NovelToon NovelToon
Bunda Untuk Aina

Bunda Untuk Aina

Status: tamat
Genre:Teen / Romantis / Komedi / Tamat
Popularitas:7M
Nilai: 4.9
Nama Author: Fennita Eka Putri Nurfadiyah

Manusia bercita cita namun kembali Allah yang berhak menentukan.

Baiknya...
Buruknya...
Senangnya...
Sedihnya...

Memiliki rumah sangatlah cukup untuk berteduh.
Pastinya aman untuk berlindung.

Tapi tanpa cahaya?

Akankah tetap menjadi indah?

Akankah tetap terasa nyaman?

Akankah akan merasa aman dalam kegelapan?

Masalalu tidak selamanya buruk.
Bisa jadi masalalu adalah sebuah titik balik untuk mendapatkan yang jauh lebih baik.

Manusia hanya bisa melakoni apa yang sudah digariskan apa yang sudah ditetapkan. Hanya manusia masih dapat merubah melalui usaha dan do'a.

Perjalanan yang tidak selalu mudah.
Tidak pula menjanjikan pemandangan yang indah.
Tapi satu yang harus diyakini jika Allah ada bersama hambanya. Jika usaha tidak akan berkhianat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fennita Eka Putri Nurfadiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BUA 24

Sekian detik Haifa masih terdiam melihat dua orang yang sekarang berada di hadapannya. Kemudian Haifa langsung berdiri dan memeluk keduanya. Diikuti Alvin yang berdiri di belakang Haifa.

"Dinda, Aul. Makasih ya udah mau datang." ucap Haifa saat masih berpelukan.

"Ina mana?" tanya Haifa sambil mengurai pelukannya. Tapi baik Dinda maupun Aulia tidak ada yang menjawab.

"Tapi gak apa apa. Dinda sama Aul dateng Haifa udah seneng banget kok hehe." ucap Haifa.

Alvin mengusap lembut punggung Haifa. Karena ia tau sebenarnya Haifa tak sekuat itu.

"Kenapa baru datang sekarang?" tanya Haifa.

"Tadi pas akad juga datang kok. Cuma susah bujukin Aul buat ketemu kamu." ucap Dinda.

"Kenapa? Aul masih marah ya? Maaf yaa." ucap Haifa sambil menggenggam tangan Aulia.

"Enggak justru Aul yang harusnya minta maaf. Maaf yaa." ucap Aulia.

"Udah ya ini lagi hari bahagianya Haifa. Jangan maafan terus nanti yang ada malah sedih." ucap Dinda.

"Nah. Tuh pinter. Nilai kamu A di mata kuliah saya." kata Alvin menimpali.

"Maaf pak saya udah wisuda. Gak perlu lagi nilai dari bapak." balas Dinda.

"Sombong kamu."

"Bapak juga sombong. Baru beberapa jam jadi suami aja udah berani goda goda." balas Haifa.

"Berani cium cium." tambah Dinda.

"Eh kok kamu tau?" tanya Alvin pada Dinda.

"Ya tau lah orang sebelum bapak nyosor kami udah ada di situ. Dan juga lihat tuh bibir bapak udah ikut berwarna kayak bibirnya Haifa." jawab Dinda.

Alvin langsung menggerakan tangannya untuk membersihkan bibirnya.

"Masih ada gak?" tanya Alvin pada Haifa.

"Gak ada. Dinda becanda." ucap Haifa.

"Hahaha seneng banget bisa ngerjain dosen yang biasanya muka lempeng." ucap Dinda.

"Kamu kenapa punya temen modelan begini sih." kesal Alvin.

"Pak sebelum Haifa kenal bapak. Haifa itu udah kenal kita duluan ya." tambah Aul.

"Nah bener. Jadi pendatang baru mah harusnya nurut nurut aja." ucap Dinda.

"Biarpun saya pendatang baru buat Haifa tapi tetep tuh surat suratnya atas nama saya. Jadi gimana siapa yang menang?" ucap Alvin.

"Pak ih ngomong apa sih."

"Becanda."

"Haha kalahkan sama pawangnya."

