Menceritakan tentang gadis belia yang memutuskan menikah muda, mampu kah ia menjalani biduk rumah tangga yang penuh liku-liku? akan kah ia menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspita.D, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Dua bulan berlalu, mas Tio mengajak ku untuk menginap di lokasi tambang, dengan membuat pondok sederhana untuk kami tinggal.
Mas Tio pun kerja ikut kakak tertua nya. Di sana lah pertengkaran kami di mulai, kakak par mas Tio selalu ikut campur dan mengadu ke mertua melalui sambungan telfon. Mba Tika kakak ipar mas Tio mengarang cerita menjelek-jelekan aku di depan mertua.
Kami jadi lebih sering salah faham, satu sama lain, mas Tio pun berniat untuk pulang kampung ke Jatim.
Mas Tio tak mengajak ku, namun aku nekat ikut, di tengah prahara yang terjadi di antara kami, aku pun tak menyadari. Kalo mertua ku juga sudah menyiapkan omelan nya terhadap ku.
"Putri juga ikut?, sini kalo dia ikut ibu mau ngomong sebentar sama Putri" kata ibu mertua ku saat mas Tio menelfon nya.
"Iya bu," kata ku saat HP nya di berikan pada ku.
"Dengar ya Putri, ini Tio mau pulang, aku nggak melarang kamu untuk ikut, tapi tolong hormati Tio sebagai suami mu, biar bagaimana pun juga dia yang mencarikan nafkah untuk mu, aku sebagai ibu nya nggak terima anak ku kamu perlakukan buruk" seru ibu mertua ku di sambungan telfon.
"Iya bu" hanya itu yang mampu aku ucap kan.
Dari dulu orang tua ku selalu mengajarkan aku untuk tetap menghormati orang yang lebih tua, jadi aku tak berani terlalu banyak menjawab.
Mas Tio tersenyum miring mendengar ibu nya menceramahi aku. Tak apa aku anggap itu sebuah nasehat.
Selang beberapa hari, aku dan mas Tio pun berangkat ke Jatim, menggunakan kapal laut. Perjalanan yang memakan waktu sehari semalam, membuatku jenuh berada di dalam kapal.
Saat sudah sampai di pelabuhan, kami masih harus menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam menggunakan bis.
Setelah sampai, ibu mas Tio langsung menyambut putra nya dan menatap sinis pada ku.
"Ya ampun le...kenapa kamu sekarang kurus sekali" seru ibu mertua ku, aku pun mencium tangan ibu dan bapak mertua ku.
"Sini duduk lah dulu, Putri kalo kamu mau istirahat, istirahat lah, kamar nya yang di depan" ujar ibu mertua ku, aku pun hanya mengangguk.
Karna lelah, aku pun merebahkan tubuh ku sekedar meregangkan tulang-tulangku.
"Kenapa kok anak mu bisa sampe meninggal" terdengar suara ibu menanyakan perihal meninggalnya anak kami.
"Hmmm nama nya juga sakit bu,....ibu tau? Padahal tubuh nya sudah mulai gemuk, tapi sayang, malah meninggal" sahut mas Tio.
"Gemuk dari mana jelas-jelas tubuh nya bengkak" kataku dalam hati, aku tak bisa memejam kan mata, telinga ku malah berusaha menguping pembicaraan ibu dan anak tersebut.
"Ya sudah...jangan di bahas lagi, mungkin Putri sebagai ibu nya belum becus mengurus anak" ujar ibu, hatiku terasa sakit mendengar ucapan ibu, padahal selama ini mas Tio lah yang tidak menerima kehadiran nya.
Beberapa hari aku berada di kampung mas Tio, semua terasa biasa saja, ibu tak mengomel seperti di telfon tempo lalu. Sementara bapak mertuaku terlihat begitu baik pada ku selalu membawa makanan kesukaan ku, sampai aku merasa bapak mertua begitu sayang padaku.
