam.
"Saya sudah jujur, Pak. Saya berani bersumpah. Saya membawa obat kuat, bukan racun," kata Trisa bersikukuh.
"Buktinya sudah ada di sini. Kamu nggak bisa mengelak lagi," tutur Farhan, lalu menatap kedua temannya. "Bawa dia ke sel tahanan. Nanti kita interogasi lagi."
Kedua teman Farhan membawa Trisa yang sedang menangis tersedu-sedu menuju jeruji besi. Adapun Farhan, duduk termenung memikirkan langkah selanjutnya dalam mengusut kasus kematian Bahar. Menurutnya, kehadiran Dewa di kafe patut dicurigai juga.
Saat jam istirahat kantor, Farhan pergi ke minimarket untuk membeli makanan ringan serta minuman. Kebetulan sekali, ia berpapasan dengan Karmina yang baru saja keluar membeli kebutuhan rumah tangga yang dipesan oleh ibunya.
"Karmina, bisa kita duduk sebentar? Ada hal penting yang mau saya bicarakan sama kamu," ucap Farhan.
"Oh, iya. Tentu saja. Mari!" sahut Karmina.
Keduanya duduk di kursi yang ada di depan minimarket. Karmina menoleh pada Farhan, merasa penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh pria itu.
"Ada hal penting apa yang mau Bapak bicarakan sama saya?" tanya Karmina.
"Ini soal Dewa," jawab Farhan.
Terdiam Karmina mendengar nama Dewa disebut. Tangannya meremas saku rok, tempat botol racun itu disimpan. Jantungnya berdebar-debar, khawatir Dewa dijadikan tersangka oleh sang penyidik.