Pukul 01.30 Haifa dan Alvin baru benar benar bisa beristirahat.

Haifa yang baru keluar dari kamar mandi langsung mendudukan dirinya di atas tempat tidur.

"Bapak belum tidur?" tanya Haifa saat melihat Alvin masing memainkan handphonenya.

Mendengar dirinya dipanggil Alvin yang awalnya sedang memainkan handphone langsung meletakannya.

Alvin mendekat ke arah Haifa.

"Bapak mau apa?" kata Haifa saat merasa Alvin semakin mendekat.

"Saya ini sekarang suami kamu. Jadi jangan panggil saya bapak." ucap Alvin sambil tangannya membingkai wajah Haifa dan matanya menatap Haifa lekat lekat. Haifa yang sudah malu dan salah tingkah karena dipelakukan seperti itu oleh Alvin hanya bisa mengangguk.

"Ngapain ngangguk?"

Dan sekarang Haifa menggeleng.

Alvin tau gadis yang sekarang menjadi istrinya itu sekarang sedang merasakan malu. Terlihat dari wajahnya yang memerah.

"Sekarang ngapain geleng?"

Haifa menurunkan secara paksa tangan Alvin yang membingkai wajahnya. Ini demi kesehatan jantungnya. Karena entah kenapa setiap kali bersentuhan dengan Alvin, jantungnya mendadak bekerja lebih cepat. Oke mungkin bagi sebagian orang ini berlebihan. Tapi tidak bagi Haifa. Karena sejak kecil ia bisa dibilang jarang sekali berinteraksi dengan laki laki secara dekat, kecuali dengan Papa, Keanu dan keponakannya.

"Bapak ini kenapa sih salah makan ya? Dari tadi seneng banget ngusilin Haifa." kesal Haifa.

"Baru dibilangkan jangan panggil bapak." ucap Alvin.

"Yaudah jadi mau dipanggil apa?" tanya Haifa.

"Terserah kamu. Tapi sayang juga boleh." jawab Alvin.

"Yaudah Om." balas Haifa. Yang dihadiahi tatapan tajam dari Alvin.

"Kenapa? Tadi katanya terserah Haifa."

"Yaudah sekarang terserah saya. Kamu panggil saya Mas." ucap Alvin.

"Gimana?" tanya Alvin lagi.

"Iya udah oke. Mas."

"Berasa lagi manggil yang jualan mie ayam keliling depan kosan." ucap Haifa pelan.

"Apa?" tanya Alvin karena tidak mendengar jelas.

"Gak apa apa mas." ucap Haifa sambil nyengir.

"Udah kan?" tanya Haifa hendak berbaring. Namun lebih cepat ditahan olej Alvin.

"Satu lagi." ucap Alvin.

"Apa?" tanya Haifa.

Bukan menjawab tapi tangan Alvin malah terulur untuk melepas kerudung yang dipakai oleh Haifa.

"Kamu gak perlu pakai kerudung kalau hanya di depan saya." ucap Alvin kemudian semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Haifa. Entah terbawa suasana atau karena terlalu gugup berhadapan dengan jarak dekat dengan Alvin, sekarang Haifa sudah memejamkan matanya.

Alvin tersenyum melihatnya. Sedetik kemudian bibir Alvin mendarat sempurna di kening Haifa. Haifa malu, ia tidak mau membuka matanya. Terdengar Alvin terkekeh sambil mengusap lembut pipinya yang pasti sudah memerah saking malunya.

"Di kening dulu ya. Kalau di yang lain takut bablas. Mas kan masih harus puasa." ucap Alvin tepat di depan wajah Haifa. Yang pasti membuat Haifa semakin malu.

"Haha merah banget ini pipi. Udah sekarang tidur ya." ucap Alvin sambil berbaring dan menarik Haifa yang masih terduduk agar berbaring juga. Kemudian membawa Haifa ke dalam pelukannya.

Haifa tidak berbicara ataupun menolak perlakuan Alvin. Ya bagaimana mau berani bicara atau nolak kalau buka mata aja udah malu.

Pukul 04.00. Rasanya baru sebentar Haifa tertidur tapi ternyata alarm di handphonenya sudah membangunkannya.