"Nduk, Putri tolong bantu ibu petik lombok di dekat sawah, nanti biar di bawa kang Rusdi pulang ke surabaya" kata ibu di suatu sore mendekati magrib, aku pun mengiyakan permintaan ibu.
Aku pun mulai memetik lombok di dekat sawah seorang diri, lombok yang harus aku petik sekitar 3-4 kilo, lumayan banyak sih, keringat bercucuran membasahi baju ku.
"Sudah banyak nduk?" tanya ibu, aku pun memperlihatkan hasil petikan ku.
"Hmmm masih kurang itu, sini biar ibu bantu" kata nya sambil tangan nya mulai memetik lombok dengan lihai.
Terlihat mas Tio senyum-senyum, menaiki sepeda motor bersama keponakan nya, anak dari adik perempuan nya yang berusia 5 tahun.
Aku menatap nya sekilas lalu fokus kembali pada lombok di hadapan ku.
"Kenapa mas Tio tak di suruh membantu sekalian, kenapa hanya aku, ini kan banyak?" tanya ku dalam hati.
Hingga adzan magrib berkumandang, aku dan ibu masih belum selesai memetik lombok. Baru selesai setelah adzan pun selesai.
Aku pulang dengan baju basah oleh keringat, sampai di kamar, aku menangis sesenggukan.
"Kamu kenapa?" tanya mas Tio tiba-tiba.
"Nggak papa, aku cuma cape aja" jawab ku sambil menghapus air mata.
"halah baru begitu saja sudah cape" kata nya seolah mengejek ku.
"Aku tu sudah mandi mas, sekarang baju ku harus basah dan bau oleh keringat lagi" ucap ku lirih namun menekan, takut di dengar ibu.
...****************...
Tak terasa sudah satu bulan kami di kampung mas Tio pun berniat mencari uang dulu untuk membeli motor, baru pulang ke pulau K.
Lalu aku? Tentu saja aku di suruh nya pulang duluan, bersama rombongan pekerja tambang yang di pesan oleh kakak nya mas Tio.
Selama aku berada di rumah mertuaku, mas Tio menyerahkan keuangan pada ibu nya, alasan nya biar aku nggak boros.
"Dek, kamu pulang dulu, aku mau membajak sawah supaya dapat duit, aku mau beli motor dari sini" kata mas Tio di suatu malam.
"Berapa lama?" tanyaku.
"Nggak lama, mungkin satu bulan" jawab mas Tio.
"Ini uang pegang dulu, buat nanti kamu di sana, ingat...jangan boros-boros" sambung mas Tio sambil mengulurkan uang 400 ribu.
"400 ribu untuk satu bulan, mana cukup" ucapku lirih.
"Lah kamu cuma sendirian, mau beli apa coba, untuk perut nya sendiri aja protes, tiket dan travel juga sudah aku bayar" seru mas Tio.
Aku menangisi uang yang cuma 400 ribu, tiba-tiba, ibu muncul. Ternyata sedari tadi ibu menguping perdebatan kami.
"Kenapa, nggak terima uang 400 ribu?" tanya ibu dengan nada kesal.
"Tau ni bu, 400 ribu buat perut nya sendiri aja masih kurang" sahut mas Tio.
Aku pun tak mampu berkata-kata, seolah sedang di keroyok, aku cuma bisa menunduk sambil terisak.
"Kamu tau Tio ini pingin beli motor, lah kalo kamu boros, bagaimana suami mu bisa beli motor, dan lagi kalo tahun depan kamu nggak datang kemari lagi nggak papa, ibarat kata kamu ini orang lain, tapi ingat, jangan halangi Tio untuk pulang kemari karna dia anak ku, kamu cuma orang lain" kata ibu panjang lebar.
Namun perkataan ibu benar-benar melukai aku, orang tua ku nggak seperti itu, yang nama nya menantu itu, ya sudah di anggap sebagai anak, nggak ada kata orang lain kecuali berpisah, intinya aku sadar aku ini bukan siapa-siapa.