(Gak jamin kalau kamu bakalan nangis bombay)
Audrey, seorang wanita pekerja keras yang mengabdikan hidupnya untuk karier. Dia tidak tampak tertarik dengan hubungan percintaan apalagi pernikahan. Di usia 28 tahun, ia bahkan tidak memiliki seorang kekasih ataupun teman dekat. Tidak ada yang tahu kalau Audrey menyimpan beban penyesalan masa lalu . Namun, kehidupannya yang tenang dan monoton mendadak berubah drastis ketika ia bertemu kembali dengan sahabat masa kecilnya, Sofia. Audrey tidak pernah menyangka kalau Sofia memintanya menikahi calon suaminya sendiri. Akankah pernikahan Audrey menjadi mimpi buruk atau justru kisah cinta terindah untuk seumur hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 Fobia Gelap
Audrey melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Artinya dia hanya punya waktu sedikit lagi untuk pulang. Audrey sudah berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan lebih cepat, mulai dari mengecek pekerjaan Karin hingga menyimpan uang kas dan cek ke dalam brankas. Ia juga sudah memeriksa faktur pajak yang diberikan Susan. Kini tinggal satu pekerjaan yang masih tersisa, memeriksa laporan outstanding piutang yang sedang dikerjakan Tristan. Karena baru sehari bekerja, pemuda itu tampaknya butuh waktu lama untuk menyelesaikan laporannya.
Lebih baik aku bantu Tristan mengerjakan laporan outstanding daripada aku terlambat pulang dan terkena marah Si Tuan Besar.
pikir Audrey cemas.
Audrey menghampiri Tristan dan melihat pemuda itu masih berkutat dengan bagian terakhir dari laporannya.
"Biar aku bantu cek kenapa belum balance," kata Audrey mengambil mouse yang masih dipegang Tristan. Tanpa sengaja tangan Audrey bersentuhan dengan tangan Tristan.
"Lagi-lagi dia menyentuhku," gumam Tristan lirih.
"Kenapa?" tanya Audrey yang melihat Tristan bergumam sambil tersenyum-senyum sendiri.
Tristan hanya menggelengkan kepalanya dan mengalihkan fokusnya lagi pada pekerjaannya.
"Nah, ini sudah balance. Kamu hanya salah menjumlah di baris kelima. Lain kali kamu harus lebih teliti lagi. Sekarang tolong print laporannya," kata Audrey memberikan instruksi.
"Siap laksanakan, Ibu, terima kasih atas bantuannya."
Setelah menandatangani laporan dari Tristan, Audrey segera membereskan mejanya dan berpamitan kepada Pak Rizal. Tristan yang melihat Audrey terburu-buru meninggalkan kantor, berusaha mengejarnya dari belakang.
"Ibu Audrey, kenapa buru-buru sekali? Apa ada seseorang yang sedang menunggu di bawah?"
"Tristan, aku naik taksi online dan supirnya sudah menunggu dari tadi," jawab Audrey meredakan rasa penasaran Tristan.
"Hmm, jadi hanya supir taksi. Kalau begitu mulai besok saya bersedia menjadi supir Ibu Audrey dan mengantarkan Anda pulang ke rumah."
"Maaf, Tristan aku harus pulang sekarang. Sampai jumpa besok," kata Audrey berjalan cepat menuju ke lobby.
Audrey enggan meladeni Tristan lebih lama lagi karena ia hampir kehabisan waktu.
"Sampai jumpa besok Ibu Cantik," kata Tristan melambaikan tangannya.
Nona Audrey mungkin sekarang kamu menolak ajakanku, tapi aku pastikan kamu akan segera menerimanya.
batin Tristan penuh percaya diri.
...****************...
Reiner baru saja selesai memakirkan mobilnya dan memasuki pintu lobby apartemen. Di saat yang bersamaan ia melihat Audrey yang sedang turun dari taksi yang ditumpanginya. Dari kejauhan, Reiner bisa melihat gadis itu sangat tergesa-gesa memasuki gedung apartemen.
Ternyata dia baru pulang.
Sepertinya dia takut aku akan menghukumnya.
pikir Reiner memperhatikan gerak-gerik Audrey.
Audrey yang sudah memasuki lobby apartemen, terkejut melihat Reiner ternyata sudah berdiri di depan pintu lift.
Kenapa dia pulang lebih awal dari kemarin. Untung saja aku sudah datang. Kalau tidak dia akan marah besar.
"Tuan Reiner tunggu saya," kata Audrey mencegah Reiner memasuki lift yang sudah terbuka.
"Kamu hampir terlambat. Lima belas menit lagi dan kamu akan kehilangan pekerjaan."
"Maaf, Tuan tapi ini belum jam tujuh malam," jawab Audrey merasa kesal.
Audrey dan Reiner berjalan beriringan tanpa saling bicara hingga mereka sampai di apartemen Reiner.
"Siapkan air mandiku dan juga bajuku, setelah itu kamu boleh pergi."
"Baik, Tuan."
Audrey mengerjakan tugasnya kali ini dengan lebih hati-hati. Ia tidak ingin berurusan terlalu lama dengan Reiner Bratawijaya.
Audrey meninggalkan kamar Reiner dan menuju ke kamarnya sendiri. Rasanya ingin sekali ia bisa membaringkan tubuhnya yang lelah tapi hal itu tidak mungkin dilakukannya sekarang. Audrey teringat dia sekarang hanyalah seorang pembantu yang harus mengerjakan banyak tugas di apartemen milik tuannya.