Pertama membuka mata, Haifa terkejut saat mendapati dirinya tertidur dalam dekapan Alvin yang kini adalah suaminya. Haifa masih ingat jika posisi mereka tidak jauh berbeda dari semalam. Haifa pikir senyaman itu tidur dalam pelukan suami sampai Haifa lupa bergerak? Ahsudahlah mengingatnya membuat Haifa jadi malu sendiri.

Lebih baik sekarang Haifa membersihkan diri kemudian berkemas karena hari ini juga mereka harus check out dari hotel.

***

Tiga hari setelah pernikahan, Alvin sudah membawa Haifa pindah ke rumahnya.

Alvin baru pulang setelah shalat subuh di masjid.

"Assalamualaikum." ucapnya saat memasuki rumah. Tapi tidak ada tanggapan. Tapi Alvin seperti mendengar ada suara kehidupan dari arah dapur.

"Assalamualaikum." ucap Alvin sekali lagi.

"Eh. Wa'alaikumussalam." jawab Haifa kemudian mencium tangan Alvin. Walaupun masih canggung tapi Haifa tetap membiasakan untuk mencium tangan Alvin apalagi ketika di depan Aina.

"Lagi ngapain?" tanya Alvin.

"Tadinya mau masak buat sarapan. Tapi gak ada bahan cuma ada telur. Jadi paling buat nasi goreng gak apa apa ya?"

"Kemarin sebelum pindahan kenapa gak bilang kalau suka masak. Tau gitu kita bisa belanja." ucap Alvin.

"Gak kepikiran, Haifa kira gak akan kosong banget begini." jawab Haifa.

"Mas emang gak pernah masak. Paling kepepet ya masak telur mangkanya cuma ada itu." jawab Alvin.

"Terus kalau sarapan gitu gimana?"

"Ya paling Aina makan sereal. Terus kalau mas kadang numpang sarapan di rumah ibu atau di rumah abang. Tergantung nitipin Aina dimana." jawab Alvin.

"Emang mas gak ada asisten rumah tangga gitu?" tanya Haifa.

"Ada. Tapi gak tiap hari. Cuma pas weekend aja. Dia sama suaminya. Biasanya suaminya beres beres taman sama bersihin kolam. Istrinya beres-beres rumah."

"Berarti sehari-harinya cuma berdua sama Aina?"

"Iya. Mangkanya mas butuh kamu." ucap Alvin.

"Dih." bibirnya mengejek ucapan Alvin tapi berlainan dengan tingkah Haifa yang salah tingkah dan malu malu.

"Suka kalau liat kamu lagi salah tingkah dan malu malu gini." ucap Alvin.

"Apasih. Sana ganti baju."

"Yaudah nanti siang kita belanja kebutuhan rumah tangga ya."

"Iya."

Ba'da dzuhur mereka bertiga sudah bersiap untuk pergi.

"Udah siap?" tanya Alvin saat melihat Haifa dan Aina menuruni anak tangga.

"Udah yuk."

Setengah jam mereka sampai di tempat yang dituju. Pergi bertiga bukan hal baru bagi mereka. Tapi tetap saja baik Alvin maupun Haifa masih saja merasa ada rasa canggung. Walau tidak secanggung sebelumnya. Maklumlah masih baru, bagusnya Haifa dan Alvin tidak menutup diri ataupun tidak gengsi untuk memulai.

Senyuman tak pernah lepas dari bibir Alvin ketika melihat Haifa sangat lues memilah kebutuhan rumah tangga. Alvin merasa bersyukur mungkin kehidupannya akan lebih tertata sekarang.

"Liat apa senyum senyum?" tanya Haifa.

"Enggak. Mas cuma seneng aja lihat kamu begini."

"Emang Haifa ngapain?"

"Lihat kamu terampil banget belanja kebutuhan rumah tangga kayak yang udah berpengalaman. Biasanya seusia kamu itu apa apa mama apa apa mbak." ucap Alvin.

"Haha berarti mas ngira Haifa juga gitu?"

"Kurang lebih. Apalagi kamu anak bungsu. Mangkanya lihat kamu begini mas seneng, diluar ekspektasi soalnya."

"Haifa emang sering belanja sama mama. Dari kecil memang di rumah gak penah ada mbak. Mama ngurus sendiri dan mama itu pasti selalu melibatkan anak anaknya. Kalau misalkan ditanya nih. Ma, kenapa sih gak pake ART aja? Mama selalu jawab ngapain anak anak mama 3 perempuan 1 laki laki mending mama kerjasama sama anak anak mama. Sekalian mempersiapkan anak anak mama buat berumah tangga. Begitu, jadi ya emang udah biasa. Terus Haifa selama kuliah kan ngekost jadi makin terbiasa." cerita Haifa sambil terus memilah belanjaan.

Alvin kembali di buat tersenyum. Alvin merasa seperti ia tidak salah memilih.

"Bunda Aina mau coklat." ucap Aina saat mereka melewati tempat coklat.

"Tadi kan udah beli coklat." ucap Alvin mengingatkan.

"Mau lagi Papa." rengek Aina.

"Bunda mau coklat." rengeknya Pada Haifa seakan mencari pembelaan dari sang bunda. Tapi beruntungnya Haifa sempat membaca salah satu sumber yang katanya ayah dan bunda harus satu suara dalam mendidik anak. Jadi, ketika si ayah berkata A maka bunda juga harus berada di suara yang sama. Agar si anak tidak bingung dan nantinya tidak akan ada persepsi jika ayah lebih baik dari ibu atau ibu lebih baik dari ayah. (Ini yang pernah aku baca. Tapi lengkapnya di buku apa aku lupa. Jadi kalau ada yang lebih tau dan berpengalaman boleh dikoreksi ya.)

"Boleh. Tapi cuma boleh satu. Aina kan tadi udah beli coklat juga. Nah kalau sekarang Aina mau coklat lagi berarti yang tadi gak jadi ya."

"Kan ini tatu. Tadi tatu." jawabnya.

"No. Papa sama bunda cuma bolehin satu. Jadi mau yang ini atau yang tadi?" tanya Haifa.

"Kalau mau dua mending gak usah beli." tambah Alvin.

"Setuju Papa." ucap Haifa.

"Jadi Aina mau yang mana?"

"Ini." jawab Aina sambil menunjuk coklat di depannya.

"Oke berarti yang tadi mana pa. Kita kembalikan lagi." ucap Haifa.

Alvin mencari coklat yang sudah berada dalam troli belanjaan mereka.

"Nih bun." katanya sambil menyerahkan coklat tersebut pada Haifa. Alvin dan Haifa memang sudah setuju untuk saling memanggil papa dan bunda ketika sedang berbicara melibatkan Aina.

"Jadi yang ini bunda simpen lagi ya?" tanya Haifa pada Aina.

Aina mengangguk patuh. Haifa mengusap kepala Aina.

"Tapi Aina mau beli yang lain tapi tapi bukan coklat." ucap Aina.

"Gak boleh permen juga." ucap Alvin.

Aina lagi lagi mengangguk patuh.

Yang menjadi spot terakhir yang dikunjungi adalah spot buah dan sayur.

"Aina mau buah apa?" tanya Haifa.

"Aina mau anggul tama pitang tama mangga tama temua." ucap Aina dibarengi dengan gerakan tangan yang sangat menggemaskan.

"Masa mau semua kebanyakan dong sayang. Nanti gak cepet dimakan yang ada buahnya busuk kan mubadzir jadi kebuang nanti buahnya." ucap Haifa.

"Jadi sekarang yang paling Aina mau apa?" tanya Haifa.

"Aina mau anggul tama pitang." jawab Aina.

"Papa mau apa?" tanya Haifa.

"Papa mau bunda." ucap Alvin. Haifa langsung menatap Alvin.

"Eh maksudnya Papa mah apa aja ikutin bunda."

"Aina bunda nakal tuh masa papa dipelototin." adu Alvin pada Aina.

"Bialin papa kan tuka nakal."

Haifa terkekeh mendengar jawaban Aina. Sedangkan Alvin cemberut dan menampilkan muka memelas.