"Tuan, silahkan makan."
Audrey menyerahkan spaghetti yang sudah dicicipinya di hadapan Reiner.
"Dari mana kamu belajar memasak? Masakanmu lumayan juga."
Apa dia sedang demam sehingga memuji masakanku.
"Dari mama saya, Tuan," jawab Audrey singkat.
"Apa kamu selalu menjawab pendek-pendek seperti itu setiap kali aku bertanya? Aku jadi malas berbicara denganmu. Sekarang bereskan semua ini dan cepat ke kamarku."
Kenapa dia yang jadi kesal? Bukankah aku sudah menjawab pertanyaannya. Memang apa yang dia harapkan dari jawabanku.
pikir Audrey merasa heran dengan sikap Reiner.
Karena tidak ingin menerima kemarahan yang lebih besar, Audrey menyelesaikan tugasnya di dapur dengan cepat dan masuk ke dalam kamar Reiner. Baru beberapa langkah ia memasuki kamar itu, mendadak semuanya menjadi gelap.
Kenapa lagi ini? Apa listrik di apartemen ini mati?
pikir Audrey bertanya-tanya.
Audrey berjalan dengan meraba-raba benda di sekitarnya agar tidak terjatuh dalam kegelapan yang pekat itu.
"Tuan..., Tuan Reiner," panggil Audrey mencoba meminta bantuan Reiner. Tapi Audrey tidak mendengar jawaban apapun dari pria itu.
Audrey masih berusaha bergerak perlahan-lahan dengan mengandalkan instingnya. Namun suara nafas seseorang yang tersengal-sengal di dalam kegelapan itu membuat Audrey berhenti.
"Audrey....Audrey..." panggil Reiner lirih dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Tuan..Tuan..kenapa?" tanya Audrey panik.
Suara Reiner terdengar ketakutan hingga membuat Audrey panik.
Audrey mencoba berpegangan pada tepi tempat tidur untuk bisa menemukan keberadaan Reiner. Dalam keadaan panik, Audrey berhasil menyentuh bahu Reiner dan merasakan tubuh pria itu gemetar di atas tempat tidurnya.
"Audrey...tolong aku.. carikan cahaya," kata Reiner dengan suara serak."
Apa dia takut gelap?
Aku harus mencari ponsel untuk mendapatkan sedikit cahaya.
Dengan tangan yang masih meraba-raba, Audrey mencoba mencari dimana letak ponsel Reiner. Walaupun butuh waktu beberapa lama, usaha Audrey tidak sia-sia. Ia berhasil menemukan ponsel Reiner di meja sebelah tempat tidur, dan segera menekan sembarang tombol agar bisa menghasilkan cahaya. Dalam samar cahaya ponsel, Audrey bisa melihat wajah Reiner yang pucat.
"Tuan, pegang dulu ponsel ini supaya ada cahaya. Saya akan mencari lilin di dapur," kata Audrey mencoba menenangkan Reiner.
Namun tangan Reiner memegang erat tangan Audrey dan tidak mau gadis itu pergi meninggalkannya.
"Audrey, jangan tinggalkan aku sendiri. Tolong peluk aku.."
Audrey seakan tidak percaya mendengar permintaan Reiner. Tapi sorot mata memohon dari Reiner membuat Audrey yakin pria itu sungguh membutuhkannya. Ia tidak menyangka pria yang tampak arogan dan sempurna seperti Reiner bisa berubah seperti seorang anak kecil yang sedang dilanda ketakutan. Walaupun masih ragu, Audrey memantapkan hatinya untuk menolong Reiner kali ini. Perlahan Audrey mendekat dan memeluk tubuh Reiner. Reiner yang merasakan kehangatan dari pelukan Audrey membenamkan dirinya dengan erat di tubuh gadis itu. Bagi Reiner pelukan hangat Audrey terasa bagai pelukan mamanya sendiri. Reiner masih ingat betapa takutnya ia harus tinggal seorang diri di sebuah kamar yang gelap tanpa cahaya. Saat itu dia mencoba bertahan untuk tidak menangis selama menjalani hukuman dari papanya demi bisa bertemu dengan Dave. Hanya pelukan mamanya-lah satu-satunya obat yang bisa menghilangkan rasa takut Reiner kecil. Hukuman yang diterimanya belasan tahun lalu itu ternyata masih menghantuinya hingga saat ini
"Tuan, tenanglah, sebentar lagi listriknya pasti akan menyala," kata Audrey membelai rambut Reiner dengan lembut. Audrey bisa merasakan nafas Reiner berangsur teratur di dalam pelukannya.
"Diamlah, tetaplah seperti ini dan jangan bergerak."
"Iya, Tuan."
Akhirnya Audrey membiarkan Reiner berdiam di dalam pelukannya tanpa bicara. Entah mengapa memeluk Reiner seperti ini membuat Audrey merasa nyaman. Audrey sendiri tidak mengerti dari mana datangnya perasaan hangat yang kini sedang menyelimutinya. Apakah mungkin perasaan ini timbul kembali dari hatinya yang sudah mati rasa bersama kepergian Dave.
aq lebih lebih & lebih padamu Reiner😍😍😍😍
emak" labil🤣🤣🤣