"Kok Aina gak belain papa? Oke berarti jajanan Aina papa simpenin lagi ya."

"Aaa jangan. Aina tayang kok tama papa." ucapnya sambil memeluk kaki Alvin.

"Udah yuk. Udah selesai nih. Papa sama Aina ada yang mau di beli lagi gak?" tanya Haifa.

Alvin dan Aina sama sama menggeleng.

"Yaudah kalau gitu berarti selesai tinggal ke kasir."

Setelah berbelanja karena sudah cukup sore mereka memutuskan untuk langsung pulang.

Bagi Alvin hari ini ia benar benar merasakan kehidupan setelah pernikahan. Dimulai dari memiliki teman ngobrol, teman tidur, partner untuk membesarkan dan mendidik Aina dan terkadang Alvin memiliki hiburan ketika melihat tingkah salting dan malu malu Haifa. Hal itu sepertinya membuat Alvin memiliki hobi baru untuk menjahili Haifa.

Alvin dan Haifa sudah berada di dalam kamar.

"Mas besok udah mulai kerja." ucap Alvin.

"Oke. Mas biasa berangkat jam berapa? Biar Haifa menyesuaikan buat nyiapin keperluan mas."

"Kalau sebelumnya mas biasa berangkat jam 6 atau 6.30 karena harus nganter Aina ke rumah ibu atau abang. Tapi sekarang kan gak perlu jadi berangkat jam 07 atau jam 08 juga masih bisa."

"Yaudah kalau gitu. Besok ke kampus atau ke kantor?"

"Ke kantor. Mas kayaknya mau resign aja."

"Kenapa?"

"Gimana ya, sebenarnya udah beberapa bulan terakhir pengen resign. Ayah kan katanya udah pengen pensiun. Jadi ya mau gak mau mas harus fokus di kantor gantiin ayah. Karena abang gak akan mungkin. Adam suaminya Vina dia juga udah pegang kantor keluarganya."

"Haifa mah sebagai orang yang baru masuk mendukung aja apapun keputusan mas." ucap Haifa.

"Sekarang udah lancar ya nyebut mas nya." goda Alvin.

"Ih mulai kan. Udah ah sebel kalau udah mulai aneh aneh." ucap Haifa sambil membaringkan tubuhnya.

"Haifa." panggil Alvin yang juga sudah membaringkan tubuhnya.

"Iya."

"Sebelum mas. Ada berapa orang yang udah datang ke orangtua kamu?"

***

**To be continued...

See you next part**...

1
Dya Kusuma
mau banget thor
Mur Wati
kirain ibunya alvin pengertian soalnya pas baca bab yg depan sebelum alvin jadian sama haifa gak taunya ibunya alvin mertua julid ternyata
Mur Wati
yah gagal buka puasa dong vin🤕🤕😃😃😃
Mur Wati
ea ea
Mur Wati
nah iya dinda benar tuh jgn ky ina dan aul
Mur Wati
idih gak jelas kan ina baru suka dan belum tentu Alvin mau ya gak salah lah haifa emang kalo teman duka harus temen yg lain gak boleh suka kalo udah jd pasangan trus di rebut itu baru salah
Mur Wati
keren ini gak seperti cerita lain ayah nikah lagi anak kandung di buang
Mur Wati
apa hubungannya sama inara ... Alvin pun tau inara jg karena mahasiswa nya aja
Mur Wati
ooh Haifa merasa gak enak dgn ina yg kagum dgn Alvin tapi kan mereka gak ada hubungan apa" cuma dosen sama mahasiswanya gpp lah gak merebut koq
defy andriani
Berminat banget
Arma
Luar biasa
Bunda Aish
💕
Sarinah Sianturi
Luar biasa
Nianandra Amelia Putri
aku suka ceritanya
Nianandra Amelia Putri
😊😊😊😊
Nani
kak pokoknya harus lanjut ya cerita-cerita nya aku Download novel toon cuma pengen baca cerita kaka
zevayya abrielle
hadeuh
zevayya abrielle
nah lohhhhhh mulut mercon datang
Windi Gulo
masih mau thor
Windi Gulo
masih mau
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!